Dituduh Teroris

Written By Amoe Hirata on Rabu, 29 April 2015 | 06.26

Senja hari warga KJM(Kerajaan Jasad Manusia) dikagetkan oleh kedatangan satuan militer kerajaan yang dikepalai oleh Tangkanan dan Tangkiri. Warga kebingungan, tumben-tumbennya ada kesatuan militer datang ke wilayah warga. Biasanya kalaupun ada, paling tidak sampai berjumlah banyak sekali seperti sekarang ini. Bahkan, semua pasukan dipersenjatai dengan senjata lengkap dan mutakhir.

Para warga terhenyak keheranan. Peristiwa ini cukup mengagetkan mereka, hingga aktivitas yang mereka lakukan sempat terhenti akibat rasa keingintahuan mereka. Konon, satuan militer yang dikirim oleh kerajaan itu merupakan satuan terhandal dan terhebat yang penah dimiliki oleh kerajaan. Hanya prajurit-prajurit pilihan yang bisa masuk menjadi anggota.

Setelah lama diamati, rupanya satuan militer KJM itu sedang menggrebek salah satu rumah warga yang masih tergolong muda, namanya: Dagu. Si Dagu dituduh terlibat aksi gerakan terorisme internasional. Pemerintiahan KJM mendapat laporan khusus dari FBI(Federasi Pemberitaan Internaasional) bahwa dalam pemerintahan KJM ada anggota GTI(Gerakan Teroris Internasional)karuan saja pemerintah lekas mengadakan oprasi militer dadakan untuk memeriksa benar tidaknya penyusupan tersebut.

Salah satu warga bertanya pada temanya:"Kenapa ya kira-kira kok yang dituduh si Dagu, padahal dia orangnya baik, ga pernah menentang pemerintah dan yang pasti dia tidak pernah terlibat aksi kriminalitas". Sontak dari jarak empat meter dari keduanya ada yang menjawab:" Oya aku tahu, mungkin aja karena dia berjenggot, `kan salah satu identitas teroris yang dibuat-buat FBI(Federasi Berita Internasional) ialah bercirikan jenggot, makanya pantes saja kalau si dagu dituduh, sebab di antara warga kita yang berjenggot kan cuma dia".

Terjadilah hiruk-pikuk diantara warga. Semua perhatian tertuju pada rumah si Dagu. Hingga ketika adzan Maghrib dikumandangkan pun mereka tidak beranjak dari tempatnya masing-masing karena saking tercengangnya seakan tidak mendengar apa-apa. "Door..door...door...." tiga suara tembakan dari aparat sudah mulai diluncurkan. Warga semakin menggigil ketakutan. "Dagu....!!!Cepat keluar, kalau tidak kami tidak segan-segan akan menembakmu!!!" ancam salah satu prajurit.

Sudah hampir setengah jam rumah si Dagu dikepung, tapi tidak ada sinyal-sinyal pintu dibuka. Akhirnya melalui kesepakatan aparat keamanan yang mendapat komando dari Tangkanan dan Tangkiri memerintahkan untuk mendobrak pintu si Dagu. Ketika mau didobrak ternyata dari kejauhan si Dagu datang sambil menenteng sepeda pancalnya. "Assalamuala`ikum...."sapanya memecahkan kesunyian. Para prajurit tergagap heran, dengan reflek mereka pun menjawab salam dengan serentak "...Wa`alaikumsalam".

Sekarang seluruh pandangan tertuju pada si Dagu. Warga tercengang bukan main melihat gelagat si Dagu yang tenang dan seakan tidak terjadi apa-apa. Dagu bertanya:" Maaf ya bapak sekalian kalau lama menunggu, barusan saya habis mengajar Bahasa Arab di kampung sebelah, kira-kira ada masalah apa ya kok sampai membawa prajurit militer sedemikian banyak?...." Tanpa basa-basi Tangkanan dan Tangkiri selaku pimpinan mengeluarkan surat perintah dari Raja KJM langsung untuk menangkap si Dagu yang dituduh sebagai komplotan teroris.

Dagu berkata:" Kalau itu memang surat penangkapan resmi dari raja KJM maka dengan senang hati saya akan memenuhi panggilannya. Tapi perlu dicamkan bahwa kebersediaan saya ini tidak berarti mengindikasikan bahwa saya adalah teroris.  Saya datang hanya ingin menghormati raja KJM. Saya juga mengajukan satu syarat, saya ingin ketemu langsung dengan raja KJM untuk mengobrol empat mata"'. Setelah diadakan musyawarah akhirnya aparat keamanan yang dipimpin oleh Tangkiri dan Tangkanan meluluskan permintaan si Dagu.

Dibawalah si Dagu ke istana kerajaan dengan kawalan prajurit militer. Para warga hanya bisa berdoa semoga si Dagu selamat dan mendapat perlindungan dari Tuhan. Sesampainya di istana kerajaan, bertemulah si Dagu dengan raja KJM yaitu Raden Hati. Terjadilah dialog seru antara keduanya, sampai pada akhirnya raja terpingkal-pingkal tak tahan menahan tawa. Para prajurit merasa heran hingga ada yang nyeletuk:" Jangan-jangan raja dihipnotis oleh si Dagu". Akhirnya si Dagu mendapat jaminan dari raja untuk segera dibebaskan karena ternyata dia dinyatakan tidak bersalah.

Tangkanan dan Tangkiri mewakili para prajurit bertanya kepada raja:" Wahai baginda, maaf kenapa di akhir dialog empat mata tadi kami mendengar baginda tertawa terpingkal-pingkal?". "Jadi begini, dalam dialog, si Dagu menyampaikan berbagai argumentasi untuk mematahkan tuduhan yang dilaporkan FBI(Federasi Pemberitaan Internasional). Terus terang saya sangat kagum dengan argumentasi si Dagu, nah yang membuat saya tertawa adalah metafor pamungkas yang di katakanya:" Sapi tidak berjenggot sedang kambing berjenggot apakah anda bisa menjamin bahwa sapi lebih baik dari pada kambing, terbukti terkadang sapi lebih geragas dan nakal daripada kambing". 

Raja melanjutkan: "Jadi intinya kita jangan sampai tertipu dengan hal-hal yang bersifat lahiriah misalnya jenggot, karena secara logis belum tentu yang tidak berjenggot lebih baik dari yang berjenggot pun juga sebaliknya. Pada kasus tertentu kita jumpai di negara-negara lain ternyata teroris dilakukan oleh orang-orang yang tidak berjenggot bahkan yang banyak melakukan tindakan korupsi juga orang-orang yang tidak berjenggot. Intinya jangan mengklaim kebaikan dan keburukan dari bentuk formalitas seseorang. Orang yang berjenggot atau tidak sama-sama berpeluang untuk melakukan kebaikan atau kejahatan.

Setelah puas mendapatkan jawaban dari raja, Tangkanan dan Tangkiri segera memerintahkan pasukannya agar kembali pada kompi masing-masing. Keduanya bersyukur di negri KJM kondisi aman dan tentram. Ini mungkin disebabkan karena mereka memiliki raja yang adil dan rakyat yang kritis. Dalam hati Tangkanan dan Tangkiri berdoa sebagaimana doa nabi Ibrahim:" Rabbi ij`al hadza baladan amina, warzuq ahlahu minas tsamarati man aamana minhum billahi wal yaumil akhiri( Wahai Tuhanku jadikanlah negri ini selalu aman, dan limpahkanlah rejekimu pada penduduk ini berupa buah-buahan bagi siapa saja yang beriman pada Allah dan hari akhir".).  

Izinkan Aku Membuka Cadar-Mu

Dalam satu kesempatan, Syahdu(bukan nama sebenarnya) sedang jalan-jalan keluar rumah mencari angin segar. Kali ini dia mau jalan-jalan ke taman. Sewaktu lagi asyik berjalan, dari kejauhan terlihat muda-mudi sedang bergembira. Sepintas terlihat lagi bermesraan dan berpagutan tangan. Tidak hanya itu, suaranya begitu ramai hingga terdengar dari kejauhan. Dalam hati  Syahdu berhusnudzan mungkin saja itu suami istri. Ia lanjutkan jalan santainya. Ketika jalan semakin dekat ke arah muda-mudi tadi, tiba-tiba pasangan muda-mudi tadi salah tingkah dan segera berpencar. Pemuda tadi dengan gaya cuek berdiri bersandarkan pohon cemara memalingkan muka seolah tidak terjadi apa-apa. Pemudi dengan segera mengenakan cadarnya yang berwarna hitam, ia tak bergeming duduk di tempat semula seolah sedang menenangkan suasana.

Melihat kejadian ini, Syahdu jadi su`udzan wah jangan-jangan mereka bukan suami istri; tapi pacaran. Tapi ya sudahlah apa peduliku. Tapi kalau seandainya memang benar bukan suami istri, yang jelas wanita-wanita pecadar  lain akan tercoreng citranya gara-gara dia.  Jika aku punya kekuatan, kan ku katakan padanya:" Izinkan aku membuka cadar-mu". ya daripada menjelek-jelekan wanita bercadar lain mending ga usah cadaran(ini hanya suara batin Syahdu). Syahdu melanjutkan:"mungkin banyak terjadi kejadian seperti ini, tapi aku selalu berharap semoga perkiraanku salah".

Rajab

Bulan Rajab datang
Ramadhan semakin dekat
Persiapan harus matang
Kedisiplinan diperketat

Bulan Rajab hadir
Ramadhan semakin hampir
Persiapan harus mapan

Kesungguhan dikerahkan

Hukum Tegak

Written By Amoe Hirata on Senin, 27 April 2015 | 07.29

Bagaimana hukum tegak

Jika keadilan diinjak-injak

Hukum dijunjung

Keadilan dipasung

Kekuatan Dzikir

Written By Amoe Hirata on Sabtu, 25 April 2015 | 06.50

Kekuatan dzikir
Bukan yang utama
Dari gerakan lahir
Tapi hati yang selalu terjaga
Bahwa Allah hadir
Berada BERSAMA kita

Sudut Pandang Unik Pahlawan Karismatik

Written By Amoe Hirata on Kamis, 23 April 2015 | 05.56

Negeri Syam sebagai benteng Romawi Timur, tidak mudah ditaklukkan. Beberapa sahabat nabi (Abu Ubaidah bin Jarrah, Yazid bin Abi Sufyan, Syurahbil bin Hasanah, dan Amru bin Ash) yang diutus dengan misi pembebasan, tak kunjung mampu merealisasikan cita-cita ini.
Melihat kondisi demikian, pada tahun 13 H, ada mandat penting yang diamanahkan Khalifah Abu Bakar Ra. pada Khalid bin Walid Ra. Ia diperintah membantu misi pembebasan Syam dari cengkraman Imperium Romawi Timur(Musthafa Murad, al-Khulafā alRasyidūn, 116).
Untuk menyukseskan misi agung ini, sahabat yang berjuluk ‘Pedang Allah’ ini, bermusyawarah dengan para sahabatnya. Ia bertanya: “Bagaimana caranya agar bisa sampai Syam melalui jalur belakang(bagian utara) pasukan Romawi?” Semuanya menjawab: “Tidak tahu”(al-Iktifā, 3/143).
Hanya ada satu jalan yang bisa ditempuh, yaitu: melalu padang pasir Syam(Syiria, Samawa) yang luasnya 518. 000 Km. Semua tidak mau menempuh jalur yang dikenal mematikan itu. Melihat situasi demikian, perasaan mustahil pun mulai muncul dalam benak mereka.
Anehnya, justru ‘Pahlawan Agung’ ini, memilih jalur yang mereka khawatirkan. Ia tidak mau menyerah pada kondisi sulit yang dianggap mustahil.  Di antara pertimbangannya ialah: Pertama, bisa sampai lebih cepat dibanding jalur biasa. Kedua, bisa menyerang dari jalur yang tak diduga musuh. Ketiga, menyerang adalah strategi terbaik dibanding mempertahankan diri.
Meski demikian, ada beberapa kendala serius yang dihadapi anak Walid bin Mughirah ini: Pertama, harus sampai Syam dalam waktu kurang dari lima hari. Kedua, jumlah pasukan yang dibawanya mencapai sembilan ribu orang. Ketiga, harus memiliki perbekalan yang cukup memadai, serta penunjuk jalan yang berpengalaman.
Ketika semua terdiam, ada satu pasukan yang mendukung keputusan Khalid Ra. Namanya, Rafi` bin Umairah At-Tha`i. Prajurit berpengalaman yang menguasai seluk-beluk padang pasir Samawa.
Keputusan Khalid Ra. semakin bulat. Langkah selanjutnya ialah: menyiapkan strategi jitu untuk menaklukkan jalur ganas padang pasir.
Ada beberapa langkah konkrit –setelah musyawarah- yang ditempuh Khalid Ra. agar bisa sampai tepat pada waktunya: Pertama, membawa bekal logistik memadai. Kedua, menyiapkan dua puluh ekor unta besar dan gemuk yang diberi minum puas, sebagai antisipasi ketika air habis, maka unta tersebut disembelih untuk dimakan dan diambil air dari punuknya. Ketiga, berdo`a dan bertawakkal kepada Allah ta`ala.
Dengan hati mantap, akhirnya mereka setuju berangkat. Belum sampai lima hari, perbekalan pun habis. Kondisi begitu mencekam. Mulai timbul kekhawatiran dari benak pasukan.
Melihat keadaan demikian, Khalid Ra. tetap tenang dan yakin pada Tuhan. Dengan sigap Ia panggil Rafi` bin Umair. Saat itu, Rafi` mulai mengingat-ingat perjalanannya sewaktu kecil bersama ayahnya. Ia ingat dalam jalur perjalanan, ada sumber air di bawah pohon berduri. Kabar gembira ini segera ditindaklanjuti Khalid Ra. Ia memerintahkan pasukan mencari letak pohon berduri.
Pucuk dicinta, ulam tiba. Mereka akhirnya bisa menemukannya dan bisa minum dengan sepuasnya. Mereka sukses menaklukkan gurun pasir Syam yang awalnya dianggap mustahil. Dalam sejarah, Khalid dan pasukannya tercatat sebagai tim yang pertama kali bisa menundukkan jalur paling berbahaya ini.
Setelah sukses menempuh perjalanan sangat berbahaya, akhirnya agenda Khalid Ra. bisa terlaksana dengan baik. Kedatangan mereka yang begitu cepat serta tidak diperhitungkan, menjadi pukulan telak yang meluluhlantakkan barisan musuh. Selanjutnya, kemanangan-kemenangan gemilang pun bisa diraih.
             Peristiwa ini memberikan pelajaran dan pembelajaran luar biasa bagi kita. Pertama, jangan menyerah dengan rintangan meskipun oleh kebanyakan orang dianggap mustahil. Kedua, berfikir yang tidak difikirkan orang. Ketiga, menyiapkan perencanaan matang. Keempat, pengetahuan dan pengalaman yang mumpuni. Kelima, menyertakan doa dan tawakkal pada Allah. Dengan begitu, apa yang dianggap ‘mustahil’ oleh kebanyakan orang, mampu kita ‘sulap’ menjadi sesuatu yang riil(nyata). Wallahu a`lam bi al-Shawāb.

Bayang-bayang Umbu Landu Paranggi

Written By Amoe Hirata on Rabu, 22 April 2015 | 07.56

Semalam
Tanpa sebelumnya mengidam
Sesosok wajah
Teduh sumringah
Mirip Umbu Landu Paranggi
Bertemu dalam semesta sunyi

Masalah politik, agama, sejarah, 
dll, dikupas dengan jelas dan gagah
Seakan berada di depan
Seorang ilmuan multi keahlian
Ia zahid
Filosofi hidupnya: tidak rigid
tpi sarat makna
yang membuat orang ternganga

Jika orang pada umumnya
Pada mengaji ayat-ayat kasat mata
Ia dalam sunyi mengaji alam
Menguak hikmah terdalam
Ia tenang
Tidak dikejar ambisi gesang

"Siapa yang gupuh dengan burung dalam kurungan?"
Tentu yg punya
Maka mengapa kamu tidak yakin
Bahwa Allah akan menjamin
Bukankah burung-burung pagi terbang
Kembali dalam kondisi kenyang

Terlau banyak makna
bisa diukir berlaksa-laksa
Ini hanya bagian kecil
Dari kepribadoannya yg inggil
dalam ruang dan waktu
Semoga kita bisa bertemu

Demikian bayang-bayang Umbu
Sang pengembar ruang dan waktu

Fatwa Hati

Written By Amoe Hirata on Selasa, 21 April 2015 | 13.13

Mintalah fatwa pada hatimu


Menemukan mutiara hikmah


Di balik realita semu


Yang kadang membuat marah

Mengenang Manusia Agung

               Bagai cahaya mentari kau menyirna gulita. Cahayamu sengaja dicipta oleh Sang Maha Pecinta, untuk menyinari kelam dunia yang di ambang kehancuran. Setiap kali mata memandang ke segala penjuru, dunia berselimut kerusakan demi kerusakan. Manusia yang tercipta menanggung amanah, berupa khalifah, kala itu teroambang-ambing menggalau. Tenggelam dalam kekeruhan maksiat yang mengendap pada batin dan laku.  Dalam kondisi itu, kau tak terpengaruh. Dalam kondisi itu, kau tak terperdaya. Bahkan dengan bimbingan Sang Maha Pecinta, segala yang kau resah pada rezim Jahiliah, tak membuat murka, malah menyendiri dalam keheningan; bertahannuts menggapai petunjuk Rahman.
                Kau layaknya Sang Pencerah, datang untuk mewarnai mencipta kebaikan demi kebaiakan. Setiap kau terhalang kelam angkara, kau tak gusar mengasar. Setiap kau terhadang gelap amarah, kau tak jengkel membawel. Enerji negatif kau sulap menjadi positif. Energi positif kau tambah jadi positif. Dari jiwamu terlahir pancaran cinta yang menggumpal rahmat. Bahkan al-Qur`an pun mengabadikanmu dengan sebutan, “rahmatan lil `aalamin”. Kasih sayangmu merupakan pancaran Rahman dan Rahim Tuhan.
                Meski waktu telah berlalu berabad-abad silam, kau masih tercium harum; senantiasa terkenang dalam jiwa-jiwa manusia yang selalu mencintaimu. Dengan shalawat mereka mendoakanmu. Dengan salam mereka menyapamu. Seolah kau tak pernah tiada. Meski benar, jasad terkapar tiada; namun pesonamu kan selalu ada. Kau adalah manusia terpilih yang penuh teladan. Pada setiap sisi kehidupan manusia, di situ terdapat qudwah-mu. Pada segenap segi kehidupan manusia, di situ ada tauladanmu. Maka, mengenang KELAHIRANMU, semoga menjadikan KITA; UMATMU kan selalu sadar akan ajaranmu; kan selalu tabah atas cobaan; kan selalu berjuang hingga penghabisan. Sampai akhirnya, kelak diakhirat, kita bisa menyusulmu, yang kau sambut dengan senyum khasmu, sembari melantun: “UMATKU....UMATKU.....UMATKU”.


                ALLAHUMMA ISTAJIB DU`AANA.......PERTEMUKANLAH KAMI DENGAN YANG TERKASIH; RASULULLAH, MUHAMMAD BIN ABDULLAH.

Miniatur Negara Islam

Written By Amoe Hirata on Minggu, 19 April 2015 | 18.27

(Sebuah Refleksi: Shalat Berjamaah di Masjid)

            Setiap orang Islam tentunya tidak asing dengan: shalat jama`ah di masjid. Bagi Muslim taat-utamanya lelaki yang sudah baligh-, shalat jama`ah sudah menjadi kelaziman(mengenai hukum shalat berjama`ah di masjid memang terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ada yang berpendapat bahwa shalat jama`ah di masjid bagi laki-laki adalah sunnah muakkadah[sangat ditekankan]; ada pula yang memandangnya sebagai kewajiban. Terlepas dari perbedaan tersebut, intinya shalat berjamaah, minimal sangat ditekankan dalam Islam bagi laki-laki yang sudah balig). Meski demikian, sayangnya jarang sekali yang berusaha merefleksikannya pada ranah kontemplatif; semacam ‘metafor sarat hikmah’ yang bisa dijadikan pelajaran dalam kehidupan sehari-hari; baik sebagai individu, keluarga, masyarakat, bangsa hingga negara. Pada tulisan ini, penulis berusaha merefleksikan –sesuai dengan kapasitas pengetahuan dan pengalaman-, ‘shalat berjama`ah di masjid’ sebagai refleksi kontemplatif metaforis yang terejawantah dalam judul: “Miniatur Negara Islam(Sebuah Refleksi: Shalat Berjamaah di Masjid).
            Ada beberapa unsur penting yang perlu dikemukakan di sini ketika menjadikan ‘shalat jama`ah di masjid’ sebagai refleksi dari ‘miniatur negara Islam’. Pertama, masjid ibarat teritorial negara; tempat tinggal di mana penduduk hidup. Tidak bisa disebut negara, jika tidak memiliki wilayah sendiri sebagai basis untuk membangun bangsa yang adil dan makmur. Kedua, ma`mum, jama`ah shalat ibarat rakyat, penduduk, atau bangsa yang menghuni teritorial negara. Tidak bisa disebut negara, bila tidak ada bangsa(sebagai tambahan: Malik bin Nabi Pemikir Muslim al-Jazair, menjelaskan tiga unsur penting peradaban yaitu: manusia, tanah dan waktu). Ketiga, imam shalat ibarat pemimpin, raja, atau presiden yang bertanggung jawab mengorganisir, memanajemeni, mengatur, organisasi besar negara hingga mencapai negara yang adil, makmur dan bermartabat. Keempat, tata cara shalat yang berasal dari Allah dan Rasulullah, ibarat undang-undang yang harus dijaga bersama agar tercipta stabilitas negara. Kelima, kiblat ibarat visi-misi dan orientasi yang jelas dalam sebuah negara.
            Sebelum lebih jauh mengurai refleksi, kita tentu tahu sebelum shalat jama`ah, itu ada adzan. Dalam sekala negara, adzan ibarat proklamasi(berdirinya sebuah negara). Adapun penjelasan dari kelima unsur di atas, sebagai berikut: Pertama, masjid sebagai atau ibarat teritorial tempat tinggal suatu bangsa, negara memiliki makna unik. Meskipun secara wadak atau lahiriah ia adalah bangunan yang berdiri di atas tanah, namun perlu diingat ia tetap mempunyai kolerasi yang erat dengan Allah. Dari segi namanya saja, bisa kita uraikan secara ringkas: 1. “masjid” berarti tempat sujud. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa semua bumi yang suci, oleh Allah dijadikan masjid(tempat suduj) yang syah untuk shalat(Hr. Bukhari, Tirmidzi dan Nasai). Ini artinya: sejak awal harus menjadi kesadaran bersama bahwa masalah wilayah, teritorial, atau tanah ini harus dikaitkan dengan Allah. Tidak bisa dianggap perkara keduniaan, sebagaimana orang sekular memandang. 2. Nama lain masjid ialah “baitullah”(rumah Allah). Orang dalam sebuah negara yang sadar bahwa tanah, bumi yang dijadikan tempat tinggal adalah milik Allah, maka ia akan tidak semena-mena dalam menggunakannya. Pasti akan dibersikan ketika kotor. Dirawat, dan dijaga demi kemaslahatan bersama dan sebagai manivestasi keimanan kepada Allah. Di samping itu, pendirian masjid, dalam hal ini negara, -sebagaimana al-Qur`an. At-Taubah: 108- didasarkan asas takwa (akhlak mulia), bukan berdasarkan nafsu dan kepentingan pihak tertentu yang jauh dari takwa.
            Lebih dari itu, dalam sejarahnya, masjid bukan hanya berfungsi sebagai tempat ibadah mahdhah: shalat berjamaah. Ia juga digunakan untuk menyemai pendidikan. Dalam khazanah tradisi kebudayaan umat Islam, pendidikan besar semacam Universitas, embrionya adalah masjid. Bahkan, bukan saja sebagai tempat menempa dan kaderisasi pendidikan, ia juga berfungsi sebaga markas untuk memusyawarahkan permasalahan-permasalahan yang menimpa kaum Muslim sekaligus mencari solusinya. Kalau dalam bahasa modern, pada masa Nabi –menyitir istilah penulis: “al-Rahīqi al-Makhtūm”, karya: Shofiyurrahman Mubarakfuri- sebagai parlemen negara yang berfungsi untuk memimpin roda pemerintahan. Dari sini kita bisa mengetahui bahwa masjid bukan saja sebagai tempat ibadah, namun juga terkait kegiatan sosial, pendidikan, kebudayaan, dan kenegaraan. Maka, sekali lagi tidak mengherankan jika masjid bisa dijadikan refleksi sebagai miniatur negara Islam. Tidak berlebihan, di sisi lain masjid bisa dianggap sebaga embrio peradaban Islam. Bila umat Islam mau bangkit, maka gerakan-gerakan di Masjid yang pernah semarak dan intensif di masa Rasulullah harus digali maknanya untuk ditransformasikan dan dibahasakan dengan bahasai kekinian, sehingga manfaatnya bisa dirasakan.
            Kedua, imam sebagai kepala negara, raja, presiden atau khalifah dipilih(yang namanya imam, dipilih makmum bukan mengangakat atau mencalon-calonkan diri) berdasarkan kualifikasi keahlian yang dimiliki. Minimal ada beberapa kualifikasi yang bisa dijadikan acuan untuk memilih imam(pemimpin): 1. Beragama Islam(Qs. Ali Imran: 85). Muslim di sini dalam pengertian lahir batin(antara agama dan perbuatan berjalinkelindan). Sebab, tidak akan bisa mendirikan sebuah negara Islam, jika yang memimpin tidak beragama Islam. 2. Baligh(dewasa). Dewasa dalam pengertian lahir-batin. Pemimpin yang masih kekanak-kanakan, tidak layak menjadi pemimpin. Maka pemimpin negara yang dewasa baik secara usia, intelektual, dan mental yang layak menjadi pemimpin. 3. Diridhai oleh makmum(Hr. Ibnu Majah dan Ibnu Hibban). Bagaimana mungkin bisa disebut pemimpin, jika tidak ada dalam hati rakyat. Dan tidak mungkin diridhai jika tidak memiliki hubungan emosional yang kokoh dengan rakyat. 4. Paling pandai membaca, berilmu, dan paham(dan menguasai al-Qur`an, dalam hal ini undang-undang). Ini juga bisa dibahasakan sebagai orator ulung. 5. Berpengalaman. Pengalaman adalah bekal penting yang perlu dimiliki pemimpin. 6. Yang paling senior(Hr. Muslim). Jika sama-sama berpengalaman. 7. Penduduk Asli. Jika sama-sama memiliki standar serupa.  Dengan standar kualitatif seperti itu, maka dalam memilih sebuah pemimpin –sebagaimana dalam shalat berjama`ah di masjid-, kita tidak boleh asal-asalan.
            Lebih dari itu, ditinjau dari sisi bahasa, kata “imām” berkaitan erat dengan kata “amām”(di depan) dan “umm”(ibu). Yang namanya pemimpin, ia harus berada di garda depan baik dalam menjadi teladan, contoh bagi rakyatnya. Ki Hajar Dewantoro mengistilahkan: Ing Ngarso Sung Tulodho. Ia juga bersikap laiknya ibu, yang penuh kasih sayang dalam merawat dan mendidik anaknya. Rela menderita dan berkorban demi anak-anaknya. Pemimpin yang mempunyai kualifikasi demikian, sangat layak bahkan harus diikuti. Dalam sebuah hadits dijelaskan: “Imam diangkat, itu untuk diteladani”(Hr. Bukhari). Yang penting lagi, -dalam kaitannya miniatur negara Islam-, dalam memilih pejabat pemerintahan, seorang pemimpin harus selektif. Tidak berdasarkan kolusi, korupsi dan nepotisme. Yang dipilih adalah orang-orang yang berkompeten dibidangnya. Sebagaimana petunjuk nabi, ketika jadi Imam, ia menempatkan orang-orang yang berkompeten di belakangnya(istilah haditsnya: “Ulu al-Ahlam wa Ulu al-Nuha”[intelek dan obsesif] sebagaimana riwayat Bukhari), baik dari segi ilmu dan keahlian lainnya. Supaya apa? Ketika imam batal, nanti langsung digantikan oleh orang yang berada di belakangnya. Orang yang bertugas menjaga masjid atau ta`mir masjid mempunyai kewajiban memakmurkannya. Demikian pula kepala dan pejabat negara, mereka berkewajiban memakmurkan rakyatnya.
            Ketiga, makmum, dalam hal ini adalah rakyat, kewajibannya adalah taat dan meneladani imam. Meski begitu, mereka memiliki hak untuk protes ketika ada yang salah dari pemimpin. Sebagaimana ma`mum mempunyai kewajiban membenarkan imam, ketika bacaannya salah. Kalau pun protes, maka rakyat bisa melalui prosedur yang jelas. Sebagaimana shalat, ketika ada imam salah bacaan atau lupa rakaat sudah ada petunjuk jelas. Kalau ada salah bacaan, maka langsung diingatkan oleh orang dibelakangnya. Ketika lupa, bagi yang cowok dengan mengucapkan “subhanallah”, sedangkan cewek dengan bertepuk tangan. Rakyat tidak boleh serampangan dan maunya sendiri dalam mengingatkan, sebab jika semua diberi wewenang dengan caranya sendiri, maka jamaah(dalam hal ini: bangsa) akan bubar. Namanya makmum(atau rakyat dalam skala negara) harus merapatkan barisan. Bersatu padu, kompak, sejalan dan seirama, demi terselenggaranya kegiatan secara baik dan lancar. Kalau ada yang bolong maka segera diisi(sebagai gambaran saling menutupi aib). Begitu seterusnya sebagai gambaran yang indah dari arti penting sebuah persatuan dan persaudaraan dalam jama`ah shalat. Dalam shalat, semua dipandang sama(sebuah prinsip egaliter, persamaan). Tidak ada strata sosial dikalangan makmum dan imam. Yang paling mulia adalah yang paling bertakwa. Bila bangsa mampu menerapkan akhlak sebagai acuan kemulian, maka bisa dijamin, akan menjadi bangsa besar.
            Keempat, tata cara shalat, dalam hal ini adalah undang-undang, memang harus berasal dari ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Bagaimana mungkin bisa dikatakan negara Islam, jika undang-undang yang dipakai bukan berasal dari Allah dan Rasulnya. Sebagai contoh kecil misalnya: kalau ada orang shalat, kemudian menggunakan bacaan jampi-jampi dukun, atau menggunakan doa dari agama lain, maka jelas batal shalatnya. Kelima, kiblat sebagai arah dalam shalat. Bisa digambarkan sebagai orientasi, visi-misi dalam sebuah negara. Tidak dikatakan sebagai negara Islam jika tidak berorientasi kepada Tuhan. Semua bersatu padu mengarah pada satu tujuan, yaitu: Allah. Visi misinya jelas, yaitu: di dunia menjalankan ibadah(Qs. Ad-Dzariat: 56), dan berusaha menggapai ridha-Nya. Masalah dunia-akhirat tidak pernah dipisahkan. Bagi mereka, dunia adalah sebagai lahan untuk berdedikasi dan berinvestasi begi kehidupan akhirat. Memang imam, makmum, masjid, tidak bisa dipisahkan dari unsur dunia(seperti: bangunan masjid, baju imam dan makmum) tapi semuanya diarahkan untuk beribadah dan mendapat keridhaan Allah. Dan yang terakhir, sebagaimana masjid, masalah bentuk masjid tidak pernah ditentukan Rasulullah, sebagaimana bentuk negara(misalnya harus khilafah, kerajaan dan lain sebagainya) tapi yang negara harus tetap ada sebagai organisasi besar yang mewujudkan kemaslahatan rakyat.
            Mengenai pentingnya shalat sebagai refleksi miniatur negara Islam, maka jangan heran ketika ada ayat: “(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma´ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan”(Qs. Al-Haj: 41). Kata ‘diteguhkan kedudukan mereka di muka bumi’ menggambarkan dianugerahkannya negara yang kuat. Apa ciri-ciri mereka: Pertama, menegakkan shalat(yang menjadi refleksi dari tulisan ini). Kedua, menunaikan zakat(sebagai rukun Islam yang berskala sosial). Ketiga, menyuruh kepada yang ma`ruf. Keempat, mencegah perbuatan munkar. Kelima, mengembalikan segala urusan hanya pada Allah. Salah satu alasan yang menjadikan shalat jamaah lima waktu di masjid begitu istimewa hingga dijadikan miniatur negara, di antaranya: ia mengandung semua rukun Islam: syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji; Allah sendiri yang mewajibkannya ketika mi`raj Nabi di sidratul Muntaha. Maka jangan heran, setiap kali Rasulullah sedang menghadapi masalah pelik dan tertekan, dia berkata pada Bilal: “Wahai Bilal, marilah kita rehat sejenak dengan shalat”. Dan yang tidak kalah pentingnya, dalam al-Qur`an dan Sunnah, kata yang dipasangkan dengan shalat ialah: aqāma-yuqīmi-iqāmatan berarti: menegakkan. Karena shalat berjamaahbukan sekadar ritual biasa. Ia bisa menjadi refleksi hingga pada taraf negara. Wallahu a`lam bi al-Shawab.


IQRA`: Membaca Sebagai Manhaj Hidup

Written By Amoe Hirata on Sabtu, 18 April 2015 | 05.11

            Ketika pertama kali Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wasallam menerima wahyu, kata pertama yang disampaikan Jibril kepada beliau ialah: iqra`. Iqra` biasanya oleh kalangan penerjemah diartikan: “bacalah!”. Bila kita menelaah, mentadabburi, mengaktifkan daya fikir kita, tentu saja akan ada pertanyaan-pertanyaan demikian: Muhammad ذkan tidak bisa membaca, kenapa ayat pertama adalah perintah untuk membaca? Okelah kalau ternyata akhirnya Muhammad bisa membaca, tapi obyek yang disuruh untuk dibaca, itu tidak disebutkan, bukankah ini juga masalah lain? Lalu kenapa juga Jibril terus memerintahkannya ketika Muhammad sudah bilang tak bisa baca, dan setiap kali memerintah, Muhammad dirangkul dan ditekan dengan keras hingga kepayahan, dan beliaupun ketakutan setelah peristiwa itu? Bagaimana aturan-aturan dan mekanisme membaca menurut Al-Qur`an jika membaca itu adalah perintah? Dengan menggunakan daya kontemplatif siklikal kita sedikit demi sedikit akan menemukan titik terangnya.
Pertama: Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wasallam  tidak bisa membaca dan menulis merupakan fakta sejarah. Al-Qur`anpun menyebutnya dengan: ar-Rasulu al-Ummiyu. Kemudian, kata pertama yang disampaikan adalah dengan menggunakan kata kerja perintah. Sedangkan dalam kaidah Ushul Fiqh, kita menjumpai pernyataan: asal dari perintah itu adalah wajib, kecuali ada indikator yang menyalahinya. Dengan pendekatan ini, perintah “iqra`(bacalah)” bukan dan sama sekali tidak berkaitan dengan hobi. Kata iqra` seolah ingin menegaskan kapada kita bahwa membaca bukanlah sekadar hobi atau sebagai kesenangan belaka, tapi lebih dari itu bisa dikatakan sebagai why of life(jalan hidup) yang oleh Dr. Ragib As-Sirjani diistilahkan dengan: Al-Qiraa`atu Manhaju al-Hayaah(Membaca adalah sistem kehidupan). Kemudian kata kerja perintah ini sifatnya dinamis. Artinya perintah untuk iqra` itu harus selalu diaktualisasikan karena itu merupakan manhaj hidup. Kemudian mengenai kenyataan bahwa Nabi Muhammad adalah Rasul yang ummi(tak bisa membaca dan menulis) disatu sisi memang kalau kita berpikir secara dangkal melalui konteks aibnya seseorang ketika tak bisa baca-tulis maka ini bisa dimaklumi. Namun pikiran semacam ini sama sekali bertentangan jika bertolak dari konsep kemukjizatan Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wasallam. Coba bandingkan! Mana yang lebih hebat: antara orang yang sebelumnya bisa baca-tulis kemudian ia disuruh membaca dan bisa membaca, dibanding dengan orang yang sebelumnya tak bisa baca-tulis lalu ketika disuruh baca ternyata langsung bisa, padahal ia tidak pernah membaca? Tentu saja kita akan menjawab bahwa tipe kedualah yang lebih hebat(yaitu orang yang bisa baca padahal belum pernah belajar baca). Kemudian dari sisi orisinilitas dan kemurnian orang yang ummi ini bisa dijamin keamanahannya karena ia sama sekali tidak dipengaruhi oleh pemikiran dan ideologi apapun. Menyerap titahpun lebih mudah dibanding dengan orang yang sudah pernah belajar sebelumnya. Yang lebih penting dari semua itu ialah bahwa Nabi Muhammad langsung diajari oleh Allah ta`ala tanpa perantara dan campur tangan manusia sehingga kemurnian al-Qur`an tetap terjaga. Logikanya seperti ini: Fakta sejarah menyatakan bahwa Muhammad tidak bisa baca tulis+Fakta lain menyatakan pula ternyata Ia bisa membacakan wahyu+tidak ada satupun yang membantah kenyataan ini+kemudian ia juga tidak pernah belajar baca baca kepada satupun manusia+ini juga kenyataan sejarah= satuan-satuan fakta dan kenyataan tersebut mengantarkan kita pada kenyataan logis bahwa tidak mungkin ia sesuatu terjadi tanpa sebab. Kalau Muhammad tidak belajar pada manusia berarti yang mengajarinya ialah adalah Dzat Pencipta Manusia yaitu Allah subhanahu wata`ala. Kesimpulan pada poin pertama ialah: Membaca bukanlah hobi tapi manhaj/ jalan hidup. Nabi benar-benar diajar Langsung oleh Allah. Keummiyan Rasul justru sebagai kemuliaan dan kehebatan bila ditinjau dari konsep mukjizat. Perintah membaca ini selalu dinamis sehingga manusia selalu dituntut untuk membaca selama hidupnya.
            Kedua: Obyek bacaan tidak disebutkan. Ini menandakan bahwa yang dibaca tak selalu ayat-ayat literal tapi juga ayat-ayat kontekstual kauni(alam). Kalau kita bandingkan jumlah antara ayat Qur`ani dan Kauni itu lebih besar ayat Kauni. Jadi pada skup, ruang dan dimensi obyek bacaan sang bersifat alam kontemplatif justru lebih luas dan tak terkira. Hal ini sangat wajar kalau pada ayat-ayat al-Qur`an terkandung perintah berpikir dan kontemplasi karena ini erat kaitannya dengan ayat-ayat kauniyah. Untuk berfikir saja ada digunakan banya instrumen: Tafakkur, Tadzakkur, Tadabbur, Nadhar, Ibshar, `Aql. Bagi subyeknyapun ada beberapa istilah: Ulul Albab, Ulin Nuha, Ulil Abshar, Dzi Hijr. Kesemuanya merupakan paduan subyektif-obyektif sebagai instrumen media untuk membaca ayat-ayat Allah yang terhampar di alam. Karena itulah, tidak berlebihan jika perintah membaca ini sebanarnya bukan hanya ditujukan pada orang Islam, tapi siapa saja yang ingin menjalani hidupnya dengan suksek maka dia harus menerapkan iqara` dalam hidupnya. Para pemimpin misalnya dia layak dijadikan pemimpin jika ia mampu untuk membaca secara kontekstual kondisi sosio-historis yang dipimpin, membaca potensi yang dipimpin, membaca setiap peluang-peluang emas yang bisa dipacai untuk mensejahterakan yang dipimpin, juga membaca berbagai situasi dan kondisi yang bisa membahayakan yang dipimpin sehingga pada akhirnya ia mampu melakukan usaha-usaha antisipatif supaya tidak sampai menyengsarakan yang dipimpin. Ini juga berlaku pada subyek yang lain misalkan: pedagang, dokter, karyawan, guru, petani, budayawan dan berbagai profesi lainnya harus menerapkan konsep iqra` dalam arti yang lebih luas berupa kontemplasi kontekstual alam. Mereka yang tak mampu menerapkan konsep ini akan jatuh dengan sendirinya karena ini merupakan suatu keniscayaan. Akan tetapi Allah memberi karunia yang begitu besar berupa ayat literalnya berupa Al-Qur`an. Pada akhirnya setiap bacaan kontemplatif alam akan sejalan dan sesuai dengan Al-Quran. Karena tidak mungkin kedua ayat Allah saling bertentangan. Yang membuat terjadi pertentangan ialah karena ketidakmampuan akal manusia dalam mencerna dan mengharmonisasikannya. Kesimpulan pada poin kedua ialah: Obyek bacaan disembunyikan menandakan bahwa yang dibaca bukan sekedar ayat literal tapi juga non literal seperti ayat-ayat alam.
            Ketiga: Jibril `alaihi salam mengulang perintah sebanyak tiga kali sambil diiringi dengan rangkulan yang kuat dan menekan sehingga membuat Rasulullah kepayahan. Di sini ada semacam makna tersirat berupa penegasan dan penetapan secara amat intim, terang dan nyata pada Muhammad bahwa apa yang sedang terjadi ini bukanlah mimpi. Ia benar-benar telah dipilih oleh Allah menjadi Nabi. Sedangkan rasa takutnya pasca peristiwa yang mencengangkan itu sebagai bukti nyata bahwa Nabi Muhammad shallalahu `alaihi wasallam bukan secara sengaja dan aktif menginginkan jadi Nabi. Menjadi Nabi bukanlah keinginan-Nya. Tapi itu murni hak prerogatif Allah. Kalau sedari awal dia menyengaja dan sadar bahwa dirinya akan mencari kenabian, maka tidak mungkin dia ketakutan ketika didatangi Jibril. Kesimpulan poin ketiga ialah: Tindakan Jibril secara tersirat sebagai penegasan bahwa Muhammad benar-benar menjadi Nabi, dan Muhammad sama sekali bukan sengaja mencari kenabian tapi itu murni pilihan Tuhan.
            Keempat: Mekanisme dan cara membaca yang benar sangat bertalian dengan ayat yang pertama kali turun yaitu surat al-`Alaq ayat 1-5. Ada beberapa prosedur supaya penerapan iqra` itu sejalan dengan maksud Tuhan. Pertama: Membaca harus dengan Nama Allah. Bukan karena kepentingan pribadi, bukan karena tendensi, dan bukan karena kepentingan-kepentingan artifisial lannya. Membaca harus diniatkan dengan nama Allah. Orientasinya harus kepada Allah. Jika tidak maka keonklusi dari iqra` akan rancu dan sama sekali bertentangan dengan maksud Sang Pencipta. Jadi membaca harus diniatkan karena Allah. Segala aktifitas yang diniatkan karena Allah akan bernilai ibadah. Kedua: Secara khusus yang disebut disini nama Allah berupa Rabb yang telah menciptakan makhluknya. Secara tersirat ini mengisyaratkan bahwa yang dibaca juga termasuk ayat-ayat kauniyah. Dan kita harus membangun kesadaran internal dalam jiwa kita bahwa Allahlah yang menciptakan semua itu. Dengan keyakinan ini setiap kali membaca kita akan tertaut dengan Allah. Semakin dalam dan intens dalam melibatkan Allah ketika ber-iqra` maka akan semakin membuka peluang pada hakikat iqra`. Karena Allah merupakan Dzat yang menciptakan manusia dari sesuatu yang tak berarti kemudian menjadi berarti. Tentu saja dengan melibatkan Allah kita akan dibukakan pintu-pintu ilham untuk memahami hakikat iqrq`. Ketiga: Membaca juga harus dilatari dengan nama Allah yaitu Al-Akram. Perbedaan antara Al-Karim dengan Al-Akram ialah bahwa Al-Akram ialah Mengajarkan sesuatu tanpa sebab, sedang Al-Karim mengjarkan sesuatu dengan sebab. Artinya bahwa ketika membaca hendaknya terpatri bahwa yang dilakukan hanya malalui sebab-sebab, terkadang Allah juga mengajarkan ilmu tanpa sebab. Dalam proses ber-iqra` ini peluang itu sangat mungkin terjadi. Terkadang dalam proses membaca fenomena alam kita merasakan semacam bisikan-bisikan pada benak kita yang menyiratkan kesimpulan-kesimpulan penting. Bila ini benar maka itulah yang disebut inspirasi atau ilham. Buktinya disini Nabi Muhammad yang tak bisa membaca dengan seketika atas ijin-Nya bisa membaca. Keempat: Allah mengajarkan dengan perantara pena. Ini mengindikasikan pentingnya sarana untuk menuju pada tujuan. Budaya membaca sangat erat kaitannya dengan pena / menulis. Orang tidak akan mempunyai kemampuan menulis jika tak rajin membaca baik secara tekstual maupun kontekstual. Kelima: Yang perlu menjadi kesadaran yang terpenting ialah bahwa semua ilmu itu berasal dari Allah. Allahlah yang mengajari kita. Karena itu dalam proses ber-iqra` kita tidak boleh sombong dan merendahkan orang lain, karena pada dasarnya semua hasil yang dari membaca sejatinya berasal dari Allah semata. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa mekanisme dalam membaca ayat-ayat Allah baik yang kauniyah maupun qauliyah ialah dengan prosedur demikian: 1. Diniatkan karena Allah 2. Melibatkan Allah(dalam artian membangun kesadaran dalam jiwa bahwa Ialah Yang Menciptakan makhluk). 3. Yakin bahwa disamping Allah mengajarkan sesuatu dengan sebab, Ia juga mampu mengajarkan sesuatu tanpa sebab. 4. Iqra` membutuhkan sarana dan usaha. 5. Tidak boleh sombong karena sejatinya yang mengjarkan ilmu ialah Allah subhanahu wata`ala. Dengan melalui langkah-langkah ini insyaAllah proses ber-iqra` akan terarah dan benar-benar terorientasikan pada Allah.

            Pada akhirnya kita bisa menemukan titik temu antara judul dan bukti yang dipaparkan barusan. Bahwa membaca adalah jalan hidup, whay of life. Bagi siapa saja yang ingin sukses maka ia harus membaca, bukan saja membaca ayat-ayat Allah yang qauli tapi juga kauni. Dengan demikian kita jangan menjadikan membaca sekadar hobi tapi sebagai titah dari Allah ta`ala. Yang perlu dicamkan dalam proses iqra` kita harus niatkan karena Allah. Rasulullah dalam sejarah kehidupannya sangat memperhatikan pentingnya iqra`. Salah satu kebijakan beliau adalah mengentas buta huruf. Pasca perang Badar beliau membebaskan tawanan perang dengan syarat mengajari anak-anak kaum muslimin membaca dan menulis. Sedangkan membaca yang sifatnya alami kontemplatif, beliau adalah orang di garda depan dalam hal ini. Melalui potensi akal dan pikirannya beliau merupakan seorang yang ketika senggang selalu membaca ayat-ayat yang terbentang di alam. Tentu saja, dalam ber-Iqra` kita jangan sampai salah niat, niatnya bukan keuntungan duniawi semata tapi dibarengi dengan kesadaran penuh mencari ridha Allah. Sekali lagi ditekankan: Membaca adalah manhaj hidup. Bagi siapa saja yang menginkan kesuksesan maka dia harus menaerapkan iqra`. Jemputlah kesuksesan anda dengan membaca. Dengan membaca anda akan mengenal Allah ta`ala.

Aslim Taslam

Written By Amoe Hirata on Jumat, 17 April 2015 | 19.35

Aslim taslam
Engkau berislam
Sebagai rahmat sekalian alam
Tidak berbuat kejam,
membuat geram,
bahkan menyulut api dendam

Aslim taslam
Keberadaanmu laksana mutiara dalam,
kerang cahaya yg tak kan padam
Menjadi anugerah siang-malam
Membuat hati tentram
Pelipur lara jiwa kelam

Aslim taslam
Kau bekerja dalam diam
Di saat orang pada tenggelam
Dalam dunia yg curam
Semangat tak pernah padam
di depan bahaya mengancam

Aslim taslam
Engkau masuk Islam
atas nama as-Salam
bukan tradisi masa silam
di saat 'kapal manusia' karam
Keselamatan hanya dalam Islam

Lulus Karena Lolos

Written By Amoe Hirata on Kamis, 16 April 2015 | 20.36

Alhamdulillah pak
Lilis tlah lulus
Lolos dari pengawas galak
Lega nafas berhembus

Aduh nak
Bapak dengan tulus
Mendidikmu jujur bertindak
Kok malah mbladus

Begini pak
Orang jujur jadi hangus
Tak jujur berdiri tegak
Para guru tak pernah serius

Aduh, ingatlah nak
Jadilah pelajar tulus
Kalau singa jangan ditulis badak
Kamu ini pelajar apa pemain sirkus?

Bukan BOCORAN Tapi PEMAHAMAN

Anak-anakku,
Para siswa sekalian
Kalian harus belajar, jujur
Ujian di depan mata

Kehadiran ibu
Untuk membagikan
Trik agar mujur
supaya kalian bisa

Kalau kertas di saku
Telah dibagiakan
Konsentrasi dan tafakkur
Mana A, B, C, dan D-nya

Jangan menjadi lugu
Jika kertas di hadapan
Jadilah orang bersyukur
Kemudian segera dicari yg sama

Anak-anakku,
INGAT! ini bukan bocoran
Hanya PEMAHAMAN terstruktur
Jika dilaksanakan, pasti JAYA

-------------------------------------------------

Kalau ini dinamakan guru
Bocoran dianggap pemahaman,
Generasi akan hancur
Pendidikan pun menjadi fatamorgana

Sejak Kapan Presiden Punya Anak?

Written By Amoe Hirata on Rabu, 15 April 2015 | 10.12

Sarikhuluk bingung
Orang-orang kampung
Sedang merumpi
Anak presiden RI

Hatinya bersenandung
Sejak kapan bung
Presiden punya putra
Bukankah hanya jabatan sementara

Laiknya gubernur, bupati, camat, sampai lurah
Itu hanya tahta dan amanah
Jabatan tidak beranak
Manusia yang berkembang-biak

Sharikuluk khawatir
Jabatan akan dieksploitir
Rakyat menjadi salah kaprah
Negara menjadi semakin parah
 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan