Takut Jabatan

Written By Amoe Hirata on Rabu, 15 Agustus 2012 | 19.34

               Di tengah hiruk pikuk negara yang penduduknya mengimani idiologi demokrasi, fenomena kompetisi jabatan tidak asing untuk diperbincangkan. Bukan karena menjabat sebagai suatu tanggung jawab besar yang harus diemban, tetapi pada realitanya lebih kepada kompetisi formal struktural dan fungsional yang bisa melonjakkan serta meningkatkan level seseorang agar menjadi lebih terhormat, mulia dan disegani. Di saat tertentu memang untuk meyakinkan orang, biasanya digunakan berbagai cara yang persuasif-inovatif dengan mengusung tema besar mengenai kepentingan orang banyak, mengenai isu-isu sosial, sebagai pijakan suksesi mendapatkan jabatan. Jabatan kebanyakan sudah ditanggalkan dari ruh tanggung jawab; sudah diceraikan dari spirit masuliyah(responsibilitas); sudah digugurkan dari rahim tanggung jawab. Kalau kita mengenal istilah dunia dan akhirat, maka jabatan secara umum sudah begitu sangat mendunia dan dijauhkan dari kepentingan akhirat; jabatan sudah sedemekian mengental dengan orientasi duniawi hingga unsur ukhrawinya luluh mencair meninggalkannya. Implikasi riil dari fenomena ini jelas akan semakin mendikotomi manusia dari integritasnya sebagai manusia yang secara transendental memiliki hubungan yang apik denga Sang Penciptanya. Jabatan dalam fenomena ini tentu saja sangat meredusir subtansi manusia. Manusia yang berorientasi jabatan, kebanyakan sudah begitu luntur kemanusiaannya. Ia bukan lagi sebagai manusia seutuhnya. Dalam menilai orang biasanya dengan standar fungsional-struktural dari jabatan yang sedang dijalani. Orang akan dihormati jika memiliki jabatan tinggi. Orang yang jabatannya rendah sama sekali tak diperhitungkan meski kemanusiannya lebih natural, utuh dan orisinil daripada yang punya jabatan tinggi.
            Dari paradigma hukum Islam, jabatan memang tidak dilarang, asal sesuai dengan prosedur syari`at. Tapi masalahnya kemudian ialah bahwa secara etis sebagaimana yang diwejangkan Nabi, bahwa hubungan atau korelasi antara manusia dengan jabatan itu seyogianya ‘diminta’ bukan ‘meminta’; ‘diajukan’ bukan ‘mengajukan’; ‘dicalonkan’ bukan ‘mencalonkan’; ‘diangkat’ bukan ‘mengangkat’. Suatu saat Rasul bersabada yang intinya: “Barangsiapa meminta jabatan, maka akan diserahkan (bebannya) pada dirinya sendiri, sedangkan orang yang diminta menjabat akan ditolong oleh Allah. Lihat perbedaan fundamental dari dua kata tersebut. Allah akan menolong orang yang diminta menjabat dan membiarkan orang yang meminta jabatan menanggung beban jabatan tanpa pertolongan-Nya. Mekanisme demikian memang kurang subur di tanah demokrasi. Ini hanya bernilai mitos bagi kebanyakan orang. Semua mekanisme untuk memperoleh jabatan memang mengarah pada ‘me’ daripada ‘di’. Sebenarnya meski secara teknis iklim demokrasi mengaharuskan demikian, di sisi lain ada sela-sela yang secara kualitatif-subtansial bisa diakomodir untuk menghasilkan output yang positif baik untuk individu maupun sosial. Namun sekali lagi usaha inipun sudah sedemikian langkah dan biasanya tumbuh-berkembang pada manusia-manusia yang secara sosio-kultural termarjinalkan dari berbagai pernak-pernik fungsional jabatan. Kondisi ini secara sadar maupun tidak sadar, memang dimeriahkan dengan kecanggihan media yang dimiliki oleh pihak-pihak yang multi kepentingan individual. Sehingga karena saking terbiasanya, atmosfir kompetisi jabatan semacam tadi sudah bukan hal yang tabu, tetapi sudah menjadi hal yang layak untuk diperlombakan, dan dikompetisikan demi meraih keuntungan pribadi.
            Berkaitan dengan tema: “Takut Jabatan”, ada baiknya kita segarkan kembali ingatan kita dengan sejarah emas sahabat-sahabat Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wasallam. Pernahkah anda mendengar atau ingatkah pada sosok yang bernama Miqdad bin `Amru? Beliau adalah sahabat yang pemberani, komandan pasukan berkuda di perang Badar, dermawan, penuh hikmah, sangat cinta Nabi, antusias dalam berjihad dan sangat anti pada kedzaliman. Mengenai kemuliaan dan sepakterjangnya dalanm dunia perjuangan dan perjuangan tidak perlu diragukan lagi. Banyak sekali pengalaman-pengalaman berharga yang dia alami bersama Rasulullah. Salah satu pengalamannya bersama Rasulullah yang berkaitan dengan jabatan ialah bahwa suatu ketika Rasulullah menjadikannya sebagai wali(gubernur), ia mendapatkan jabatan gubernur dari Rasulullah. Ketika sudah menyelesaikan tanggung jawabnya sebagai gubernur, Rasulullah bertanya padanya: Apa yang kamu dapati dari jabatan gubernur(kepemimpinan)? Miqdad menjawab: Wahai Rasulallah, (ketika aku menjabat) aku mennyangka(menganggap)  bahwa semua manusia adalah sebagai pelayan atau budakku. Demi Allah, aku tidak akan menjabat apapun selama aku masih hidup. Dalam kitab rijal haular rasul kisah Miqdad mengenai jabatan yang senada dengan cerita diatas digambarkan demikian: Pada suatu hari ia diangkat oleh Rasulullah sebagai amir disuatu daerah. Tatkala ia kembali dari tugasnya, Nabi bertanya: “Bagaimanakah pendapatmu  menjadi amir?” Maka dengan penuh kejujuran dijawabnya: “Anda telah menjadikan daku menganggap diri diatas semua manusia sedang mereka semua dibawahku….Demi yang telah mengutus anda membawa kebenaran, semenjak saat ini saya tak berkeinginan menjadi pemimpin sekalipun untuk dua orang untuk selama-lamanya.
            Miqdad bukan berarti tak kapabel dan kompeten dalam menanggung jabatan yang diamanahkan padanya. Kita mengetahui bahwa dia bisa diandalkan. Ia sama sekali tak meminta jabatan, tapi diminta. Namun pengalaman pribadinya dalam menjalankan roda kepemimpinan jabatan yang ditanggungnya memercikkan suatu hikmah yang luar biasa, sehingga bernilai filosofis dan penuh hikmah. Bahwa jabatan cendrung menggiring seseorang untuk memandang manusia lain lebih rendah dari dirinya; lebih cendrung mendorong seseorang memandang manusia lain sebagai pelayan, budak dan anak buahnya. Kesadaran itu membuatnya berkomitmen untuk takut jabatan semasa hidupnya. Coba banyangkan, ini ketika jabatan dipegang oleh orang amanah dan sanggup menanggung serta bukan meminta jabatan tapi diminta, mengalami pengalaman semacam ini. Lalu bagaimana dengan atmosfir demokrasi yang melahirkan sistem-sistem yang membuat orang harus meminta jabatan padahal kadang-kadang bahkan sangat banyak sekali yang kemampuanya tidak paralel dengan jabatan yang diemban. Apakah bukan malah membuat sengsara orang lain dan hanya mementingkan kepentingan pribadinya? Jawabanya ada pada pengalaman dan relung hati anda.

Pertaruhan Cinta

Written By Amoe Hirata on Rabu, 08 Agustus 2012 | 17.13

Malam hari kota Heidelberg sedang dibanjiri hujan salju. Musim dingin nampaknya tak kunjung usai. Kondisi demikian biasanya membikin kebanyakan orang males keluar rumah. Mereka lebih suka menghangatkan diri didalam rumah sambil menikmati kopi susu dan minuman hangat lainya. Tak jauh dari kondisi dingin salju itu, Dino terlihat bersikap dingin dan cemberut seakan ada sesuatu masalah besar yang sedang menimpanya. Sepulang kuliah, tidak seperti biasanya ia langsung pergi menuju rumah sewaanya.  Biasanya sepulang kuliah ia mampir dulu ke perpustakaan kampus.
            Ia betul-betul terlihat bingung. Lagi-lagi ia dihadapkan dengan posisi sulit. Belum lama lamaranya ditolak oleh orangtua Wangi Bunga Kasturi, karena ia bersikukuh untuk bepegang teguh pada agamanya dan ingin segera menikahi Kasturi. Ternyata tidak sampai disitu, tadi pagi salah satu dosen wanitanya bernama Diana Lhorenza juga sedang memberikan pilihan sulit pada Dino. Dia merupakan doktor utama penguji skripsinya. Diam-diam dosen itu menyukai Dino. Dino diberi pilihan kalau mau lulus dia harus rela bercinta dengan dosennya. Kalu tidak ia terancam tidak lulus.
Dino masih termenung seorang diri. Ia disIbukkan oleh pilihan sulit. Antara lulus S1 tapi bercinta dengan dosen yang tidak ia cintai itu, atau ia memilih tidak lulus tapi idealisme yang ia bangun selama ini akan gagal dengan sia-sia belaka. Rasa pusing semakin membebaninya. Disaat seperti itu ia ingat Bapaknya pernah berpesan:” Nak, railah segala sesuatu dengan  cara yang jujur dan tidak mengorbankan prinsip, bila engkau dihadapkan dengan pilihan sulit tetaplah berpegang pada kejujuran dan memegang prinsip, jangan sampai hanya karena idealisme engkau rela tidak jujur dan mengorbankan prinsip”.
Ingatan itu seakan datang sebagai solusi. Ia datang pada saat yang tepat. Hatinya sekarang sudah sangat tenang. Dia mantap akan memilih pilihan yang kedua yaitu rela tidak lulus demi mempertahankan kejujuran dan prinsipnya. Ia rela tidak lulus S1 jika harus mengorbankan prinsip nila yang telah ia pegang selama ini.
Memang benar-benar terjadi. Sewaktu Dino menyampaikan pilihan kedua dosenya tiba-tiba naik pitam dan mengancam tidak akan meluluskanya. Dengan sikap tabah dan tenang Dino menimpali:” Lakukanlah apa saja yang anda inginkan, bagi saya kejujuran dan prinsip itu lebih utama dari hanya sekedar kelulusan, saya heran di negara yang bebas ini masih ada pemaksaan-pemaksaan kehendak”.
            Melihat Dino yang begitu kuat memegang prinsip itu Diana Lhorenza tidak berdaya. Karena merasa kalah dan malu ia benar-benar akan tidak meluluskan Dino. Dalam hati kecilnya diam-diam ternyata takjub dan iba melihat ketabahan dan kekuatan Dino dalam memegang prinsip namun dia tetap bersikeras untuk tidak meluluskan Dino.
Pasca kegagalan studi yg dialaminya ia memutuskan untuk keluar dari kampus dan belajar secara otodidak sambil mengembangkan teori-teori yang diperolehnya selama belajar dikampus. Tak hanya itu ia rajin manjalin komunikasi dengan dokter-dokter ternama di kota itu hingga ia mendapat pengalaman yang luar biasa.Ketika Dino sedang asyik membaca buku ia mendapatkan sms dari pamanya; Ibnu Sina:” Dino bagaimana kabarmu? Kapan kamu balik ketanah air? Paman dan keluarga sangat kangen sama kamu, Kamu bilang kuliah disana tinggal dua bulan lagi, paman harap kalau sudah selesai kamu segera pulang karena perusahaan sedang membutuhkanmu, ada berita yang mungkin cukup bagus bagi kamu, Puspita sari denger-denger tidak jadi nikah dengan Aji yang lulusan Madinah, barang kali ini adalah kesempatan bagimu untuk segera melamarnya kembali sebelum dilamar orang, paman tahu kau masih mencintainya”.
Sms itu membuat Dino agak sedikit kaget. Gadis cinta pertamanya sampai saat ini ternyata masih belum menikah. Yang jelas dia akan mendapat peluang besar jika dia segera pulang dan melamarnya. Tapi ia agak ragu karena dengan pulang tanpa membawa ijazah seolah telah mengecewakan pihak keluarga dan merasa bohong kepada Puspita karena ternyata studinya gagal. Lagi-lagi ia bingung seolah berada dalam pertaruhan cinta. Kalau ia tidak pulang kesempatan akan lenyap. Kalau pulang dengan tanpa membawa ijazah dia akan mengecewakan keluarga dan merasa membohongi puspita.
Ia belum bisa menjawab. Ia hanya menulis puisi:

Ketika benih-benih cinta tumbuh indah memesona
Menghiasi taman-taman jiwa yang bersemai sayang
Ku sambut bunga cinta dengan aroma kasih
Yang ku tebar melalui wangi janji setia
Tak kusangka keindahan itu diterpa badai
Hingga bunga itu tak dapat ku jamah dan kucium wanginya
Aku tak patah arang meski patah hati
Ku terus  pergi jauh  lalui rambu-rambu cinta
Hingga tanpa sadar bunga cinta itu kembali tumbuh mekar
Kalbu merasa gunda
Apakah aku harus memetik bunga cinta yang sama
Jiwa sedang menghadapi dilema

Dalam pertaruhan cinta
 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan