Home » » Menuju Tasyrîq

Menuju Tasyrîq

Written By Amoe Hirata on Senin, 28 Agustus 2017 | 13.07


          DI bawah naungan pohon kelor, Sarikhuluk pada waktu Dhuha istirahat sejenak bersama sahabat-sahabatnya setelah mengeluarkan peluh di sawah miliknya. Kopi, gorengan, ada juga rokok dihidangkan sedemikian rupa oleh Mbok Tuti, yang merupakan nenek dari Paieden yang terkenal dermawan dan khas dengan racikan kopinya.

            Nuansa demikian tentu saja tidak benar-benar dihabiskan untuk istirahat an sich. Justru bagi Sarikhuluk dan kawan-kawan, meminjam istilah Surah An-Syarh, istirahat sejati adalah pindah pada kegiatan-kegiatan lain yang bernilai positif. Wa idza faraghta fanshab. Maka, istirahat mereka supaya tidak masuk dalam kategori hadits “min husnil islamil mar’i tarkuhu maa laa ya’niihi” (keislaman yang baik dinilai dari kemampuan seorang muslim dalam meninggalkan sesuatu yang tak berguna), atas asas demikian berlangsunglah diskusi yang ganyeng di antara mereka.
            Pada saat itu, yang membantu Sarikhuluk mengurus bajak sawah adalah Paiden, Paimo, Paidi, Paijo, dan Poniman. “Cak, diskusi apa yang pas saat ini?” tanya Poniman memecah kesunyian yang diiringi semilir angin pagi di pelataran sawah. “Gitu saja masih nanya Pon Pon. `Kan banyak sekali ayat-ayat di depan mata yang terhampar. Daun kelor, tanah, sapi, brojol, pohon bambu, rentetan pohon pisang, dan lain-lain memiliki nilai untuk di-onceki (dikupas) esensi maknanya,” sambung Paijo.
            “Ya ga papa toh Jo. Mungkin maksud Poniman supaya diskusi lebih kekinian dan tak ketinggalan zaman. Nah, kalau menurut Cak Sarikhuluk apa yang pas?” lanjut Paidi. “Baik Poniman maupun Paijo memang memiliki sisi pandang positif yang perlu diperhatikan. Kalau aku diminta usulan tema diskusi, kok yang terlintas dalam benakku tentang: “Menuju Tasyrîq”. Sebab, sebentar lagi (2-4 September 2017 11-13 Dzulhijjah 1438) akan berlangsung hari tasyrîq.”
            “Apik tenan Cak. Aku juga masih penasaran tentang diskusi beberapa tahun lalu menengenai Menyongsong Hari Tasyrîq yang kalau tidak salah, seperti yang aku dengar dari Cak Markoden dan Markemol, dan sampen sendiri, berhenti pada lakon Gatot Kaca yang muncul dari kawah candra dimuka,” timpal Paimo. “Oke, kalau itu yang disepakati, langsung aku mulai ‘todong’ saja Cak Sarikhuluk dengan pertanyaan setajam silet, hehehe, kaya’ acara gosip aja,” kata Paiden dengan semangat 45, “dulu `kan tasyrîq mengandung unsur nilai: pendendengan jasmani hingga menjadi ruhani, mencahayai materi sehingga bernilai ruhani, bahkan dikait-kaitkan dengan legenda wayang yang sakti mandraguna Gatot Kaca.”
            “Malah menurutku disimpan saja dulu ‘biji nilai’ yang kemarin mengenai tasyrîq. Sebab, kita ini perlu kesadaran diri terlebih dahulu mengenai tasyîq. Aku usulkan tema: “Menuju Tasyrîq” bukan tanpa alasan. Aku khawatir kalau sekadar melanjutkan tema tasyrîiq yang beberapa tahun kemarin, tasyrîq hanya akan menjadi obrolan semata, cuma diketahu tapi ga mampu dilakoni, dan tidak menjadi kesadaran niliai yang tidak berbekas pada amal nyata. Aku pernah mendengar yaiku berkata, ‘Ilmu iku ojo sekedar dicangkemi.’ (Ilmu itu jangan sekadar dijadikan buah bibir) artinya harus ber-out put  amal kebaikan bukan hanya teori ompong.”
            “Kata ‘menuju’, bisa berarti arah yang membantu seseorang pada tujuan. Juga bisa ‘men-tujuh’, yang berarti berupaya mencapai angka tujuh. Angka tujuh ini memang aka proporsional. Dikatakan jelek juga tidak. Disebut sangat baik, juga tidak. Ya lumayanlah, masuk kategori wasathiyah (moderat). Ayat Al-Fatihah `kan juga tujuh. Dalam bahasa Indonesia, untuk menunjukkan sepakat memakai istilah: se-tuju. Dalam jawa angka tujuh juga digunakan untuk kata-kata yang positif, misalnya: pitu-duh (petunjuk), pitu-tur, pitu-lungan,  dan lain-lain, gak mungkin disebutkan semua di sini,” sambung Sarikhuluk.
            “Terus kalau digandengan dengan ‘tasyrîq’ memang apa Cak?” Poniman penasaran. Ketika Sarikhuluk mau menjawab, dengan sigap Paidi menerobos, supaya tidak bergantung pada Sarikhuluk, “Maaf Cak, aku mencoba menjawab dari sudut pandang bahasa yang sampean tadi kemukakan. Menuju Tasyrîq dengan demikian berarti kita sedang mengarah pergi padanya. Tentu saja bukan sekadar pergi, yang namanya orang bepergian atau musafir `kan perlu bekal. Nah, mumpung masih tinggal beberapa hari, maka kita harus nyiapi bekal.”
            “Makna selanjutnya, tasyrîq tahun ini, usahakan berada angka proporsional angka tujuh dulu. Kita sebagai manusia gak mungkin lah bernilai ma’shum 10. Kalau delapan dan sembilan, mungkin-mungkin aja. Tapi ya kita sadar dulu aja. Wong selama ini kita tidak tahu, kualitas angka tasyrîq kita masih 1, 2, 3, 4, 5, dan 6. Makanya, dengan target men-tujuh, itu sudah sangat baik.”
            “Jawaban Paidi sudah sangat baik. Aku pun meng-acc, hehehe,” komentar Sarikhuluk sambil memakan gorengan, “dalam persoalan etimologi memang Paidi ahlinya walau gak pernah makan  bangku sekolah. Tapi justru yang perlu dipertanyakan adalah makna tasyrîq bila digandeng dengan kata ‘menuju’. Apakah penggunakan makna-makna yang sudah pernah kita diskusikan, atau ada sudut pandang lain yang lebih relevan untuk saat ini?”
            “Biar ga berkepanjangan, monggo Cak dipakai sudut pandang njenengan dulu, soalnya bentar lagi waktunya bekerja kembali, kapan-kapan bisa dilanjut,” usul Paimo. “Oke kalau begitu. Tapi ini cuma masih biji, nanti bisa kita lanjut, dikembangkan diacara tasyrîq. Aku tahun ini berusaha meluangkan waktu untuk ‘menuju tasyrîq’ sebab firasatku ada yang berbeda,” tambah Sarikhuluk yang diamini oleh mereka. Mereka pun komitmen mau ikut acara tasyrîq.
            “Makna tasyrîq pada beberapa tahun yang lalu, disimpan dulu. Karena tadi memakai idiom ‘menuju’ maka tasyrîq kita bahas dari sudut pandang ‘arah’. Tasyrîq `kan dalam bahasa Arab dari timbangan syarraqa-yusyarriqu-tasyrîqan. Kata dasarnya tak bisa dilepas dari kata syarqun yang berarti arah timur. Nah, kalau kita perdalam lagi, arah ini menjadi awal terbitnya matahari berikut cahayanya. Kalau diperas lagi nilainya, sunnatullah yang ditetapkan untuk makhluk-Nya. Sunnatullah ini pada akhirnya akan rusak sebagai tanda akhir zaman, yaitu: terbitnya cahaya matahari dari barat. Terbitnya matahari dari barat sebagai tanda kehancuran ketika sunnatullah sudah tidak ditempatkan pada tempatnya, alias kiamat,”
            “Ringkasnya, menuju tasyrîq adalah nilai penting bagi kita kembali ke sunnatullah, kembali ke fitrah, kembali kepada kemurnian, mbalek ke jalur yang semestinya. Bila kita sudah terlampau jauh dari batas-batas ketetapan Allah akibat kesalahan, khilaf, dosa, dan berbagai hal yang menyebabkannya, maka segeralah kembali kepada jalur yang semestinya. Yang sudah ada, ojo diowah-owahi. Kembalilah kepada ajaran yang murni. Ibarat mentari yang terbit dari timur memberikan cahaya nilai yang berguna bagi kehidupan manusia,”
            “Hop, saya potong dulu Cak!,” Paimen interupsi sejenak, “dengan pengertian yang njenengan sampaikan, tiba-tiba aku teringat dengan lakon wayang ‘Petrok Dadi Ratu’. Saat Bambang Priambodo dapat merebut jimat Kalimosodo (kalimat Syahadat) dari Dewi Mustokoweni yang sama-sama sakti, jimat itu diserahkan kepada Petruk yang merupakan salah seorang punakawan pandawa, putra dari Semar. Akhirnya jimat itu dipegang teguh olehnya, dibantu oleh Batara Guru dan Batara Narada. Petruk pun jadi sakti mandraguna, dan tanpa tanding.”
            “Kemudian, dengan kesaktian itu rupanya membuat Petruk khilaf, jemawa, angkuh dan sombong sehingga berambisi menaklukkan kerajaan-kerajaan sekitarnya. Salah satu negeri yang ditaklukannya adalah Sanyowibowo kemudian ia mengangkat dirinya menjadi raja dan bergelar Prabu Belgeduwelbeh Tongtongsot. Keberadaan Petrok dan kerajaannya begitu mengkhawatirkan kerajaan Astina, Dwarawati dan negeri Amarta menjadi khawatir.”
            “Strategi penyerangan pun dilakukan, tapi hasilnya nihil. Akhirnya mereka meminta bantuan kepada lurah Semar Kudapawana (ayah Petruk) dan Nolo Gareng (Kakak Petruk) agar menaklukkan kesombongan Petruk. Singkat cerita, kesaktian Sanghyang Semar Bradanaya dan Nolo Gareng, maka Prabu Belgeduwelbeh alias Petruk bisa dikalahkan dan kesaktiannya bisa dilenyapkan demikian juga kesombongannya. Kemudian ia menjadi Petruk seperti semula,”
            “Sejauh yang aku ngerti, maknanya kemuliaan seorang bukan ditentukan oleh harta dan kedudukan tapi dari ketaatan dan kukuhnya mengamalkan agama. Sebagaimana halnya Petruk. Ia memang rakyat jelata biasa. Tapi ketika ia memegang teguh jimat Kalimasada (Islam: Syahadat), maka dia menjadi orang besar dan terhormat. Tapi yang menjadi catatan penting, jangan sampai menjadi sombong, angkuh, dan bernafsu kekuasaan. Sebab, jika akhlak tercela ini muncul, maka nilai agama menjadi rusak, dan akan diluruskan oleh Yai Semar dan Gareng sesuai dengan konteks dan zamannya.”
"kita harus senantiasa berpegang teguh kepada agama, dan selalu mengedepankan ketaatan. Yang merusak keduanya adalah ambisi, nafsu kekuasaan dan akhlak tercela lainnya.  Kalau sudah terjadi demikian, ya mari kembali ke khittah, kembali ke kemurniaan agama, yang masih belum di-owah-owahi, membersikan diri dari ambisi-ambisi kekuasaan dan syahwat-syahwat yang bisa mengotorinya supaya cahaya ilahiyah bisa terbit dari mentari hati kita,"
            “Intinya gini Cak, dari kisah Petruk Dadi Ratu tadi, jika dikaitkan dengan tasyrîq, maka kita harus senantiasa berpegang teguh kepada agama, dan selalu mengedepankan ketaatan. Yang merusak keduanya adalah ambisi, nafsu kekuasaan dan akhlak tercela lainnya.  Kalau sudah terjadi demikian, ya mari kembali ke khittah, kembali ke kemurniaan agama, yang masih belum di-owah-owahi, membersikan diri dari ambisi-ambisi kekuasaan dan syahwat-syahwat yang bisa mengotorinya supaya cahaya ilahiyah bisa terbit dari mentari hati kita. Masa’ kita harus menunggu datangnya Gareng dan Semar? Iku menurutku Cak. Mudah-mudahan salah,” pungkas Paimen.
            Teman-teman lain agak melongo dan ngowo mendengar jawaban yang tak terduga dari Paimen. Sarikhuluk tidak komentar apa-apa, cuman mesam-mesem, senyum sumringa, kemudian dia ngomong, “Ayo dilanjut kernjanya, kita lanjutkan dialog pada acara tasyrîq saja.” “Geh Cak, monggo,” jawab mereka serentak.
           

            
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan