Home » » Belajar Pada Kasus Pembubaran Masyumi

Belajar Pada Kasus Pembubaran Masyumi

Written By Amoe Hirata on Selasa, 09 Mei 2017 | 13.50

           VIRALNYA pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (08/05/2017) mengingatkan kita pada eristiwa pembubaran Partai Masyumi (17/08/1960) melalui Keputusan Presiden No. 200. Sejak Dekrit 5 Juli 1959, Presiden Soekarno dengan sokongan penuh pihak militer berusaha kembali ke UUD 1945. Dengan demikian dirinya memiliki wewenang penuh untuk memutuskan sesuatu (Thohir Luth, 1999: 51). Oleh karenanya, dengan leluasa ia bisa memaksakan kehendak berdasarkan sistem demokrasi terpimpin. Siapa saja yang bersebrangan, pasti akan diganyang. Justru partai yang berkali-kali memberontak seperti PKI malah disayang.

            Proses pembubaran semakin mulus karena menemukan santapan empuk. Natsir, Burhan, Syafrudin (yang merupakan tokoh Masyumi), dianggap bersekongkol dengan pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia). Padahal, menurut Mansur Surya Negara dalam buku Api Sejarah 2 menjelaskan bahwa kedatangan Natsir ke Sumatra Barat adalah berusaha keras untuk mengingatkan Letkol Ahmad Husein bahwa PRRI inkonstitusional. Namun, justru Kepres. 200/1960 tetap lahir (2014: 379).
            Prof. Dr. Syafi'i Ma'arif dalam bukunya Islam dan Politik Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965) menyoal apakah keputusan pemerintah saat itu bisa dipertanggung jawabkan secara yuridis. Dari Diktum Musyawarah Nasional III PERSAHI (Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia: 3/12/1966) dapat diketahui bahwa yuridis formal tidak sah dan yuridis materil tidak beralasan dan hanya menjadi korban Orde Lama (1996: 68).
            Justru yang sangat nampak jelas, pembubaran ini adalah alibi Soekarno untuk melicinkan sistem Demokrasi Terpimpin (Mahfud Md, 1998: 149). Prawoto sempat dihasut untuk mengutuk tokoh-tokoh Masyumi (Seperti: Natsir, Burhan dan Syafrudin), agar Masyumi tak dibubarkan. Ia pun tak mau. Konflik akan bertambah luas jika keinginan Soekarno dituruti. Karenanya, ia rela Masyumi dibubarkan (Iin Nur Insaniwati, Mohamad Roem: karier politik dan perjuangannya, 1924-1968, 2002). Namun, seandainya  Prawoto menuruti Soekarno, Syafi’i Maarif meragukannya karena Soekarno telah menempatkan diri di atas UUD (1996: 68).
            Pada akhirnya, terlepas apakah Masyumi benar atau salah, memang partai ini resmi dibubarkan. Walaupun sebulan sebelumnya sudah membubarkan diri sehingga tidak bisa disebut sebagai partai terlarang (M. Zulfikriddin: 2010). Setelah dilarang, justru Natsir menginisiasi berdirinya DDII (Dewan Dakwah Islam Indonesia). Bila sebelumnya beliau berpolitik untuk dakwah, maka dengan DDII berdakwah untuk politik. Memang berbeda, tetapi tidak meninggalkan subtansi awal. Justru jangkauannya semakin luas. Sepeninggal Natsir pun, ideologinya tetap berkobar hingga sekarang dengan baju atau bentuk yang beraneka ragam.
                Itu baru Masyumi. Belum lagi PKI, NII atau selainnya yang sudah ditumpas dam dibubarkan sejak dulu lembaganya. Apakah ada jaminan pemikiran mereka lenyap ditelan zaman ketika lembaga ditumpas? Justru sangat besar kemungkinan mereka bermetamorfosa dengan bentuk-bentuk baru dengan cita rasa sama.
            Terakhir saya tegaskan, tulisan ini bukan untuk membela HTI atau menyudutkan pemerintah, demikian juga sebaliknya. Belajar kepada sejarah, menghadapi pemikiran harus dengan pemikiran; ideologi harus dengan ideologi. Pemberangusan lembaga justru akan melahirkan bermacam-macam lembaga yang bersubtansi sama.
            Alangkah indahnya jika masing-masing pihak berendah hati duduk bareng untuk menemukan solusi terbaik, tanpa main bubar membubarkan. Karena perkara ini bukan gerak jalan yang harus diakhiri dengan: BUBAR BARISAN, JALAN! Wallahu a’lam.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan