AL-QUR`AN; Musim Semi Hati

Written By Amoe Hirata on Senin, 25 April 2016 | 19.14

BILA gundah gulana, kesedihan pada suatu saat menimpa, kira-kira apa yang akan dilakukan? Larut dalam kesedihan, atau bangkit membangun kembali kegembiraan?
Pada suatu hari, Ibnu Mas`ud diajari nabi tips untuk menanggulangi gundah gulana dan kesedihan. Sahabat yang terkenal karena kemahirannya dalam bidang Al-Qur`an ini membagikan doa yang diajarkan nabi untuk mengatasinya.
 Sabda nabi, “Tidaklah seorang hamba pun, jika ditimpa kesusahan atau kesedihan,” apa yang kira-kira harus dilakukan? Tiada lain adalah berdoa. Doa apa kiranya yang mampu mengatasi kesusahan dan kesedihan?
Ibnu Mas`ud pun melanjutkan riwayatnya, “Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hambamu, anak hambamu, dan anak hamba sahaya perempuanmu.” Sebuah pengakuan mulia di hadapan Allah, bahwa diri ini adalah sekadar hamba, maka tidak ada yang perlu disombongkan, apalagi tinggi hati.
            Merasuk lebih ke dalam, doanya semakin intim, “Ubun-ubunku (berada) dalam (genggaman) tangan-Mu,” Ya. Sejatinya aku hanya hamba dhaif, lemah tiada berdaya. Dengan pancaran rahmat-Mu yang tiada terbatas, ubun-ubun ini bisa merasakan ilham. Jika ubun-ubun ini cendrung berdusta dan rajin berbuat salah, maka melalui “tangan”-Mu, bimbinglah aku.
            Selanjutnya adalah pengakuan, “Hukum-Mu kan selalu berlangsung. Ketetetapanmu, selalu adil.” Hukum yang tak mengenal pilih kasih, ketetapan yang tak tebang pilih. Dalam irama itu, hukum dan keadilan Allah selalu mengharmoni. Maka sangat pantas, meminta hukum dan keadilan hanya pada-Nya, ketika hukum-hukum manusia sudah menjadi zalim dan lalim.
            Setelah pemanasan dengan mukaddimah yang sangat laik bagi seorang hamba, tibalah saatnya permohonan, “Tuhan, aku memohon kepada-Mu dengan semua nama yang Engkau miliki dan Engkau buat sendiri, yang ada di dalam Kitab Suci, maupun yang Engkau ajarkan sendiri kepada salah satu makhluk-Mu” yaitu al-asma al-husna, nama-nama yang tak sekadar indah, tapi nama-nama yang sangat indah tiada tara.
Sebuah permohonan apik dan tepat melalui perantara semua asma-Nya yang begitu sangat indah dan memesona. Keindahan apalagi yang mau disebut hamba dalam lantunan doanya, selain asma-Nya(baik yang disebutkan dalam Al-Qur`an maupun yang diajarkan kepada salah satu hamba-Nya)?
            Bukan hanya itu “Aku juga memohon dengan ilmu yang hanya Engkau ketahui sendiri dalam ilmu ghaib yang Engkau miliki.” Ilmu-ilmu kami sejatinya kecil. Bagai sebutir debu di tengah padang sahara. Seperti setetes air, di hamparan luas samudera. Maka dengan penuh kerendahan hati memohon dengan ilmu-Mu yang tak terbatas, adalah keniscayaan yang hamba tidak akan pernah bisa lepas.
            Kemudian, setelah pemanasah yang cukup, barulah kemudian butiran mutiara-mutiara doa dihaturkan.
Doa pertama berbunyi: “(Aku memohon kepada-Mu) agar menjadikan Al-Qur`an, sebagai musim semi hatiku.” Sungguh indah kata-kata dalam rangkaian doa ini.
            Kata-kata ini diajarkan Rasul kepada umatnya bukan sekadar berhenti pada keindahannya, tapi ada kandungan mendalam yang perlu direnungi bersama. Al-Qur`an adalah musim semi bagi hati para hamba.
            Jika hatimu kering kerontang, tandus dan gersang, oleh banyak kejahilan yang mengelamkan, oleh kemaksiatan yang membuatnya bertumpuk noda-noda hitam, maka basuhlah dengan air hujan Al-Qur`an.
            Ketika kau sirami hatimu yang keras dengan hujan Al-Qur`an, hatimu akan menjadi hidup kembali. Musim kemarau hati berubah menjadi musim semi. Hati menjadi bertumbuh, hijau, sejuk, segar, tentram, dan menawan hati. Hanya dengan Al-Qur`an, pesona hatimu bak musim semi. Maka semikanlah dengan Al-Qur`an.
            Permohonan kedua, tak kalah indah, “(Aku mohon kepada-Mu) agar menjadikan Al-Qur`an sebaga cahaya dadaku.” Ya. Cahaya yang menerangi kekelaman demi kekelaman yang selama ini menyelimuti dada. Cahaya yang melenyapkan segala kegelapan yang menawan jiwa-jiwa hamba. Cahaya yang melapangkan dada di tengah sempitnya dunia fana.
            Cahaya itu bersumber dari Al-Qur`an. Cahaya yang dibahasakan dengan sangat indah lagi menawan, “Wahai manusia telah datang kepadamu burhan(keterangan) dari Tuhanmu, dan Aku turunkan kepadamu cahaya yang menerangi.”(QS. An-Nisa[4]: 174). Funsinya jelas, yaitu: “Kami jadikan ia cahaya sebagai lentera petunjuk bagi hamba yang Kami kehendaki. Sesungguhnya kamu akan terbimbing ke jalan yang mustaqim.”(QS. Asy-Syura[42]: 52).
            Ketika cahaya Al-Qur`an tersulut di dada hamba, maka ia menjadi lapang, luas, dan penuh ketentraman. Tak gampang marah jika dicaci, selalu mudah memaafkan jika ada yang berbuat salah kepadanya. Demikianlah ketika Al-Qur`an menjadi cahaya di dada manusia.
            Permintaan ketiga, “(Aku memohon kepada-Mu) agar menjadikan Al-Qur`an sebagai penyirna kesedihan.” Dengan Al-Qur`an hamba tidak perlu sedih, karena “Tuhan bersama kita.”(QS. At-Taubah[9]: 40). Itulah kata-kata Rasulullah yang diabadikan Al-Qur`an untuk menenangkan sahabat kesayangannya.
            Keyakinan itulah yang membuat ibu Musa menghanyutkan bayinya di tengah sungai nil, akibat raja tiran Fir`aun yang hendak membunuh bayi laki-laki yang masih hidup, hingga kesedihannya kemudian lenyap ketika Tuhan menenangkannya bahwa Musa akan kembali kepada pangkuannya. Gundah gulana pun akhirnya sirna(QS. Thaha[20]: 40 dan Al-Qashas[28]: 13). Bersama Al-Qur`an, kesedihan menjadi ringan.
            Permohonan keempat tak kalah mengharukan, “(Aku memohon kepada-Mu agar menjadikan Al-Qur`an sebagai pelenyap kesusahanku,” Sebesar apa pun kesusahan yang engkau alami, akan menjadi hilang di hadapan Al-Qur`an.
            Nabi melanjutkan wejangannya kepada Ibnu Mas`ud, “Jika engka melantunkan doa tadi, maka Allah akan melenyapkan kesusahanmu, dan membuat kesedihan menjadi kegembiraan.”
            Para sahabat bertanya dengan penuh sopan santu, “Wahai Rasulullah, apakah kami harus mempelajari doa tersebut?” Beliau menjawab, “Ya. Orang yang mendengarnya harus mempelajarinya.”(HR. Abu Ya`la al-Maushili, Ahmad bin Hanbal, Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Hibban, dan Thabrani).

            Akhirnya, jadikan Al-Qur`an musim semi hatimu, cahaya dadamu, penyirna kesedihanmu, dan peredam kesusahanmu. Reguklah keindahannya, tancapkan kandungannya dalam cakrawala batin dan terapkan isinya pada semesta hidupmu. Wallahu a`lam bi al-Shawab.

Revolusi Fiqih

Written By Amoe Hirata on Kamis, 07 April 2016 | 17.58

           Di bawah temaram lampu, tak menyurutkan teman-teman Sarikhuluk sinau bareng di Pendopo Al-Ikhlas. “Cak, ada seorang kiai yang sedang merevolusi fiqih Islam?” cerita Paimen dengan penuh semangat membagikan pengalamannya saat mengikuti acara NGABAR (Ngaji Bareng) di Jakarta. “Revolusi piye? Coba ceritakan terlebih dahulu kronologinya.” Sahut Sarikhuluk.
“Aku ga bisa menceritakan detailnya, hanya bisa menyampaikan resumenya.” Jawabnya datar. “Makanan apa tuh resume?” Tanya Paidi dengan polosnya. “Intine kesimpulannya.” Jawab Paimen. “Wes, terus lanjutkan aku juga jadi penasaran.” Pinta Syahidan yang merupakan jebolan pondok salaf tradisional.
Dengan gaya ndeso dan medok-nya, dia pun menjelaskan, “Katanya, Islam di Indonesia kan “Islam Fiqih”, nah ketika melihat fenomena ulama di negeri ini, dia merasa fiqih perlu direvolusi dalam arti, ada pemahaman-pemahaman yang saat ini harus diluruskan. Banyak sekali persoalan-persoalan fiqih yang tidak terjawab tuntas di kalangan masyarakat, yang kemudian justru memberikan pengaruh dalam tatanan sosial di masyarakat itu sendiri.”
            “Ada beberapa poin yang mau direvolusi. Pertama, terminologi kata syari`ah yang seringkali dipersempit dan disalahpahami. Syari`ah kan sejatinya luas, dipersempit menjadi fakultas. Kalau syari`ah itu fakultas, lalu universitasnya apa? Padahal arti syariat sendiri kan sebenarnya luas, segala apa yang disyariatkan Allah kepada makhlukNya. Syariah yang sebenarnya sangat luas di masa Rasulullah kemudian dipersempit menjadi fiqih dan dipisahkan dari akidah dan akhlak. Akhirnya, tidak ada koneksi di antara ketiganya”
            “Kedua, klasifikasi najis yang selama ini cendrung materil saja. Ada mukhaffafah(ringan), mutawassitha(sedang), dan mughalladzah(parah). Karena terlalu materil, akibatnya orang yang shalat walau pun memakai pakaian curian, maka shalatnya tetap dianggap sah. Melihat fenomena ini, beliau menawarkan revolusi baru dengan mengklasifikasinan menjadi tiga bagian. Pertama, najis material(semua benda yang kotor dan mengandung bakteri). Kedua, najis fungsional(tidak hanya suci materil, tapi juga harus diperoleh dari cara yang halal. Tidak sah misalnya shalat di masjid hasil korupsi). Ketiga, najis spiritual(maksudnya ikhlas karena Allah. Kalau ada orang shalat karena pencitraan, maka tidak sah hukumnya.”
            “Ketiga, konsep hablun minallah selama ini dipahami dalam kerangka ibadah mahdhah kepada Allah saja. Menurutnya, segala perilaku dalam kehidupan sehari-hari yang bisa menghubungkan antara hamba dan Tuhannya, maka itu disebut hablum minallah.
            “Keempat, selama ini, terma 5 hukum dalam fiqih(Wajib, Sunnah, Halal, Haram, Makruh) kerap kali disebut sebagai hukum taklifi. Kalau disebut taklifi(beban) berarti, membebani, berarti Allah mukallif(Maha Membebani) sehingga kesannya beragama itu penuh beban dan membuat orang susah. Sebagai revolusi dia menawarkan nama lain dari istilah al-Qur`an yaitu hukum ishlahi(perbaikan). Orangnya disebut shalih, Allah disebut mushlih, sedangkan hukumnya adalah ishlahi(untuk kemashlahatan hamba). Jadi, menurutnya dengan demikian tidak terkesan seram.”
            “Kelima, sumber hukum fiqih yang dia revolusi bukan saja berasal dari yang tekstual saja seperti Al-Qur`an dan Hadits, tapi juga dari peristiwa-peristiwa dan fenomena-fenomena alam yang terjadi.” Pungkas Paimen.
            Setelah nyeruput kopi luwak, Sarikhulik di tengah hembusan angin malam di Pendopo Al-Ikhlas urun komentar, “Idenya cukup logis dan taktis, Cuma yo jangan ditelan mentah-mentah dulu. Mungkin ada di antara rekan-rekan sekalian yang menanggapi?”
            “Aku Cak!” Sarijan seorang guru bahasa Indonesia di SMP desa Jumeneng mengangkat tangan dengan penuh kemantaban. “Aku mau mengkritisi, kata “Revolusi Fiqih” Setiap kata kan lahir kesepakatan dan memiliki konteks tertentu, istilah “revolusi” kan lahir dari Barat. Ada istilahnya “Revolusi Prancis”, “Revolusi Industri”, dll. Apa ya pas kalau disandingkan dengan fiqih yang lahir dari rahim intelektual umat Islam. Aku kira kurang pas, dan terlalu mekso.
            Setelah meminum teh hangat sejenak, Sarijan pun meneruskan, “Dalam KBBI(Kamus Besar Bahasa Indonesia), “revolusi” itu paling tidak ada tiga makna: Pertama, perubahan ketatanegaraan (pemerintahan atau keadaan sosial) yang dilakukan dengan kekerasan (spt dng perlawanan bersenjata). Kedua, perubahan yg cukup mendasar dalam suatu bidang. Ketiga, peredaran bumi dan planet-planet lain dalam mengelilingi matahari. Kalau dalam makna pertama aku kira ga nyambung karena menggunakan cara-cara kekerasan yang berkaitan dengan perubahan ketatanegaraan. Sedangkan makna kedua lumayan terkait, meski kita harus mendudukkan terlebih dahulu definisi riil dari fiqih. Ada pun yang ketiga tak ada hubungannya sama sekali.”
            Syahidan tak mau kalah, dengan pengalaman nyantri berpuluh-puluh tahun dia memberi tanggapan, “Kalau masalah syari`ah kemudian dipersempit menjadi hanya pada wilayah hukum, aku sih setuju perlu direvolusi. Namun, lagi-lagi bahasa merupakan kesepakatan. Seingatku, dalam ilmu mantiq, ada istilah wadh`ul lughawi(istilah bahasa), wadh`ui istilahi(menurut istilah), wadh`ul `urfi(istilah adat), dan wadh`ul syar`i(sesuai terminologi syariat). Nah kata “syariat” kalau dipahami secara lughawi(bahasa) saja, memang sifatnya sangat umum karena berarti thariqah(jalan) atau sistem. Dalam sudut pandang ini masih bisa diterima. Untuk `urfi(adat) tidak ada makna khusus tentang “Syari`ah”. Nah, kalau ditarik ke ranah ishtilahi dan syar`i, maka aku kira masih wajar saja. Dengan catatan tetap menyampaikan penyempitan-penyempitan yang sedang terjadi.”
            “Selanjutnya, masalah pembagian najis menjadi material, fungsional dan spiritual. Aku kira perlu kembali ke definisi fiqih. Setahuku, pembahasan fiqih memang menyangkut masalah hukum saja. Definisinya kan, “Ilmu yang membahas tentang hukum-hukum syariat praktis, yang bersumber dari dalil-dalilnya secara rinci.” Karena itu terlalu terburu-buru jika merevolusi istilah najis, kalau definisi fiqih belum diredefinisikan.”
            “Menurutku itu terlalu idealis kalau misalnya shalat harus sah secara material, fungsional dan spiritual. Coba bisa ga orang melakukan itu semua? Belum lagi ditambah lagi masalah perbedaan usia, perbedaan pemahaman, dan perbedaan keilmuan. Bagus sih ide itu sebagai idealisme, tapi menurutku kurang membumi.”
            “Terus masalah kritik beliau tentang penamaan hukum taklifi diganti dengan istilah dalam al-Qur`an yang kedengarannya lebih indah yaitu ishlahi. Aku kira bagus saja. Cuma catatanku begini, harus diingat bahwa kata taklif sendiri ada rujukannya dalam al-Qur`an, jadi ulama tidak main-main dalam menggunakan istilah taklif. Dalam Surah Al-Baqarah: 286 dan At-Thalaq: 7, jelas-jelas ada digunakan kata-kata derivasi taklif yaitu: la yukallifullahu. Jadi sah-sah saja dong ulama menggunakan demikian. Sekarang coba dipikir, pada dasarnya shalat, zakat, puasa, dan haji itu kan sebenarnya berat dilakukan, aslinya kan gitu. Cuma karena kita cinta Allah, maka kita tetap lakukan. Umar saja berat banget ketika mau mencium hajar aswad. Kan cuma batu, ngapain dicium? Tapi karena itu perintah, ya dia laksanakan.”
            “Kalau memang niatnya mau menyelaraskan, mengharmonikan antara yang material dan spiritual agar fiqih tidak terceraikan dari bidang lain, ya itu bagus, tapi bukan berarti merevolusi istilah-istilah ulama dalam hal fiqih. Mereka membuat fiqih tentu dengan penuh perhitungan dan kemampuan yang mumpuni.”
            “Terus masalah sumber hukum bukan hanya yang tekstual, tapi juga fenomena alam. Menurutku terlalu over dosis. Okelah peristiwa yang terjadi di alam bisa dibuat pertimbangan dalam menelorkan suatu hukum. Tapi dia tidak bisa dijadikan sumber utama. Peristiwa alam kan dinamis, maka perlu sumber paten yang tidak dipengaruhi oleh tempat maupun waktu, dalam hal ini al-Qur`an dan Hadits.”
            “Terus masalah hablun minallah diartikan segala sesuatu yang bisa mengkoneksikan antara hamba dan Tuhannya, lumayan masuk lah. Tapi aku punya pengertian tersendiri terkait hablun minallah. Hablun  kan tali, min berarti dari. Lah maskud tali dari Allah iku piye?”
            “Pertama, kita sebutkan dulu ayat yang menjelaskan hablun minallah dan hablun minan nas. Masalah ini terdapat dalam Surah Ali Imran: 112. Arti ayatnya demikian: ‘Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika dengan tali Allah dan tali dengan manusia,’(QS. Ali Imran[3]: 112). Intinya, orang ahlul kitab itu akan senantiasa mendapatkan kehinaan dimana saja sebelum berpegangteguh dengan tali Allah  dan manusia.”
            “Yang dimaksud tali Allah itu apa? Dalam surah yang sama ayat 103, disebutkan bahwa ada perintah agar berpegang pada tali Allah. Nah tali ini bisa berupa agama, al-Qur`an-hadits, atau ketetapan Allah. Sedangkan yang dimaksud tali untuk menusia bisa diartikan perjanjian antar manusia. Jadi kalau membicarakan hablun minallah dan hablun minannas itu bukan membahasa masalah hubungan manusia dengan Allah, atau Allah dengan manusia yang biasanya dibahasakan dengan hubungan vertikal dan horisontal. Hablun minallah itu ketetapan, hukum, agama yang dibuat oleh Allah untuk makhluknya demi kemaslahatan hidup dunia-akhirat mereka sehinggi perlu dipegangteguhi. Sedengakan hablun minannas, perjanjian atau kesepakatan yang dilakukan antara manusia perlu dijaga selama tidak menabrak jalur-jalur syar`i.” Itu sih Cak sementara menurutku.
            Suasana di pendopo Al-Ikhlas pun menjadi hening akibat jawaban akademis Syahidan. Bukannya apa, suasana henaing karena banyak yang tidur lantaran tak mengerti. Ada yang meninggalkan pendopo karena ga nyambung dan ga asyik. Ada juga yang cuma mengangguk-ngangguk meski tak paham tanpa komentar, hitung-hitung sebagai penghormatan bagi Syahidan. Yang benar-benar menyimak hanya Paimen, Sarijan, Syahidan dan Sarikhuluk.
            “Cak ada yang minta tolong dari desa sebelah. Katanya ada yang kesurupan.” Teriak Wargiman dengan nafas terengah mengabari Sarikhuluk. “Tunggu bentar Man, aku perlu ngasih gambaran pada diskusi malam ini agar tak ambigu. Pertama, aku lihat tadi Sarijan dan Syahidan sudah lumayan kritis. Cuma begini, cobalah diperkaya angle, sudut pandangnya. Mbok setiap pendapat itu jangan hanya dilihat dari sisi negatifnya saja. Telek wedos(kotoran kambing) itu kalau dilihat dari segi positifnya, bisa dibuat pupuk lho. Okelah ada kritik, tapi harus santun dan upayakan ada solusi.”
            “Kedua, ide-ide yai tadi sebenarnya bagus karena melihat fenomena ke-fiqih-an umat yang semakin bermasalah dan terlalu  fiqih oriented. Orang-orang yang mengaku Muslim –utamanya di Indonesia- pada umumnya, terlalu takjub dan mengutamakan hal-hal yang wadak dan matrealistis. Ibadahnya hanya simbolis dan formalitas belaka. Antara materi dan rohani memang perlu dikawinkan, biar terjadi harmoni. Namun memang, kiai tersebut ada baiknya duduk bareng, rembukan dengan ulama-ulama yang berkompeten, sehingga tak terkesan revolusi, revolusi, revolusi, padahal itu adalah pendapat pribadi.”
            “Oh ya lupa, terakhir aku mau nanyak, emang ada ya ‘revolusi’(dilihat dari sejarah lahirnya kata ini) yang dikerjakan oleh satu orang? atau jangan-jangan yang dimaksudkan yai itu adalah “Evolusi Fiqih” meminjam istilah Darwin? Wes, gitu dulu aku mau nyambangi orang yang lagi kesurupan."
 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan