ISLAM & NUSANTARA

Written By Amoe Hirata on Senin, 29 Juni 2015 | 20.31

           Santernya gagasan ‘Islam Nusantara’ di Sosmed(Sosial Media), menuai penasaran warga Jumeneng. Terlebih ketika dua tetangga desa(Mangkubumi dan Mangkulangit), hampir-hampir perang gara-gara pro dan kontra seputarnya. Penduduk Mangkubumi menilai gagasan ‘Islam Nusantara’ sangat elegan dan representatif terhadap wajah Muslim IndonesiaSedangkan penduduk Mangkulangit, menolak dengan tegas gagasan yang dinilai ngelantur, ‘prematur’ dan ora jelas.
Supaya warga tidak terpecah belah, maka P3P(Paijo, Pardi, Paiman, dan Ponco) menginisiasi terselenggaranya diskusi berlatar agama plus budaya yang akan mengangkat tema, ‘Islam & Nusantara’. Sarikhuluk pun didapuk sebagai mediator sekaligus moderator bagi kedua pihak yang sedang berseteru.
            Acara diselenggalarakan pada hari Ahad 28 Juni 2015. Semula diskusi akan diselenggarakan di Pendopo Al-Ikhlash, namun mengingat peserta yang begitu banyak, maka tidak memungkinkan jika ditempatkan di sana. Panitia pun bersepakat menyelenggarakan acara di lapangan sepak bola Nyunggi Wakul(lapangan sepak bola desa Jumeneng). Tepat pukul 08.00 pagi, acara pun dimulai.
Setelah engucapkan salam, Sarikhuluk dengan gaya khasnya menyapa hadirin, “Dolor-dolor sekalian! Sebelum kita memulai diskusi, monggo disantap dulu makanan yang sudah disediakan panitia. Meski sederhana, semoga bisa mengawali diskusi kita kali ini dengan kesejukan, bukan kepanasan. Kemudian, Aku mengingatkan, kita di sini bukan mencari kemenangan pribadi, tapi kebenaran sejati. Kita di sini bukan menghakimi, tapi saling menglarifikasi. Jadi, tolong tehan emosi, lapangkan dada, jaga ukhuwah!”.
            Setelah lima belas menit para audiens diberi kesempatan menikmati konsumsi, acara pun bisa dimulai. Acara di-setting bukan dengan gaya hadap-hadapan layaknya orang sedang debat. Masing-masing kampung diwakili oleh lima pembicara. Diskusi tidak memakai meja, hanya lesehan yang beralas terpal. Para pembicara duduk melingkar, di tengah-tengah ada Sarikhuluk. Suasananya sangan ganyeng lebih kental kekeluargaannya ketimbang musuhan.
“Baik. Bismillah, kita mulai acara diskusi ini. Pertama-tama kita akan memberi kesempatan kepada wakil dari desa Mangkubumi untuk menyampaikan klarifikasinya terkait gagasan nusantara. Kemudian disusul dengan penjelasan-penjelasan dari wakil penduduk Mangkulangit yang tidak setuju dengan gagasan tersebut. Selanjutnya, kita akan berdiskusi, memberi masukan, dan mengambil sikap terkait polemik gagasan ‘Islam Nusantara’. Mudah-mudahan ini menjadi oase di saat penduduk desa lain sedang geger karena ndak mau cek dan ricek.” Tukas Sarikhuluk membuka acara.

Wakil Mangkubumi(Pro Islam Nusantara):

            Ngatiman selaku wakil desa Mangkubumi mengawali, “Cak, yang kami maksud dengan Islam Nusantara adalah Islam yang toleran, terbuka, akomodatif, santun, sopan, ramah budaya, tak emosional, mampu bersinergi dengan budaya setempat, merangkul berbagai pihak, tak suka menghakimi. Islam adalah agama yang turun dari langit. Sedangkan Nusantara adalah penduduk bumi. Jadi Islam Nusantara adalah ajaran langit yang membumi. Ini sangat berbeda dengan Islam Arab yang dikenal emosional, tak ramah budaya, terlalu hitam-putih, in-toleran, suka perang, suka kekerasan, gampang mengklaim dan menghakimi orang yang tak sependapat. Islam Nusantara adalah Islam yang dibawa oleh para Wali Songo, yang berdakwah dengan sangat santun dan elegan. Dakwah yang membuat tentram, bukan terancam; dakwah yang mengajak, bukan mengejek; mencerahkan, bukan menyalahkan; mengayomi buka menghakimi; mencerdaskan, bukan mengenaskan; melestarikan, bukan menghancurkan. Begitu kira-kira gambaran singkat mengenai Islam Nusantara Cak.”
            Bambang Sujatmoko menambahkan, “Hanya di nusantara Cak, dakwah disampaikan dengan kesejukan. Di saat dakwah-wakwah di Timur Tengah kebanyakan disebar dengan kekerasan, di nusantara ditebarkan dengan kelembutan. Hati penduduk nusantara direbut oleh Para Wali dengan keteladanan pejuang, bukan dengan pedang. Dengan hati, bukan dengan intruksi yang menyayat hati. Dengan hikmah, bukan marah-marah.” Sarmuji juga mengutarakan, ‘Jangan sampai Islam Nusantara diarabisasi Cak. Bedakan antara Islam dengan Arab. Meskipun Islam lahir di Arab, bukan berarti semua yang kearab-araban pasti Islam, seperti: sorban, gamis, jubah, jenggot, baju cingkrang, dll. Kita kan dilahirkan di nusantara, bukan dilahirkan di Arab. Jadi Islam kita merefleksikan Islam ala Nusantara, bukan Islam Arab.”
            Sudarmono menambahkan, “Yang paling representatif dan contoh paripurna bagi gambaran Islam Nusantara ialah NU. Dengan ulama seperti, Hadratussyaikh Hasyim Asy`ari, Kh. Wahab Hasbullah, Kh. Sahal Mahfud dll. Islam Nusantara mampu dipelihara hingga saat ini. Jauh sebelum itu ada ulama seperti Syekh Nawai al-Bantani, Syekh Yusuf al-Makasari, dan lain sebagainya yang menginisiasi dakwah ala Islam Nusantara.”. Subarjo memungkasi, “Ciri khas Islam Nusantara ialah yang berakidah Asyariah-Maturidia, dan bermadzhab Syafi`i. Bukan berakidah Wahabi dan bermadzhab Hanbali ala Timur Tengah. Saya optimis Cak. Jika Islam Nusantara dilestarikan dan dijaga eksistensinya, maka akan menjadi rujukan bagi umat Islam di dunia. Menurutku ‘Islam Nusantara’ adalah cerminan riil dari Islam yang rahmatan lil `alamin(rahmat bagi seantero alam).
            Setelah masing-masing dari wakil desa Mangkubumi memaparkan pendapatnya, Sarikhuluk mempersilahkan wakil desa Mangkulangit memaparkan pendapat-pendapatnya.

Wakil Mangkulangit(Kontra Islam Nusantara)

              Muhammad Salman Al-Farisi mengawali, “Bagi kami, gagasan Islam Nusantara sangat absurd dan tidak jelas. Yang perlu diperjelas sebenarnya sebelum melebar kemana-mana ialah kajian serius secara lingustik. Bagaimana pun juga bahasa lahir dari kesepakatan. Jadi tidak bisa setiap individu memaknai kata dengan semaunya sendiri. Islam sendiri jelas adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wasalla. Selama beliau berdakwah tidak sekalipun ada embel-embel Arab, walaupun beliau dari Arab. Sedangkan yang dimaksud nusantara itu siapa, apa, dan yang bagaimana? Kata nusantara sendiri berasal dari bahasa sansekerta NUSWANTARA. Sejak kapan dan apa ukuran orang disebut nusantara? Penyebutan Islam nusantara di samping sarat dengan relativisme, ia juga akan mengotak-ngotakkan Islam. Nantinya akan memicu adanya Islam Arab, Islam Rusia, Islam Amerika dan seterusnya. Akibatnya jelas, islam jadi gado-gado dan tak jelas.”
            Ahmad Fathul Mun`im lebih mendasar memaparkan, “Kami lebih setuju Islam yang rahmatan lil `alamin. Islam Nusantara hanya akan membatasi Islam pada wilayah tertentu. Secara bahasa juga lebi mencakup Islam rahmatan lil `alamin daripada Islam Nusantara. Kemudian, mengapa Islam Nusantara dipertentangkan dengan Islam Arab atau Timur Tengah? Apakah bijaksanan menilai Islam dengan perilaku buruk pemeluknya? Kalau pemeluknya berbuat salah, yang salah agamanya apa pemeluknya? Sudahkan diadakan penelitian yang memadai bahwa Islam Timur Tengah pasti keras dantidak toleran? Kita tidak bisa mengeneralisir, tanpa ada bukti-bukti yang jelas. Jadi menurut saya yang pas ialah Islam di Nusantara atau Muslim Nusantara.”
            Masyhud Zaki lebih menukik mengkritisi, “Apakah benar ulama yang disebut sebagai penggagas Islam Nusantara tadi itu seteril dari Arab? Secara budaya saja mereka tidak bisa lepas dari Arab kok. Guru-guru syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Hasyim Asy`ari, dll itu kebanyakan orang mana? Emang Imam Asy`ari, Maturidi dan Syafi`i dari Nusantara ya? Kemudian, nama-nama mereka dari Arab apa Nusantara(seperti: Hasyim Asy`ari, Yusuf, Nawawi, dll)? Jadi, kami pikir kalau Islam Nusantara berangkat dari sentimen budaya, maka gambaran Islam Nusantara yang dikatakan lembut, ramah budaya hanyala utopis karena menegasikan budaya lain. Padahal take and give, pengaruh memengaruhi antar-budaya adalah sangat wajar terjadi. Jadi mengonfrontasikan antara Islam Arab dan Islam Nusantara adalah tindakan yang gegabah dan bermuatan politis.”
            Ali Syahrudin menggarisbawahi, “Kalau dikatakan bahwa yang masuk Islam Nusantara adalah golongan tertentu dan diasosiasikan pada ideologi tertentu(seperti: berideologi Maturidi, Asya`ri, bermadzhab Syafi`i dan bercorak sufi), maka ini sangat ngawur dan gegabah. Kita tahu bawa seperti Tuanku Imam Bonjol ia juga disebut pahlawan meskipun berideologi `wahabi’ dan bermadzhab Hanbali, demikian juga kaum padri. Bahkan di awal abad dua puluh, para pembaharu yang lahir dari organisasi Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad sangat berjasa besar dalam berjuang di nusantara. Padahal mereka diidentikkan berideologi Wahabi dan bermadzhab Hanbali. Jadi, mengapa penamaan Islam Nusantara hanya didominasi oleh kelompok tertentu? Bukankah ini akan memicu perpecahan umat? Di samping itu, ternyata di tubuh oraganisasi NU sendiri, istilah Islam Nusantara masih menuai ketidak setujuan, sebagaimana pendapat Kh. Hasyim Muzadi, dan Pesantren Sidogiri.”
            Syamsul Arifin, mengakhiri, “Bau JIL(Jaringan Islam Liberal) sangat menyengat pada gagasan Islam Nusantara. Mereka bermetomorfosa menjadi JIN(Jaringan Islam Nusantara). Bagaimana tidak, Islam hanya diambil sisi toleran dan lembut saja tanpa menimbang mana ajaran ushul dan mana ajaran yang furu`. Semuda di-gebyah uyah, digeneralisir, yang Nusantara mesti bagus, yang Arab pasti keras. Kadang-kadang kami heran sama mereka. Di satu sisi menyerukan pentingnya toleransi dan menghormati pendapat pihak lain, namun diam-diam mereka menjunung tinggi kepongahan diri dengan menganggap bahwa Wahabi keras, intoleran, kasar. Padahal secara tidak sadar, mereka mengaku dirinya paling benar. Ini namanya otoritarianisme yang dibalut dengan baju toleransi. Belum lagi ada ungkapan dari pimpinan JIL, yang menyatakan bahwa Islam Nusantara sangat menghormati Syi`ah, semakin memperjelas benang merah antara JIN dan JIL. Dengan beberapa pertimbangan itu, kami tidak setuju.”

Oase
            Diskusi yang awalnya tegang dan penuh amarah, menjadi tenang ketika dimoderatori oleh Sarikhuluk. Mereka duduk bersama, salang mengklarifikasi, dan berendah hati. Gojekan-gojekan dan joke Sarikhuluk membuat mereka semakin tenang. “Dolor-dolor aku sudah mendengar alasan dari masing-masing pihak. Aku sendiri bukan mau mendukung yang satu maupun yang lain. Aku hanya mengajak kalian berfikir dengan jernih dan murni tanpa ada tendensi apa pun. Pertama, ide ‘Islam Nusantara’, pertama kalian dapat, memangnya dari mana? Media `kan? Lha siapa memangnya yang punya media? Yang punya media itu pihak yang suka Muslim bersatu atau sebaliknya? Pengetahuan kalian tentang gagasan ‘Islam Nusantara’ berasal dari pengetahuan yang udzunul yaqin(hanya dengar dari orang), ilmul yaqin(sekadar tau), `ainal yaqin(benar-benar lihat dengan mata kepala sendiri) atau haqqul yaqin(tahu sejatinya)? Kita secara ndak sadar menghabiskan energi dengan istilah yang diramaikan media,”
            “Kedua, mengapa ajaran tabayyun(klarifikasi) dalam Islam tidak dijalankan. Kalau memang ada ketidaksetujuan, mengapa kalian tidak mengadakan pertemuan saja di tempat tertentu. Supaya tidak saling su`udzan(bersangka negatif). Kalau saling pukul, serang, caci-maki di media, itu bukan meredakan masalah, tapi memperkeruh masalah. Wong berita aja dapatnya dari media, langsung dengan yakinnya menghakimi pihak lain. Ini berlaku pada masing-masing pihak. Aku kemarin baru membaca klarifikasi di situs www.m.nu.or.id , ada Kh Afifuffin Muhajir yang menjelaskan bahwa yang dimasksud Islam Nusantara adalah hanya pada ranah syariat yang ijtihadi yang memungkinkan untuk berubah dan dinamis. Sedangkan wilayah Akidah dan akhlak sifatnya permanen dan tidak ada perubahan. Jadi kalau begini sudah jelaskan.”
            “Ketiga, hati-hati dengan isu apa pun yang sedang santer khususnya bila dikaitkan dengan Islam atau umat Islam. Dibalik isu pasti ada yang mendalangi. Ada udang di balik batu. Potensi umat Islam Indonesia sebenarnya begitu besar. Banyak sekali yang tidak senang jika kita bersatu. Maka saranku kalian jangan mudah termakan isu. Ayo longgo(duduk) bareng-bareng mendiskusikan dengan teduh jika memang ada masalah. Aku jadi teringat Kanjeng Nabi, ketika beliau selalu meredam potensi konflik. Kalau ada yang mengadudomba dua pihak beliau pasti meng-ishlahkan mereka, kaum Anshar yang dulunya terdiri dari kabilah Aus dan Khazraj berpuluh-puluh tahun konflik, dengan datangnya nabi mereka bisa bersatu. Suatu saat Abdullah bin Ubay bin Salul mau memecah belah kalangan Aus dan Khazraj, dengan sigap beliau mendamaikan mereka. Begitulah yang dicontohkan kanjeng nabi.”
            “Keempat, jangan mau diadudomba. Dari dulu persatuan umat Islam berusaha dipecah. Dulu ada istilah Islam tradisional versus modern, Islam putih dan abangan dll. Hendaknya kita belajar dari masa lalu. Bahwa konflik internal yang terjadi hanya kan menguras energi umat. Para penjajah dengan mudah memanfaatkan suasana ini demi kepentingan mereka. Kelima, Sejauh pandanganku (kalian boleh ga setuju) apa yang dimaksud oleh pembawa Islam Nusantara ialah lebih terkait bagaimana dakwah disampaikan. Ini terkait dengan Fiqh Dakwah. Dari ulama nusantara kita banyak belajar mengenai metode dakwah. Mereka sangat lembut, halus, dan tidak memaki-maki. Mereka berdakwah melalui jalur budaya. Dakwah yang dilakukan adalah dakwah pemberdayaan, buka pemaksaan. Aku jadi teringat bagaimana nabi tidak menghardik orang Arab badui yang kencing di masjid. Secara linier memang dia salah, namun logika dakwah menghendaki lain. Orang yang belum tau diperlakukan sesuai dengan kadar pengetahuannya. Akhirnya apa, orang itu sadar, tanpa harus dicecar.”

(Mengingat adzan Dzuhur telah dikumandangkan, maka diskusi sementara dihentikan. Yang jelas dari aura wajah dua penduduk kampung yang lagi berselisih itu sedikit banyak mulai tercerahkan).

Menyambut Pertolongan dan Kemenangan

Amoe Hirata

            Syawal datang, Ramadhan pun  berlalu. Kerinduan akan kehadirannya, senantiasa terpatri di dalam hati setiap Mu`min. Namun, yang lebih penting dari sekadar rindu, apakah kita sudah menjadi ‘pemenang’ di bulan Ramadhan, pada saat ‘pertolongan Allah’ begitu melimpah: Pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, setan-setan dibelenggu. Menang dalam arti bisa sukses mengalahkan hawa nafsu. Bisa mengendalikan diri dengan baik, sehingga bisa dijadikan bekal di luar bulan Ramadhan. Bagi yang sudah merasa lebih baik, seyogyanya kita kaji ayat berikut supaya tidak salah dalam menyambut pertolongan dan kemenangan dari Allah subhanahu wata`ala.

A.    Ayat Kajian                       :

إِذَا جَآءَ نَصۡرُ ٱللَّهِ وَٱلۡفَتۡحُ ١  وَرَأَيۡتَ ٱلنَّاسَ يَدۡخُلُونَ فِي دِينِ ٱللَّهِ أَفۡوَاجٗا ٢ فَسَبِّحۡ بِحَمۡدِ رَبِّكَ وَٱسۡتَغۡفِرۡهُۚ إِنَّهُۥ كَانَ تَوَّابَۢا ٣

B.     Arti Mufradat                   :

نَصۡرُ ٱللَّهِ        : Pertolongan Allah
ٱلۡفَتۡحُ            : Kemenangan
أَفۡوَاجٗا            : Berduyun-duyun, berbondong-bondong
تَوَّابَۢا              : Maha Penerima Taubat

C.    Arti Ayat               :

1. Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan
2. dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong
3. maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat

D.    Sababun Nuzul     :

Abdul Razzaq meriwayatkan dalam kitab Mushannafnya, dari Ma`mar, dari Zuhair ia berkata, ‘Tatkala Rasulullah shallallāhu `alaihi wasallam masuk Makkah pada tahun pembebasan Makkah,  beliau mengutus Khalid bin Walid. Lalu Khalid dengan orang yang bersamanya memerangi barisan orang kafir Qurays di Makkah bagian bawah, sampai Allah mengalahkan mereka. Kemudian (mereka) diperintahkan mengangkat senjata. Lalu masuklah mereka dalam agama Islam. Lalu turunlah ayat idza ja`a nashrullahi wal fath sampai akhir(Lubabu al-Nuqul, Suyuthi).

Bersumber dari Ibnu Abbas, ia berkata, ‘Tatkala Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam datang dari perang Hunain, dan Allah menurunkan ayat: Idza ja`a nashrullahi wa al-fath, belia bersabda: “Wahai Ali bin Abi Thalib dan Fathimah! Sungguh telah datang pertolongan Allah beserta kemenangan. Aku juga melihat orang-orang masuk ke dalam agama Allah dengan berbondong-bondong. Maka Maha Suci Allah dan pujian bagi-Nya, dan ku memohon ampunan pada-Nya, karena sesungguhnya Dia Maha Penerima Taubat(Asbabun Nuzul, Naisaburi).

E.     Tafsir           Ayat                :
Pada tahun kedelapan hijriah, tepatnya di bulan Ramadhan(menuju Syawal), Rasulullah beserta sahabat-sahabatnya mendapatkan pertolongan dan kemenangan gemilang berupa pembebasan kota Makkah. Sebelumnya datangnya kemenangan Allah sudah mengingatkan: “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan”, yaitu pertolongan dan kemenangan pada fathu Makkah. Ya, sejatinya memang pertolongan dan kemenangan datangnya dari Allah. Yang menjadi pertanyaan ialah bagaimana agar kita mendapat pertolongan dan kemenangan dari Allah.
Dalam ayat lain dijelaskan: “Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian menolong Allah, maka Ia (pasti) menolong kalian serta meneguhkan hati kalian”(Qs. Muhammad: 6). Di samping itu Allah telah menjamin: “Dan sungguh telah tetap janji kami kepada hamba-hamba kami yang menjadi rasul*(yaitu) sesungguhnya mereka itulah yang pasti mendapat pertolongan*Dan sesungguhnya tentara kami itulah yang pasti menang”(Qs. As-Shaffat: 171-173). Tolonglah Allah (berpegangtegulah terhadap Islam), maka Allah akan menolongmu. Karena pejuang di jalan Allah pasti akan ditolong dan dimenangkan.
Setelah nabi dan sahabatnya berusaha keras berjuang berkorban untuk menolong agama Allah, dalam arti membela dan memperjuangkan nilai-nilai Islam baik melalui jiwa, harta dan tenaga, akhirnya Allah memberikan pertolongan yang luar biasa. Bahkan Allah meneguhkan dan memantapkan hati mereka. Pertolongan ini tidak lain karena mereka berpegang teguh dalam menjalankan agama, karena Allah.
Maka merupakan tindakan yang konyol jika menginginkan pertolongan dan kemenangan dari Allah namun berpangku tangan? Pertolongan Allah diraih bukan dengan mimpi, tapi dengan usaha tiada henti. Kita tak mungkin bisa mendapatkan emas jatuh dari langit.
Janji Allah terbukti, ketika pada tahun kedelapan hijriah, nabi bersama sahabat-sahabatnya mendapatkan kemenangan gemilang. Tak hanya itu, lanjutan ayat: “dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong”. Banyak sekali orang yang berbondong-bondong masuk Islam. Abu Sufyan Pemuka Qurays sekaligus mertua nabi, yang sebelumnya sangat membenci nabi, akhirnya masuk Islam. Dan masih banyak lagi yang lainnya. Sebuah kemenangan yang tiada tara.
Rasulullah mendapatkan kemenangan itu tanpa susah payah. Menariknya, ketika kemenangan sudah didapat, dan sebenarnya mampu untuk menghukum dan membalas orang kafir, Rasulullah shallallahu`alaihi wasallam malah berkata: “Sekarang adalah hari kasih sayang, bukan hari pembantaian. Pergilah kalian! Sekarang kalian bebas”. Sebuah akhlak luar biasa yang patut ditiru dari pemenang sejati. Kemenangan bukan dijadikan ajang balas dendam, tetapi untuk menabur kasih dan sayang. Dengan akhlak luar biasa ini, hati mereka jatuh cinta pada Islam.
Bagaimana cara mensyukuri nikmat yang begitu besar ini? Allah berfirman: “maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat”. Pertama, (bersyukur)bertasbih kepada Allah. Bukankah apa yang dilangit dan bumi bertasbih kepada-Nya? Sebagaimana firman Allah: “Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun”(Qs. Al-Isra: 44).
Kita butuh tasbih kepad-Nya agar kemenangan, pertolongan Allah tidak membuat kita terlena. Betapa banyak orang yang sudah mendapat kesuksesan tapi malah kufur nikmat, sehingga nikmat itu menjadi adzab baginya. Lihat bagaimana ketika para sahabat meneladani nabi, pada masa khulafau rasyidun mereka tetap mendapatkan pertolongan dan kemenangan gemilang dari Allah. Islam yang sebelumnya hanya tersebar di Makkah dan Madinah, mampu menyebar luas hingga ke berbagai penjuru negeri.
Kedua, memuji Allah. Syaikh As-Sa`adi dalam tafsirnya menyatakan, ayat ini mengandung beberapa isyarat, di antaranya: ajal nabi telah dekat. Maka, selayaknya ia tutup umurnya dengan amalan yang mulia, yaitu bertasbih dengan memuji-Nya. Ketiga, memohon ampun. Barangkali ketika dalam proses perjuangan ada dosa-dosa yang tidak disadari, karena itu, memohon ampunan pada Allah adalah mesti dilakukan ketika mendapat kemenangan.
Sejak turunnya ayat ini, Rasulullah dalam ruku` dan sujudnya sering membaca:
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي
Mahas Suci Engkau Ya Allah, Rab kami dan dengan memujimu, Ya Allah ampunilah kami. Intinya(pesan dari surat An-Nashr), jika kita mendapatkan pertolongan dan kemenangan dari Allah, maka harus mensyukurinya dengan cara bertasbih, memuji, dan memohon ampunan pada-Nya, agar nikmat yang besar itu tetap terpelihara.
            Pada momen bulan Syawwal, bulan yang biasa diistilahkan orang sebagai bulan kemenangan, mari kita memperbanyak rasa syukur, memuji, memohon ampun pada Allah dan akan senantiasa di jaga hingga Ramadhan datang kembali. Semoga amal ibadah kita selama Ramadhan diterima Allah, serta selalu menolong dan memenangkan kita dalam perjuangan fi sabilillah.

F.      Pelajaran-pelajaran           :

1.      Pertolongan dan kemenangan hakiki datangnya dari Allah ta`ala. Karenanya, meminta pertolongan dan kemenangan hanya kepada-Nya.
2.      Ketika mendapat kemenangan dianjurkan:
a.       bersyukur, dan bertasbih
b.      memuji-Nya
c.        memohon ampunan-Nya
3.      Dalam ruku` disunnahkan membaca:
سبحانك اللهم وبحمدك اللهم اغفر لي.
4.      Kemenangan dan pertolongan akan senantiasa diraih jika membiasakan syukur, memuji, dan memohon ampun pada Allah
5.      Kemenangan bukan untuk disombongkan, tapi disyukuri
6.      Anjuran bertaubat pada Allah
7.      Kemenangan melahirkan rasa syukur bukan membuat lupa diri
8.      Berusaha menggapai pertolongan Allah dengan cara bersungguh-sungguh dalam memperjuangkan agama Islam

G.    Referensi                             :

1.      Tafsir al-Qur`an al-`Adhim, Imam Ibnu Katsir
2.      Shafwatu al-Tafasir, Muhammad Ali As-Shabuni
3.      Lubabu al-Nuqul, Imam Suyuthi
4.      Asbabu al-Nuzul, An-Naisaburi
5.      Tafsir al-Wasith, Muhammad Sayyid Tanthawi
6.      Aisaru al-Tafasir, Abu Bakar Jabir al-jazairi
7.      Taisir al-Karim al-Rahman, As-Sa`adi

8.      Nurul Yaqin, Khudhari

RAMADHAN: Penghematan atau Pemborosan?

Written By Amoe Hirata on Kamis, 25 Juni 2015 | 05.56

          Ramadhan kali ini di desa Darus Salam terlihat begitu meriah. Susi sebagai salah satu warga kampung sampai berkomentar, ‘Alhamdulillah, dibandingkan tahun-tahun kemarin, Ramadhan sekarang lebih ramai. Masjid penuh, ibadah rajin, penyumbang banyak, dan tentunya dagangan jadi semakin laris di kampung. Belum lagi kalau malam diramaikan anak-anak yang main petasan. Makin seru aja pokoknya’.
            Teman-teman susi serentak menyetujui komentarnya. Dia sendiri merasa sangat bahagia, bahkan membatin, ‘Andai tiap hari itu ramadhan, pasti semua ramai dan daganganku laku keras’.
            Pernyataan Susi memang benar adanya. Perbandingan sangat mencolok betul-betul terjadi di desa Darus Salam. Sebelum Ramadhan mereka terlihat biasa-biasa saja. Namun, ketika Ramadhan datang, seakan-akan berubah menjadi ‘Pasar Kaget’.
            Pada suatu malam, selesai melaksanakan shalat Tarawih di masjid Al-Karim, Susi beserta teman-teman warga kampung Darus Salam sedikit mengernyitkan dahi. Pasalnya, ada pesan Kultum(Kuliah Tujuh Menit) yang disampaikan oleh Ust. Slamet Mujiono. Tidak seperti penceramah lain, nasihatnya begitu unik, halus, tapi juga membangunkan kesadaran batin.
            “Bapak-bapak dan ibu-ibu yang saya hormati. Bulan Ramadhan bukan hanya bulan penuh rahmat, berkah, ampunan dan jihad,” demikian Ust. Slamet memulai Kultumnya setelah diawali dengan salam. “Ada satu hal penting yang jarang sekali disinggung terkait bulan Ramadhan. Ramadhan –kalau kita mau mempelajari sirah Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wasallam- adalah bulan penghematan,”.
            “Dalam sejarah, kita bisa melihat betapa nabi dan para sahabat sebagai generasi terbaik kurun pertama, memberikan contoh terbaik terkait masalah penghematan. Kalau pada bulan-bulan lain pengeluaran misalnya 60 ribu(dengan istilah bahasa kita), maka ketika di bulan Ramadhan bisa berkurang sampai 30 ribu. Satu lagi yang bisa diceritakan dari kehidupan mereka, mereka tidak pernah membeda-bedakan antara bulan Ramdhan dan bulan-bulan lain dalam masalah ibadah. Meskipun intensitas ibadah semakin tinggi di bulan Ramadhan, di bulan lain pun tak jauh berbeda,” lanjut Ust. Slamet.
            “Bapak-bapak dan ibu-ibu yang saya hormati. Saya sendiri merasa prihatin dengan kondisi Ramadhan yang ada di negeri ini. Puasa itu `kan seharusnya mengendalikan diri, tapi yang lahir justru tradisi pelampiasan. Puasa sejatinya melatih diri untuk berani berkata ‘tidak’ pada nafsu, tapi yang ada malah meng-iya-kan nafsu. Puasa juga sebenarnya simbol sepi dan sunyi. Makanya tidak heran di dalamnya ada ibadah yang terkait, yaitu: i`tikaf. I`tikaf adalah gambaran ibadah yang benar-benar bertalian erat dengan puasa. Pada waktu itu manusia muslim benar-benar ditempa untuk mengendalikan diri secara total dalam kondisi sunyi sebagaimana saat Nabi Muhammad menyendiri di gua Hira.”
            “Ramadhan itu mengendalikan, di saat diri mampu melampiaskan. Ramadhan itu melatih diri sabar, di saat diri mampu membuat gebyar. Puasa itu melatih hidup hemat, di saat diri mampu meluapkan nikmat. Ramadhan bukanlah pameran, tapi kesadaran sunyi untuk semakin dekat pada Tuhan. Maka jangan heran jika ibadah sangat khusus, bahkan ganjarannya Allah rahasiakan. Karena memang sangat privat dan sunyi,”.
            “Kita boleh berdagang, tapi bukan diniati –terutama- untuk mencari uang. Tapi, memberi ruang pada batin agar rela dan legowo menginfakkan harta –baik di dalam maupun di luar bulan Ramadhan- di saat kebanyakan orang, eman dengan harta.”
            “Pak, Bu ada satu pertanyaan terakhir yang perlu saya ajukan: ‘Bulan Ramadhan itu sebenarnya bulan penghematan atau pemborosan?”. Jama`ah serentak menjawab, ‘Penghematan ustaaaaadz.” Di sela-sela Kultum, sekonyong-konyong lampu mati. Para jama`ah merasa heran lampu-lampu rumah di sekitar masjid menyala. Tiba-tiba ada suara keras menimpali, “Penghematan ustadz,”. Jama`ah terlihat heran dan menebak-nebak suara siapa gerangan. Setelah ditelisik, ternyata suaranya Markedot yang merasa menjadi pejuang 45. Sebab, selama ini ia merasa sangat prihatin dengan kondisi masyarakat Darus Salam yang sangat boros di bulan Ramadhan.
            “Dot, hidupin lampunya! Ini sih namanya bukan penghematan tapi penghambatan. Hemat sih hemat, tapi lihat kondisi dong. `Kan Pak Ustadz lagi ceramah. Suara bergemuruh seolah mencecar tindakan Markedot.”
            Setelah Kultum, warga Darus Salam mulai sadar. Apa yang mereka lakukan selama ini selama Ramadhan ternyata tidak sejalan dengan pelajaran inti Ramadhan. “Aku bertekad untuk tidak mengeluarkan apa-apa Min! `Kan berhemat?” Celetuk Susi kepada Minarti yang berada di sampingna. “Itu sih bukan berhemat Sus, tapi P2.” Susi keheranan, ‘Lho apa P2 Min?’. “Pelit Kuadrat, hehehe” gelak tawa pun menaburi malam mereka.

Jangan Sok Suci!

Written By Amoe Hirata on Rabu, 24 Juni 2015 | 23.40


          Pernah gak si Masbro dan Mbakbro dikatain sama teman, ‘Please dech, jangan sok suci!’, saat burasaha insaf menjadi orang baek-baek?. Kalau pernah, jangan pernah kecil hati bro. Orang begituan mah sukanya sirik ma orang yang ingin berubah. Aku jadi ingat deh kisah Nabi Luth sama kaumnya. Coba dicek: Qs. Al-A`raf, 82 dan An-Naml, 56! Isinya persis kayak begituan. Masak bro, Nabi Luth `kan ngasih tau baek-baek jangan suka sesama jenis, jangan ngelakuin perbuatan yang ga pernah dilakuin oleh umat-umat sebelummu!. Eh malah ngeyel. Apa coba tanggapan mereka, ‘Alah Luth, jangan jadi orang sok suci dech!”.
            Na`udzubillah min dzalik ya bro. Ga banget (atau bingit) dech. Mestinya `kan orang dinasehati bersyukur, nah ini malah ngelantur yang tidak-tidak. Kalo orang ngelakuin kebaikan dianggap sok suci, lalu mereka apa? ‘sok kotor, sok najis?’. Paling-paling kalo mereka dikatain seperti itu, pastinya marah-marah. Percaya dech. Tapi jangan kecil hati bro, mereka ngelakuin kejelekan aja PD, nah kita yang ngelakuin kebaikan masak ga PD. Ingat bro, nabi pernah dituduh tukang sihir, gila, penyair dll. Tapi beliau enjoy aja. No problemo, hehehe. Kuncinya satu, tetap semangat, berpikir positif, dan cuekin mereka. Nanti juga cepek-capek sendiri.
            Tau ga bro, dulu pas nabi nanya ke Waraqah bin Naufal, ‘Apa orang yang dakwah seperti aku gini akan dimusuhi orang?’. Dengan tegas Waraqah ngejawab, ‘Sapa aja yang mbawa ajaran yang kayak kamu bawa –seperti nabi terdahulu- yakin deh, pasti dimusuhi!’. Tuh `kan aku bilang juga apah. Nyantai saja sob!. Kalau baru dikatakan ‘sok suci!’ saja sudah mewek, mending jualan mpek-mpek(hehe,, sorry guyon). Kalau baru dikatakan ‘sok alim’ saja sudah ngambek, namanya cemen bro, mending jadi jomblo(heheh, guyon lagi, meski ora nyambung). Yang jelas gini bro, tetap berjalan. Allah ga lihat hasil bro, yang penting kita-kita berusaha.
            Ada cerita menarik bro, ada seorang ulama bernama Muhammad bin Yasin. Ia berasal dari Maghrib(Maroko). Dia rela ninggalin sanak famili serta jama`ah ngajinya. Demi apa coba? Ya karena prihatin, di negeri tetangganya ada suku yang agamanya Islam secara KTP(heheh, please dech masak dulu sudah ada KTP). Mereka ngaku Islam tapi masih suka STMJ(shalat terus maksiat jalan). Pertama kali beliau datang ke sana, ga disukai bro, bahkan diusir. Trus apa dia ngambek atau pulkam? Ternyatak enggak tuh. Dia malah nyuratin pemuda-pemuda yang simpati dengan dakwahnya mendirikan tenda di sebelah daerah itu. Muhammad bin Yasin tidak ngambek dan tidak menggunakan cara-cara kekerasan.
            Tau ga Sob, dalam waktu yang tidak begitu lama,- soalnya dia menggunakan dakwah penuh cinta- akhirnya lahir tokoh besar sebagai penerusnya, namanya Yusuf bin Tasyfin. Pada akhirnya ada sekitar lebih dari lima belas negara Afrika Utara kembali taubat bahkan masuk Islam. Ingat bro, ini adalah buah dari kesabaran dan ga putus asa.  Kita bukan kayak krupuk yang gampang melempem dan ayem ketika kenak angin atau air. Molai sekarang, kalao ada yang ngatain, ‘Jangan sok suci!’ senyum aja dech, jangan digubris. Tunjukkan bahwa kamu ga terpengaruh. Kalau terpaksa ga kuat, ya boleh aja kamu ngomong, ‘Jangan sok kotor bro!’. Nanti dia pasti mikir, lha pas mikir, tinggalin aja. Masalah tobat atau tidak itu murni hidayah Allah.

Pemimpin Zahid

            Di padang sabana, beriring sepoi angin senja, Sarikhuluk ditemani Markoden dan Paijo sedang asyik tiduran menatap cakrawala.
     Kondisi itu sangat menyenangkan dan sangat didambakan olehnya di tengah kegiatannya yang sedemikian padat. Baginya, ini adalah kesempatan relaksasi pasikologis di tengah kebisingan manusia modern yang kebanyakan pragmatis.
            “Cak, menurut njenengan -melihat kebanyakan pemimpin di negeri ini- apa sudah masuk dalam kondisi ideal?” Tanya Markoden memecah kesunyian.
             “Den, aku pikir yang lebih pas pertanyannya, ‘Apa kriteria pemimpin yang ideal?’. Soalnya begini, kalau kita bicara realitas pemimpin di negeri ini (maksudku yang sekarang) maka tak aka nada habisnya dan hanya bikin sakit hati.”.
            “Lha, kenapa gitu Cak?” Tanya Paijo penasaran. “Akan lebih bermanfaat jika energi kita tidak dihabiskan untuk menghukumi realitas pemimpin negeri ini. Kita fokuskan saja pada kriteria ideal pemimpin. Mengapa demikian? Pertama, bisa dijadikan referensi bagi kita untuk memilih pemimpin yang lebih baik. Kedua, bisa lebih jernih dalam menilai seorang pemimpin. Ketiga, bisa diagendakan sebagai bahan untuk mewujudkan pemimpin ideal.” Jawab Sarikhuluk.
            “Lalu apa Cak kriteria pemimpin yang ideal menurut njenengan?” Suara Paijo dan Markoden bersamaan. “Aku sebut satu dulu. Pemimpin ideal adalah pemimpin yang zahid.” “Lha, makanan apalagi itu Cak?”.
             “Zahid adalah kata sifat dari zuhud. Biasanya orang mengartikannya: ‘sederhana’. Tapi itu belum cukup mewakili. Zahid ialah ketika engkau sudah memiliki dunia, namun kau tidak diperbudak olehnya. Malah memilih hidup sederhana, demi kehidupan abadi.”
            “Orang zahid adalah pasca-dunia, bukan pra-dunia”. “Lha apa maksudnya?” tanya keduanya penasaran. “Gini, kalau kamu ga makan gara-gara ga ada yang dimakan, maka kere namanya atau terpaksa. Kalau kamu punya makanan, tapi kamu memilih untuk puasa demi menjalankan ibadah(yang bernilai rohani), maka kamu zahid. Kalau dikaitkan dengan pemimpin ya pemimpin yang secara duniawi mempunyai kesempatan untuk hidup mewah, namun mereka lebih mengutamakan mensejahterakan rakyat, ketimbang dirinya sendiri.”
            “Kalian bisa menulusuri jejak-jejak pemimpin agung di dalam sejarah. Rasulullah Muhammad shalallahu `alaihi wasallam memilih hidup sederhana padahal sebenarnya mampu. Kadang kurang makan. Bajunya dijahit sendiri. Suatu saat bahkan Umar menangis ketika beliau tidur dengan alas pelepah kurma, sehingga membekas di punggungnya. Abu Bakar demikian. Umar juga kepemimpinannya dibangun di atas spirit kezahidan.”
            “Pernah ada orang yang penasaran ingin ketemu Pemimpin Agung bernama Umar yang kekuasaannya sampai ke serambi Bizantium Romawi. Setelah diberitahu, ia kaget bukan main. Di negerinya namanya pemimpin hidup dalam istana, punya mahkota, dan disertai dayang-dayang. Ini tidak. Ga ada penjaga, malah tidur di atas tanah. Rasa kemanusiaannya tergetar ketika melihat fenomena ini. Demikian juga Ali bin Abi Thalib yang terkenal dengan ucapan, ‘Wahai dunia, bujuklah selainku. Sungguh aku telah menalakmu tiga kali,’. Tak hanya itu, dunia ia letakkan dalam genggaman tangannya. Bukan dalam hatinya. Mush`ab bin Umair, Duta Islam Pertama, meski waktu muda hidup bergelimang harta, tapi lihat matinya, tidak memiliki kain kafan yang bisa menutupi semua jasadnya. Demikian pula Umar bin Abdul Aziz, yang sebelumnya hidup dalam gelimang harta, ketika menjadi pemimpin memilih hidup sederhana.”
            “Tunggu dulu Cak! Kalau Utsman `kan pemimpin juga. Dia `kan hidupnya enak. Makannya enak. Pokoknya serba enak deh. Apa dia bukan zahid?” tanya Markoden. “Kalau kamu mau lihat Utsman, haru proporsional dan detail. Dia meskipun hidup seperti itu, perjuangan dan pengorbanannya begitu besar. Dia sangat dermawan. Kezahidannya ialah terletak pada ketidak terikatan hatinya dengan yang namanya harta. Ia bisa saja menginfakkan semua hartanya tanpa beban apapun.”.
            “Aku jadi ingat sejarah pahlawan-pahlawan besar negeri ini. Kamu tau Kh. Agus Salim, walaupun dia menjadi Mentri Luar Negri pada masa Presiden Soekarno, hidupnya sangat sederhana. Ia tidak punya rumah mewah. Malah hidupnya pindah dari kontrakan satu ke kontrakan yang lain. Kamu tau Muhammad Natsir? Waktu menjadi Perdanan Mentri, ia terbiasa ngontel(sepedaan) ke rumah kontrakannya memakai jaz yang ada tambalannya. Hatta pun –meski pernah menjadi Wakil Presiden- tak mampu membeli sepatu impiannya hingga akhir hayatnya. Mentri Keungan Pak Syafrudin yang tak mampu membeli popok anaknya. Dan masih banyak yang lainnya.”
            Tiba-tiba Markoden nyeletuk, “Cak, aku jadi ingat Kia Semar. Sebenarnya dia adalah Panembahan Ismoyo, dewa yang begitu luar biasa tapi mau turun ke bumi hidup secara sederhana dekat dengan manusia bumi. Menurutku Kia Semar adalah tipikal Zahid dan merakyat.” “Kamu ini Den, ada-ada aja.” Sahut Paijo.
           “Intinya, kita sekarang sedang membutuhkan pemimpin yang zahid. Zahid bukan saja dalam pengertian wadak, tetapi sudah penjadi sebagai cara pandang yang menjadikan pemimpin hidup sederhana, mengutamakan kesejahteraan rakyat, sama Tuhan juga dekat.” Pungkas Sarikhuluk.
            “Cak, sepurane yo(maaf ya). Kalau aku perhatikan, sampean ini dari berbagai segi terlihat zahid(sesua dengan pengertian zahid yang telah disampaikan). Pakaian, wajah, gaya hidup, serte tetek-bengeknya sangat sederhana.” Sahut Markoden menilai dengan mantap.” “Iya Cak, benar itu kata Markoden,”timpal Paijo tak mau menguatkan.
               “Hehehe, Ojo ngawur awakmu (jangan ngawur). Rek aku ini begini bukan karena zuhud, tapi kere alias melarat. Tapi aku selalu berusaha menapaktilasi jejak-jejak mereka. Mereka secara ideal terlihat sebagai ‘manusia langit’, tapi secara riil sebenarnya kakinya masih berpijak di bumi, yang memungkinkan untuk diteladin. Kalau Indonesia ingin maju ya cari pemimpin yang berjiwa zahid, bukan peraga zahid. Mau zahid kalau disorot media, ketika sendiri kesejahteraannya amit-amit tiada duanya.”
            Begitu gembira Paijo dan Markoden bisa bersama Sarikhuluk. Meski santai, bersama Sarikhuluk selalu mendapat ilmu dan hikmah baru. Saat mata hari tenggelam di ufuk barat, mereka akhirnya kembali ke rumah masing-masing bersiap melaksanakan shalat Maghrib.

Allah 'TAK BUTUH' Puasamu

            Salah satu amalan unggulan dalam bulan Ramadhan ialah puasa. Menurut pengertian Ilmu Fiqh, definisi puasa ialah: “Menahan diri dengan niat beribadah dari makan, minum,berhubungan intim serta apa saja yang bisa membatalkannya, sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari”. Masalahnya, apakah puasa hanya sekadar menahan haus, dahaga dan hubungan intim? Dengan membaca hadits berikut, pembaca akan mengerti apa sejatinya yang perlu dikendalikan dalam berpuasa dan apa yang seharusnya dijaga agar tidak merusak puasa. Dengan membaca hadits ini pula, kita akan lebih memahami hakikat takwa dalam ibadah puasa. Semoga tulisan ini bermanfaat, serta meningkatkan kesadaran dan pemahaman kita mengenai puasa.
A.    Teks Hadits
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالعَمَلَ بِهِ، فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ»
B.     Mufradat

لَمْ يَدَعْ               : Tidak meninggalkan
قَوْلَ الزُّورِ          : Perkataan dusta
حَاجَةٌ                 : Perlu, butuh
أَنْ يَدَعَ               : Ia meninggalkan

C.    Arti Hadits

Bersumber dari Abu Hurairah radhiyallahu `anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dan amalan dusta, maka Allah tidak butuh(peduli) ia meninggalkan makan dan minumnya”.

D.    Takhrīj Hadits

Hadits ini diriwayatkan Bukhari(Kitab: al-Shaum. Bab: man lam yam yada` qaulaz zur. Kitab: al-Adab. Bab: Qauluhu ta`ala, “Wajtanibu qaula al-Zur” Al-Haj: 30), Abu Daud(Kitab: al-Shaum. Bab: al-Ghibah li al-Sha`im), Tirmidzi(Bab: al-Shaum. Kitab: Bab ma jāa fi al-tasydid fi al-Ghibah li al-Shaim), Ibnu Majah(Kitab: al-Shiyam. Bab: Ma jāa fi al-Ghibah wa al-Rafats li al-Shā`im), Ahmad(Musnad Abu Hurairah, 16/332), Bazzar(Musnad Abu Hurairah), Baihaqi( Sunan al-Kubra. Kitab: al-Shiyam. Bab: Ma yunha `anhu al-sha`im min qauli al-zur wa al-ghibah), Ibnu Huzaimah(Kitab: al-Shiyam. Bab: al-Nahyu `an qauli al-zur wa al-`amalu bihi wa al-jahlu fi al-shaumi wa al-taghlidh fihi),

E.     Profil Rawi Hadits

Nama aslinya Abdurrahman bin Shakrin al-Dausi. Berasal dari kabilah Daus, Yaman. Lahir 19 tahun sebelum hijriah. Waktu jahiliah, namanya: Abdu Syams bin Sakhr. Sedangkan kunyanya: Abu Al-Aswad. Setelah Islam, namanya diganti rasul menjadi: Abdur Rahman. Dijuluki ‘Abu Hurairah’(Bapak Kucing Kecil) karena suatu saat ia menemukan kucing kecil kemudian dia letakkan dalam lengan bajunya. Ada cerita lan: Disebut demikian karena, ia memiliki kucing kecil yang selalu dibawa ketika menggembala kambing. Waktu malam, kucing kecil itu diletakkan di pohon, ketika siang diajak lagi menggembala kambing. Ia masuk Islam pada tahun ketujuh hijriah(diajak oleh Thufail bin Amru Ad-Dusi). Di antara sahabat nabi, dialah yang paling banyak meriwayatkan hadits. Hadits yang diriwayatkan berjumlah: 5374. Ia wafat pada tahun 57 H. Pelajaran penting dari hidupnya ialah kesederhanaan dan semangat dalam mencari ilmu serta mengamalkannya.

F.     Syarah Hadits
Hadits ini didahului dengan adat al-syarthi(alat yang berfungsi menunjukkan syarat. Selama syarath ini ada, maka jawabnya juga ada) yaitu kata: man(barangsiapa). Man juga merupakan kata yang `am(umum). Jadi, barangsiapa atau siapa saja yang tidak mau meninggalkan perkataan dan amal zur(dusta), serta perbuatan jahil, bodoh(tambahan ini di Bukhari) maka(jawab syarathnya) Allah tidak menghendaki(butuh, peduli) puasanya. Percuma saja meski tidak makan dan minum, karena puasanya menjadi tak bermakna bernilai karena dirusak dengan perbuatan-perbuatan yang mencemari puasa.
Bukankah –sebagaimana Al-Baqarah: 183- puasa disyariatkan agar membentuk pribadi takwa? Dengan demikian hadits ini menunjukkan bahwa yang dikendalikan dalam berpuasa bukan saja masalah lahiriah saja, perkara-perkara batin juga perlu dikendalikan. Meskipun secara hukum tidak membatalkan puasa, namun perbuatan itu bisa merusak nilai puasa. Betapa banyak orang yang puasa dengan pengertian wadak dan dangkal. Puasa hanya dipahami tidak makan, tidak minum, tidak bergaul dengan istri. Padahal di luar itu, sering berkata kotor, berbuat keji, mengumpat orang dan lain sebagainya.

Karena itu, bagi siapa saja yang ingin meningkatkan kualitas ibadah puasanya, maka harus memahami puasa dengan pemahaman yang lebih dalam. Yang dikendalikan dalam puasa mencakup lahir-batin. Bukan berarti, kalau melakukan perbuatan dan perkataan dusta orang disuruh meninggalkan puasanya, tapi perbuatan itu dapat mengurangi nilai puasa bahkan mengundang kemarahan Allah. Dalam hadits lain diriwayatkan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: " الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَجْهَلْ، وَإِنِ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ: إِنِّي صَائِمٌ مَرَّتَيْنِ "
Bersumber dari Abu Hurairah radhiyallahu `anhu, Rasulullah shallahu `alaihi wasallam bersabda: “Puasa adalah perisai. Maka jangan berkata kotor dan berbuat jahil. Jika ada seorang diajak perang(berkelahi) atau dicele, maka hendaknya ia berkata, ‘Aku sedang berpuasa’”(Hr. Bukhari, Muslim).
            Hadits tersebut semakin menguatkan, bahwa puasa adalah pengendalian diri dengan makna seluas-luasnya. Menahan lisan dan menjaga hati. Tidak berkata kotor dan melakukan akhlak tercela, sekaligus menahan emosi karena dalam kondisi lapar, orang rentan marah. Hadits ini bisa dijadikan cermin keseharian kita, baik di dalam maupun di luar bulan Ramadhan agar gambaran takwa bisa terpantul jelas dan bisa dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
            Imam Abu Hamid al-Ghazali dalam kitab Ihyā` Ulūmi al-Dīn, membagi tingkatan orang-orang berpuasa. Pertama, puasa al-`umum(umum,orang awam). Yaitu sekadar tidak makan, minum dan berhubungan intim. Kedua, puasa al-Khusus (khusus). Yaitu memelihara pendengaran, pengelihatan, lisan, tangan, kaki, dan seluruh anggota badain dari dosa-dosa. Ketiga, puasa khusūshu al-Khusūsh(istimewa). Yaitu, puasanya hati dari mencerna hal-hal yang hina dan pemikiran duniawi serta mengendalikan diri dari yang selain Allah secara total(1/234). Dari sini kita bisa mengetahui bahwa tingkat puasa orang yang hanya meninggalkan urusan perut dan kemaluan adalah puasanya orang awam. Anak kecil pun bisa melakukan puasa demikian.

G.    Pelajaran

1.      Puasa bukan sekadar menahan haus, lapar dan berhubungan intim
2.      Tercelanya perkataan, dan perbuatan dusta dalam berpuasa
3.      Allah tidak butuh(peduli) pada puasa orang yang masih berbuat dusta, melakukan kejahilan dan berkata dusta
4.      Yang dimaksud dengan Allah butuh bukan berarti butuh dalam pengertian dhahir, tapi maksudnya ialah Allah tidak menghendaki puasa yang demikian
5.      Perbuatan tercela akan merusak nilai puasa
6.      Dianjurkan puasa secara lahir dan batin
7.      Menghindari perbuatan-perbuatan tercela baik ketika berpuasa maupan di luar puasa
8.      Peringatan keras bagi orang yang berpuasa dengan makna dangkal
9.      Bagi yang ingin menyempurnakan kesempurnaan puasa maka harus menjauhi perbuatan-perbuatan tercela
10.  Anjuran untuk meningkatkan kualitas puasa

H.    Referensi
1.      Bukhari, Shahih Bukhari
2.      Muslim, Shahih Muslim
3.      Tirmidzi, Sunan Turmudzi
4.      Abu Daud, Sunan Abu Daud
5.      Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban
6.      Ibnu Huzaimah, Shahih Ibnu Huzaimah
7.      Baihaqi, Sunan Kubra
8.      Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad
9.      Bazzar, Musnad Bazzar
10.  Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah Al-Hadits
11.  Ibnu Hajar Al-`Asqalani, Al-Ishabah di Tamyīzi al-Shahabah
12.  Ibnu Hajar Al-`Asqalani, Fath Al-Bāri
13.  Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhāj Al-Muslim
14.  Abu Hamid AL-Ghazali, Ihyā Ulumi al-Dīn
15.  Ibnu al-Batthāl, Syarh Shahih al-Bukhari
 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan