Kuncup 'Bunga Cinta'

Written By Amoe Hirata on Minggu, 31 Mei 2015 | 20.45

              Hari semakin senja. Gumpalan awan hitam sedang bercengkrama dengan angin memenuhi langit senja, seolah sedang siap-siap menurunkan air hujan. Sekawanan burung merpati terbang kompak dengan gaya khasnya bergegas menuju sarang, seolah tak sabar bertemu keluarga. Guntur bergemuruh, petir menyambar, kilat bersahut-sahutan, seolah sedang ada pesta di langit senja. Begitulah senja menyerta Kanieta. Baru saja ia pulang dari kampus. Ia bersyukur bisa sampai rumah dengan selamat. “Senja ini nampaknya senja awal musim hujan” desisnya. Sudah berbulan-bulan musim kemarau menerpa desanya. Maka sangatlah wajar jika Kanieta mendambakan kedatangannaya. Begitu rindunya ia dengan air hujan. Sama rindunya dengan tanah-tanah kering yang menanti tetesan airnya. Sama kangennya dengan tetumbuhan dan pepohonan yang menunggu siraman airnya. Senja itu, turunlah hujan lebat, sebagaimana yang diinginkan Kanieta, sebagai tanda awal musim hujan tiba. Secara spontan ia langsung berdo`a: Allahumma Shayyiban Nafi`ah(Ya Allah anugerahkanlah pada kami hujan yang bermanfa`at). Setelah berdo`a ia pun bergegas mandi kemudian menanti waktu Maghrib tiba sembari membaca Al-Qur`an.
            Betapa bahagianya Kanieta, dengan penuh khusyu` dan syahdu ia melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur`an ketika sedang shalat Maghrib. Di luar sana suara hujan begitu khas menyertai ibadahnya. Selepas shalat ia tak lupa berdzikir, sujud syukur serta melantunkan do`a: “Ya Allah ampunilah dosa-dosa kedua orangtuaku, tunjukilah aku dan Ayahku pada jalan yang mustaqim, anugerahkanlah pada kami rizki yang penuh barakah, jadikanlah kami bagian dari hamba-hamba-Mu yang bersyukur, dan jangan Kau semayamkan kedengkian pada hati-hati kami”. Ketika sedang khusyu` berdo`a, tiba-tiba pintu rumahnya terketuk lembut yang diiringi suara orang yang sangat dikenalnya: “Tok, tok, tok,....Ani.....Ayah datang”. Rupanya ayah tercintanya pulang dari kerja. Mendengar suara khas itu, Anie langsung berbegegas membukakan pintu. Dikecuplah tangan ayahnya sembari bertanya: “Yah....tumben pulang kerjanya sampai Maghrib, biasanya kan jam lima dah balik?”. “Tadi ayah ada tugas yang harus diselesaikan di kampus. Dekan universitas, meminta bantuan ayah mendata mahasiswa baru, kebetulan data-data itu dibutuhkan segera pada esok hari, makanya tadi ayah kebut. Maaf ya kalau tidak memberitahumu terlebih dahulu” sambil mengecup kening Kanieta, akhirnya ayah Kanieta yang bernama Abdurrahman Al-Faatih masuk ke dalam rumah.
            “Yah sudah Anie siapkan air hangat untuk mandi. Monggo mandi dulu nanti saya bikinkan teh hangat” ujar Anie mempersilahkan. “ Ya An, terimakasih, O  iya nanti ba`da shalat Maghrib ada hal penting yang perlu saya bicarakan ke kamu” sahut ayahnya. “Iya Yah, sekarang segera mandi, biar waktu Maghribnya tidak telat”. Selepas shalat Maghrib, Anie diajak ayahnya ke ruang Keluarga, membicarakan hal yang se dari tadi ingin dia sampaikan padanya. Kebetulan pada waktu itu, adiknya yang bernama Bilqies Queen Saba, sedang nyenyak tertidur di kamarnya. “Gini ndok, sebelumnya saya minta kamu jangan kaget atau heran jika nanti mendengar perkataan ayah, ayah anggap kamu sudah dewasa, dan kamu tentu ingat pada pesan-pesan mendiang ibumu: “Kamu jangan sekali-kali melakukan pacaran seperti gadis-gadis kebanyakan. Pegangteguhlah syari`at islam. Jangan menghabiskan keindahan cinta sejati dengan maksiat. Cinta akan indah pada saatnya. Jika cintamu kau gadaikan pada hawa nafsu sesaat, yang kamu dapat bukanlah cinta sejati, hanya cinta sesaat yang akan membuatmu merugi ketika di akhirat” Ucap ayahnya dengan mimik serius. “Iyah Yah silahkan, sampai sekarang Anie sangat ingat wejangan dari mendiang Ibu, semoga beliau berada dalam naungan rahmat-Nya” jawab Anie dengan senyum merekah. “ Tadi ketika di kampus, ayah didatangi dosen muda, namanya Hamdi Al-Fatih. Kamu pasti kenal dia wong dia dosen Psikologimu” lanjut Ayah Kanieta. “Iya yah, itu dosen favoritku, orangnya sangat baik dan memiliki kepribadian menarik. Terus ada apa Yah dengan dia?” tanya Anie penasaran. “Tadi dia datang ke kantor ayah, intinya dia suka sama kamu, dan ingin menjadikanmu sebagai istrinya” papar Ayah Anie dengan tegas.
            Seraya terbang di langit senja Anie mendengar penuturan ayahnya. Ternyata dosen favoritnya akan mempersuntingnya menjadi pasangan hidupnya. Dalam kondisi kaget ia bertanya: “Hah, yang benar Yah, saya kan masih baru kuliah semester satu, apa dia siap menunggu sampai saya lulus, ayah sendiri kan dah bertekad kalau ayah baru boleh nikah ketika aku sudah lulus?” Tanggapan Anie yang disertai tanya keheranan. “Dia sangat siap ndok, dia juga mau melanjutkan S-3 nya sambil menanti kamu. Dengan jujur ia bercerita pada ayah, bahwa dia sangat mencintaimu, bukan saja karena pandangan pertama, tapi diantara mahasiswi kampus, kamulah yang paling terjaga aurat dan perilakunya, dia juga mengatakan bahwa ia memilihmu bukan sekadar fisik, tapi lebih kepada kecantikan internal yang ada pada dirimu, apalagi menurut dia keluarga kita masih tergolong keluarga baik-baik, sangat susah di jaman sekarang mencari keluarga yang benar-benar kuat menjalankan agama di tengah godaan zaman yang begitu dahsyatnya. Sekarang intinya, kamu mau menerima dia apa tidak? Jawabannya terserah kamu karena kamu yang akan menjalaninya, yang jelas kalau secara pribadi ayah sangat suka dengan kepribadian Hamdi Al-Fatih, dia sangat kokoh dan disiplin dalam menjalankan agama. Tapi sekali lagi ayah tidak memaksamu lho An, kalau itu jodohmu pasti tak akan kemana” Jawab ayahnya. “Yah, secara hati sebenarnya saya sangat cocok dengan Pak Hamdi, tapi kasih saya waktu barang seminggu atau dua minggu untuk melakukan istikharah, saya ingin cinta ini terbangun berdasarkan kehendak sertah iradah-Nya” pinta Kanieta.
                                                                       **************
            Di tengah malam yang sunyi alarm Hp Kanieta berbunyi. Jam menunjukkan pukul 12.00 malam. Anie merencanakan bangun tengah malam untuk menunaikan shalat istiharah. Setalah jam berdering Anie bangun dari  tidurnya, kemudian ke kamar mandi untuk berwudlu` lalu menunaikan shalat istikaharah yang rencananya akan disambung dengan shalat malam. Dengan penuh khusyu` ia melaksanakan shalat istikharah. Ia melantunkan do`a: Ya Allah, sesungguhnya aku beristikhoroh pada-Mu dengan ilmu-Mu, aku memohon kepada-Mu kekuatan dengan kekuatan-Mu, aku meminta kepada-Mu dengan kemuliaan-Mu. Sesungguhnya Engkau yang menakdirkan dan aku tidaklah mampu melakukannya. Engkau yang Maha Tahu, sedangkan aku tidak. Engkaulah yang mengetahui perkara yang ghoib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini (sebut urusan tersebut) baik bagiku dalam urusanku di dunia dan di akhirat, (atau baik bagi agama, penghidupan, dan akhir urusanku), maka takdirkanlah hal tersebut untukku, mudahkanlah untukku dan berkahilah ia untukku. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara tersebut jelek bagi agama, penghidupan, dan akhir urusanku (baik bagiku dalam urusanku di dunia dan akhirat), maka palingkanlah ia dariku, takdirkanlah yang terbaik bagiku di mana pun itu sehingga aku pun ridho dengannya”. Selepas shalat ia berdo`a: “Ya Allah kalau memang Mas Hamdi adalah takdir cintaku, maka tunjukkan tanda-tanda dari-Mu, yang kupilih hanyalah cinta yang mengarah pada cinta sejati-Mu, aku rela menunggu hingga bunga cinta ini mekar menuju takdir-Mu”. Dengan sangat serius Anie malantunkan do`a. Kemudian ia sambung dengan shalat malam.
            Sehabis shalat malam ia membaca Al-Qur`an, sampai akhirnya ngantuk dan tertidur. Dalam tidurnya ia bermimpi. Ia bermimpi ketemu mendiang ibunya. Waktu itu ia merasa senang bukan main. Ibunya terlihat sumringah mengenakan baju putih berpantulkan cahaya. Waktu itu ibunya sedang berada di taman bunga. Ibunya memperlihatkan pada Anie bunga tercantik yang ada di taman. Namun waktu itu bungan yang cantik menurut ibunya itu belum mekar. Bunga itu masih berupa kuncup. Di mimpi itu ibunya menuturkan: “Hendaknya engkau seperti kuncup bunga cantik ini. Ia akan mekar ketika pada waktunya. Melalui kehendak-Nya, bunga cantik yang masih kuncup itu akan mekar, entah itu melalui kumbang atau kupu yang dikehendaki-Nya. Jadilah perempuan yang menjaga kehormatan diri dan jangan gampang mengumbar cinta. Cintamu akan mekar dan indah bila sesuai dengan takdir cinta-Nya”. Setelah menasehati Anie, ibunya terus melantunkan alhamdullilah berkali-kali sambil tersenyum lepas melihat putrinya. Akhirnya iapun terbangun menjelang Shubuh. “Ya Allah betapa indahnya mimpi tadi, aku belum pernah melihat wajah ibu dengan wajah berbinar seperti itu, apalagi dengan nasihat-nasihat yang sangat bijak dan jelas seperti itu, apakah ini pertanda, dari istikharah-ku?” Anie bergumam penasaran di dalam hati. Mimpi indah itu masih Anie simpan hingga selesai shalat Shubuh.
            Ba`da shalat Shubuh, Anie memanggil Ayah dan adiknya. Ia sudah tak sabar menceritakan mimpi indahnya. Berceritalah Anie dengan panjang lebar berkaitan dengan mimpi yang ia alami malam ini. Ayah dan adiknya begitu khusyu` menyimak sampai akhir cerita. Dengan sangat polos adik Anie yang bernama Arta Cahaya Ilahi bertanya: Kak nanti kalau ketemu ibu lagi, salam rindu ya kepadanya dari Arta, Arta kangeeen banget sama belaian bunda, sama masakan bunda, sama cerita-ceerita bunda menjelang tidur, bunda sedang bergembira di surga, iya kan kak?. Mendengar penuturan polos adiknya, Anie terharu bahagia, tak terasa air matapun menetes di pipinya, betapa tidak, Arta ditinggal ibu ketika seorang anak masih begitu membutuhkan kasih-sayang seorang ibu. Anie menimpali: “ Iya dik, ibu Insyaallah sedang bahagia di Surga, nanti akan kusampaikan salammu pada beliau. Mudah-mudahan kita nanti menyusulnya di surga”. Di sela-sela percakapan yang hangat yang terjadi antara Anie dan Arta, Ayahnya yang se dari tadi menyimak percakapan keduanya, begitu terharu dan iba, dalam hati ia berdo`a: semoga kedua anakku ini menjadi anak shalihah dan berbakti pada orang tua. Kemudian ia mengomentari mimpi Anie: “ An, menurut ayah, mimpi tadi adalah pertanda dari Allah, kalau kamu dikehendaki untuk menikah dengan Hamdi”. “Lho kok bisa Yah, apa alasan ayah sampai menyimpulkan demikian?” tanya Anie penasaran. “Aku melihat dari akhir mimpimu, kamu tentu ingat apa yang dikatakan ibumu waktu akhir mimpi? Bukankah dengan senyuman ia melantunkan hamdalah(Al-hamdulillah). Perlu kamu tahu bahwa nama Hamdi berasal dari akar kata arab yang sama yaitu: hamida-yahmadu-hamdan yang artinya memuji. Jadi menurutku ini sebagai pertanda bahwa Allah merestuinya. Wallahu`alam”. “Baiklah Yah, Bismillah....Saya terima Pak Hamdi sebagai calon suami, semoga Allah memudahkan hingga saatnya tiba”.

                                                                     ************
            Setelah Hamdi diterima dengan konsekwensi-konsekwensinya berupa menunggu dalam waktu 1-3 atau  4 tahun lamanya, akhirnya Anie berusaha tetap fokus belajar sampai menggapai kelulusan. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun. Anie menjalaninya dengan sabar sekaligus bimbang. Sabar karena pada faktanya, menunggu dalam waktu segitu pasti akan mendapat rintangan dan cobaan yang begitu banyak. Ia masih muda, cantik, dan brilian, tentunya banyak sekali cowok-cowak kampus yang berusaha menggoda keimanannya. Apa lagi dalam rentang-rentang menunggu Hamdi, sudah berkali-kali ada yang berusaha melamar langsung kepada ayahnya. Ia juga bimbang, lambat laun cinta pada Hamdi sudah tumbuh di hatinya, namun sampai sejauh ini untuk sekadar sms saja tak bisa karena Hamdi punya prinsip: aku tak akan pacaran, aku tak akan mengotori hati, walau hanya sekadar sms, semua akan indah pada waktunya, dan jika waktu itu tiba, maka akan aku sambut bidadariku dengan ketulusan cinta. Hubungan antara Anie dan Hamdi hanya sebatas melalui orang tua. Ketika Hamdi kangen, ia hanya menanyakan langsung ke Ayahnya, demikian pula Anie, ia hanya mampu bertanya pada Ayahnya perihal Hamdi, dan ia hanya mampu melihat dari kejauhan ketika Hamdi sedang menyampaikan kuliah Psikologinya. Hubungan seperti ini memang benar-benar menguji kesabaran dan kesetiaan. Tak hanya Anie, Hamdipun bukan tak terlepas dari ujian dan cobaan, berkali-kali ia ditawari untuk menikahi gadis yang shalihah dan cantik, tentu saja ia menolaknya, karena dia merasa sudah menemukan separuh hatinya. Ia juga sering ditanya oleh kawan-kawan dosen dan sejawatnya: “kapan nikah? Kapan nikah? Kapan nikah?” sebenarnya agak tak enak juga mendengar pertanyaan itu diulang-ulang, tapi dia punya komitmen, bahwa kuncup cinta akan mekar pada saatnya.

                                                                      **********

            Bunga yang dulu hanyalah kuncup hijau kini telah mekar menawan hati. Begitu cantiknya akhlak dan hatinya. Penantian bertahun-tahun Hamdi akhirnya tiba. Anie lulus kuliah dengan hasil memuaskan. Demikian juga Hamdi meraih sukses program doktoralnya. Sekarang tiba saatnya hari kebahagiaan. Hari di mana kedua pasangan saling menyatukan hati; hari di mana kedua pasangan saling menyatukan jiwa. Waktu yang begitu lama yang penuh dengan ujian dan cobaan, penuh dengan penantian dan kebimbangan akhirnya bisa dilampaui dengan kesabaran dan perjuangan. Keduanya telah menemukan takdir cinta-Nya. Bunga-bunga cinta telah mekar menyuguhkan kecantikannya. Ketika malam pertama, Hamdi membacakan puisi yang ia buat sendiri untuk Kanieta:

Ketika hati bejalan
Menyusuri taman cinta
Kutemukan bunga cinta
Yang berbalut kuncup
Hijaunya
Hati ini yakin kan cantiknya
Lantaran bunga-bunga cinta
Begitu indah menyandingnya
Aku yakin dan bersabar
Aku yakin dan menunggu
Bahwa bunga cinta itu
Akan mekar pada saatnya
Akhirnya
Setelah penantian yang penuh
Dengan perjuangan
dan pengorbanan
Hati ini mampu menyaksikan
Kuncupnya mekar
Menjadi bunga cinta
Yang tak sekadar cantik
Bahkan membuat hati tertarik
Dan tak berkutik
Hati bergumam:
Ya Allah
Al-hamdulillah
Al-hamdulillah
Al-hamdulillah
Yang Menganugerahiku
Samudera kesabaran
Hingga kusanggup menanti
Bunga cinta mekar
Dari kuncup hijaunya
Fabiayyi aalaai Rabbikuma tukadzibaan
Kokohkan jalinan cinta ini
Hingga sampai pada cinta sejati-Mu
Aaamiiin Ya Rabb....

Analisis Sejarah Paradigma Al-Qur`an [Bagian: II]

Membaca kisah tak selalunya berarti membaca dalam pengertian tersurat yaitu melalui membaca teks-teks tertulis. Menurut al-Qur`an metode lain untuk membaca kisah ialah dengan cara melakukan perjalanan tafakkur di muka bumi (perjalanan yang disertai analisa dan penelitian). Seperti yang tercantum dalam surat Ali Imran: 137; Al-An`am: 11; An-Nahl: 36; An-Naml: 69; Al-`Ankabut: 20; Ar-Rum: 42. Ini artinya untuk membaca sejarah tak selalu harus dengan yang tersurat tapi dengan yang tersirat dengan cara melakukan penjelajahan-penjelajahan, penelitian-penelitian secara langsung melihat lokasi kejadian-kejadian besar peninggalan sejarah di muka bumi untuk diambil pelajaran. Al-Qur`an menyebutnya dengan istilah: as-Sairu ma`a an-nadhar(perjalanan yang disertia kegiatan pengamatan dan pemikiran) untuk mengetahui `aaqibah(akibat, dampak, pelajaran) dari sejarah yang sedang dikaji. Dengan demikian membaca sejarah tak boleh merasa cukup dengan membaca yang tersurat melalui teks-teks buku sejarah tetapi harus didukung dengan penjelajahan-penjelajahan sejarah analitis. Hal ini sangat penting mengingat sejarah ditulis oleh para pemenang, karena itulah untuk mengetahu kebenarannya perlu diadakan penelitian.
Walaupun al-Qur`an berbicara mengenai cerita-cerita, namun al-Qur`an bukanlah kitab sejarah. Al-Qur`an tidak menceritakan kisah-kisah secara kronologis, lengkap dan detail. Hanya satu surat yang berisi kisah yang utuh yaitu surat Yusuf, adapun yang lainnya terpencar-pencar diberbagai surat al-Qur`an. Yang dipotret al-Qur`an dari sejarah ialah kisah-kisah penting yang sarat akan pelajaran baik itu berupa kisah para Nabi dan Rasul maupun kisah-kisah lain yang berkaitan dengan masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan detang. Pelajaran penting yang dapat diambil dari sini ialah bahwa ketika membaca sejarah tidak harus menguasai, mengahafal detail-detail peristiwa dan nama orang, tapi yang menjadi subtansi ialah rangkaian pelajaran yang terkandung di dalamnya. Yang kita baca ialah hal-hal yang penting dan fundamental untuk dijadikan sebagai pelajaran.
            Yang dapat disimpulkan dari analisa tadi ialah bahwa membaca sejarah berdasarkan paradigma al-Qur`an meliputi poin-poin berikut: 1. Tidak terfokus pada detail peristiwa. 2. Dibaca dengan kesadaran untuk mengambil pelajaran. 3. Dibaca melalui buku dan penelitian secara langsung. 4. Dibaca dengan mendayagunakan potensi akal-pikiran secara optimal. 5. Pelajaran diambil dari kisah  nyata.  6. Pelajaran yang didapat ialah sebagai upaya antisipatif untuk diikuti jika baik dan untuk dijauhi jika jelek. Dengan demikian, membaca sejarah dengan metode “kisah al-Qur`an” akan lebih bermanfaat dan menghibur daripada sekadar menguasai nama-nama dan peristiwa tanpa berusaha mengerti dan memikirkan pelajaran yang terkandung di dalamnya. Membaca sejarah dengan metode demikian akan menjadikan sejarah lebih hidup dan menggairahkan, karena seolah-olah sejarah adalah masa lalu, masa sekarang dan masa depan kita. Orang yang belajar sejarah adalah orang yang bisa memandang masa depannya. Sejarah kembali terulang. Hanya orang yang mau mengambil pelajaran darinya yang akan sukses.

Analisis Sejarah Paradigma Al-Qur`an [Bagian: I]

Written By Amoe Hirata on Sabtu, 30 Mei 2015 | 06.31


          Sejarah senantiasa menjadi perbincangan menarik di sepanjang kehidupan manusia. Menarik karena pada dasarnya sejarah merupakan cermin dari peristiwa yang telah, sedang dan akan terjadi. Namun jika dilihat dari realita yang ada, sejarah bisa menjadi tidak menarik lantaran disajikan dengan metode yang menjemukan dan tidak edukatif. Sejarah menjemukan karena dipandang hanya berisi rekaman peristiwa masa lalu, yang dipenuhi deretan nama, angka, tahun dan misteri-misteri yang tak pernah terjawab. Tidak edukatif karena sejarah hanya dijadikan hiburan dan rekaman sunyi orang-orang yang telah tiada sehingga tak berimbas sedikitpun pada  kehidupan nyata dan tak bernilai mendidik.
            Melihat realita demikian, penulis merasa tergugah untuk mengkaji dan mengaji sejarah melalui “kisah al-Qur`an”. Melalui “kisah al-Qur`an” karena kisah al-Qur`an memiliki keistimewaan tersendiri dibanding dengan kisah-kisah yang lain. Diantara keistimewaannya ialah bahwa kisah yang disajikan adalah kisah nyata, sarat akan pelajaran, sekaligus tak menafikan estetika. Jadi, kisah al-Qur`an disamping bernilai fakta, sekaligus bernilai pelajaran dan estetika. Berangkat dari pemahaman tersebut, sekali lagi penulis merasa perlu untuk menggunakan paradigma al-Qur`an dalam menganalisa sejarah.
            Untuk mengungkap cerita, al-Qur`an menggunakan istilah, ‘Qisshoh/Qhoshos’ yang secara bahasa berarti: tatabbu`ul atsar(mengikuti jejak, menapaktilas). Jadi dari pemilihan kata saja kita bisa mengambil makna bahwa sejatinya apa yang diceritakan al-Qur`an itu bukan utuk sekadar dijadikan bacaan, hiburan tetapi untuk ditapaktilasi. Dengan mengetahui jejak-jejak kisah itu kita bisa mengambil pelajaran, hikmah dan pencerahan. Demikian juga ketika kita mau membaca sejarah pada umumnya, kita membacanya bukan untuk sekadar memenuhi hobi atau menghibur diri saja tapi berusaha menapaktilas jejak-jejak orang yang berhasil dan yang gagal, sehingga bacaan kita lebih bermanfaat dan bermakna.
            Analogi “mengikuti jejak” bisa kita kembangkan pada analisa yang lebih jauh dan rinci. Ada beberapa unsur yang perlu diurai. Pertama ada yang namanya jejak. Kedua ada yang namanya pembuat jejak. Ketiga ada yang namanya pengikut jejak. Keempat ada yang namanya arah jejak. Kelima: ada yang namanya tujuan mengikuti jejak. Kalau kita mengkaji sejara melalui perspektif al-Qur`an, maka kita harus memiliki kelima unsur tadi. Jejak atau peristiwaya beserta pembuat jejaknya benar-benar ada(ini berkaitan dengan faktualitas sejarah); arah jejaknya sudah pasti ke depan(jadi belajar sejarah untuk mengantisipasi masa depan); pengikut jejaknya ialah pembaca sejarah; tujuan mengikuti jejak ialah untuk menggali pelajaran-pelajaran berharga dari pembuat jejak untuk diaplikasan sebagai upaya antisipatif menghadapi masa kini dan masa depan. Dengan melibatkan lima unsur ini, maka bacaan kita terhadap sejarah akan lebih bermanfaat dan mencerahkan.
            Kisah dalam al-Qur`an selalu mengandung `ibrah(pelajaran) sebagaimana yang tercantum dalam surat Yusuf ayat 111. Jadi dalam membaca sejarah harus didasari dengan kesadaran untuk mengambil pelajaran dari sejarah yang sedang dibaca. “Pelajaran” adalah kata kunci untuk membaca sejarah. Kata, ‘ibrah’ sendiri secara bahasa memiliki arti melewati, melampaui, memasuki, menembus, pindah dari suatu tempat ke tempat yang lain. Jadi dengan membaca sejarah seolah-olah kita sedang melewati, melampaui, memasuki, menembus, pindah dari suatu tempat ke tempat lain membaca realitas sejarah untuk kemudian diambil pelajaran-pelajaran darinya. Secara ringkas bisa diungkapkan dengan kata: mempelajari realitas untuk melahirkan produk abstrak berupa pelajaran.
Menurut al-Qur`an, yang bisa mengambil pelajaran dari kisah-kisah ialah hanya orang-orang yang mau menggunakan akal pikirannya. Al-Qur`an menyebutnya dengan istilah ulil albab(orang-orang yang punya akal). Karena itulah di ayat yang lain ditegaskan bahwa kisah merupakan media untuk berfikir(Qs. Al-A`raf: 176). Tanpa dipikirkan, tanpa direnungi, hingga mendapat pelajaran dari kisah maka membaca sejarah hanya sia-sia belaka. Di sini kita menemukan benang merahnya kenapa sepertiga al-Qur`an isinya ialah kisah-kisah, ini menggambarkan tentang urgensi kisah. Karana itulah, hanya orang-orang yang mau mengaktifkan dan mendayagunakan akal-pikirannya yang mampu mengupas pelajaran-pelajaran berharga darinya. Orang yang belajar sejarah tanpa mengambil pelajaran darinya bagaikan pohon yang tak berbuah. (Bersambung).

Rakunta & Rakunti

Written By Amoe Hirata on Jumat, 29 Mei 2015 | 23.43

            “Mak sampean ga suker(jijik) tah, masak kucing kecil-kecil ga terawat, kotor, bau dan berak di mana-mana, kok tetep saja diramut(pelihara), dibuang aja kenapa?” Tanya Rakunti kepada Ibunya. “Ndok!itu kerjaan mbakmu yang bisu, kamu tahu kan kebiasaan dia sangat sayang dan peka sama nasib hewan-hewan yang susah, mak sih diam-diam saja, mak juga sudah ngingatin, nanti kalau komentar malah marah-marah dia” Jawab Ibu Rakunti.
            Dari penggalan pembicaraan antara Rakunti, ibunya diatas ada beberapa hal yang penting ditulis. Rakunti pada pembicaraan diatas hanya bisa memaki, menyalahkan dan membicarakan masalah perihal kucing-kucing kecil kotor, bau yang dirawat oleh mbaknya karena terlantar. Rakunti hanya bisa ngomel. Mungkin tidak ada dalam kamus otaknya atau dalam hatinya keinginan, kepekaan untuk mencari pemecahan masalah, yang ada hanya kecaman-dan kecaman. Ia lebih mampu menjadi pembicara masalah daripada pemecah masalah.
            Ibu Rakunti lebih bersikap diam. Dia tidak reaktif, hanya menjelaskan bahwa Ia sudah menasehati mbaknya, tapi kalau ditentang, mbaknya nanti akan marah-marah. Entah ini bagian dari kearifannya karena usianya yang demikian uzur, atau mungkin karena memang sudah ga tau mau bilang apa lagi, yang jelas Ia tidak mau timbul masalah baru. Namun ada satu kesamaan dari sikap Rakunti dan Ibunya, keduanya sama-sama tidak berpikir untuk menyelesaikan masalah, hanya bedanya kalau Rakunti reaktif sedangkan ibunya memilih diam saja.
            Mbak Rakunti, yang bernama Rakunta adalah seorang wanita bisu paruh baya. Meski bisu, banyak sekali kelebihan-kelebihan yang dimiliki. Ia mandiri, pekerja keras, menjadi penyokong ekonomi ibunya, pinter mijat, teguh pendirian, taat menjalankan agama, dan yang paling khas ialah dia sangat sayang dengan binatang. Mungkin dari sejak kecil hingga sekarang sudah berpuluh-puluh binatang yang telah ia rawat. Ia pernah merawat anak kucing terlantar; anak kucing yang ditinggal mati ibunya; ayam yang kakinya patah karena dimakan tikus; anak burung gereja yang masih cendhel-cendhel(baru menetas) yang jatuh dari sarangnya dan lain sebagainya.
            Tak tanggung-tanggung, kucing-kucing yang ia rawat sekarang, seakan-akan diperlakukan sebagai layaknya anak sendiri. Ia tak segan-segan membelikan susu untuk kucing-kucing malang itu. Tiap hari kucing-kucing itu secara rutin diberi makan meskipun dirinya sendiri kadang-kadang makannya ga rutin karena kesibukan pekerjaanya sebagai pembersih makam.  Meski demikian diakui memang kondisi kucing-kucing itu terlihat tidak terawat, tak indah dipandang.
            Permasalahannya sekarang ialah bagaimana kita bisa memberi solusi. Kita akui memang Rakunti benar dalam satu sisi bahwa dengan adanya kucing, rumah ibunya jadi bau dan kotor. Namun kita tidak boleh mengabaikan kebaikan, kasih sayang, belas kasihan Rakunta pada kucing-kucing itu. Rakunta memiliki kepekaan simpatik, dia sangat peduli dengan pri kehewanan. Meski secara teknis memiliki keterbatasan-keterbatasan. Terlebih baik jika Ibu Rakunti memberi nasehat agar dia mau turut serta berpartisipasi agar kucing-kucing itu dibersihkan, biar terlihat terawat dan tidak menjijikkan.
            Dari peristiwa itu dapat kita memetik hikmah: Kita harus mengasah kembali kepedulian kita terhadap sesama mahluk, kita bisa belajar pada Rakunta meski Ia bisu tapi punya kelebihan peduli terhadap nasib kucing-kucing terlantar. Kita boleh kritis dan membicarakan realita seperti Rakunti tapi jangan hanya berhenti pada taraf omongan saja, kita harus bisa memcahkan masalah, turut serta membantunya, bagaimanapun juga seharusnya Ia yang lebih sehat dan diberikan kondisi fisik yang normal mestinya bisa lebih baik, dan bisa melengkapi kekurangan saudarinya, Rakunta.
            Mungkin ada yang menganggap peristiwa ini sangat biasa. Cuman sekedar kucing dan Si Bisu. Tapi pernakah kita memiliki kepeduliaan sebagaimana si bisu Rakunta? Bisakah kita telaten, ulet sebagaimana Rakunta di tengah keterbatasan yang ia miliki? Rakunta tak pernah pilah-pilih dalam menolong, ia tidak mengenal gengsi, selama itu bernilai kebaikan, Ia akan tetap melakukannya. Lebih dari itu, telah disebutkan bahwa Rakunta, meski bisu, Ia mandiri, ulet, pekerja keras, ahli mijat, taat beragama, dan sebagai penyokong ekonomi ibunya. Alangkah baiknya kita banyak mengevaluasi diri kita dan banyak-banyak belajar dari ratusan orang, bahkan ribuan orang yang bernasib sama seperti Rakunta tapi tetap memiliki kearifan dan keluhuran budi.

            Rakunta memang bisu. Namun keterbatasan yang dia miliki tak membuatnya surut untuk selalu melakukan kebaikan. Meski cacat, ia telah lulus menjadi manusia seutuhnya, manusia merdeka.

Tipologi KIAI

Written By Amoe Hirata on Kamis, 28 Mei 2015 | 23.41

Pernah aku membaca salah satu catatan di Siaran Berkala JPS(Jama`ah Pengajian Surabaya) yang diasuh oleh KH. Abdullah Sattar Madjid.Tema pokok yang dibahas pada catatan itu ialah tentang macam-macam model kiai, muballigh dan ustadz.Macam-macam model itu ialah sebagai berikut: Berko, teko dan toko.

Berko sebagai gambaran bagi muballigh yang memiliki karakter menonjol didepan, punya progresifitas tinggi, dan berilmu namun tidak punya keberanian dan kejujuran untuk mengamalkan ilmunya lantaran takut reputasi diri, organisasi, golongan dan ormasnya turun. Layaknya berko (Lampu sepeda yang menonjol di depan) yang tidak menyala. Letaknya menonjol di depan dan berfungsi sebagai penerang namun scara kualitas penarangan tidak optimal karena mati-hidup, mati-hidup.

Toko sebagai gambaran bagi muballigh yang memiliki karakter menyampaikan sesuatu berdasarkan pesanan orang. Layaknya toko yang menjual berisa barang sesuai kebutuhan pembeli. Muballigh model ini tidak mempunyai ketegasan dan pendirian, yang jadi acuan ialah kata orang. Selama orang senang maka ia rela merubah dan menambah ajaran-ajaran agama. Asal pribadi untung dan yang lain senang.

Teko (Moci, ceret) sebagai gambaran bagi muballigh yang menyampaikan sesuatu apa adanya sesuai ilmu yang dimiliki. Tidak dirubah-rubah sedikitpun dan persis seperti yang diketahui. Da`i menurut tipe ini sangat konsisten dan istiqamah dalam menyampaikan ajaran Islam, tidak ditambah dan dikurangi. Laksana teko yang berisi. Ia akan mengeluarkan sesuai dengan isi, kalau isinya kopi keluar kopi, kalau teh keluarnya juga teh. Dan akan menuangkan sesuatu sesuai dengan kemampuan menerima audiens. Dia akan teguh pendirian dan tidak terpengaruh dengan orang lain meski dirayu dengan berbagai bujukan yang menggiurkan. 

Di negara indonesia yang lebih menyebar ialah kiai, muballigh, dan ustadz yang bertipekan berko dan toko. Ini sangat wajar karena yang menguasai media lebih banyak beridiologikan kapitalis pragmatis sehingga, ustadz yang bisa tenar dan eksis ialah ustadz yang mau ikut selera publik/pesanan. Adapun yang jujur degan keilmuan yang dimiliki atau berpegang dengan prinsip agama semakin tadak laku dan digemari meskipun secara kualitas dan kejujuran lebih bisa diandalkan. Jadi ustadz, kiai tipe teko semakin termarjinalkan dan terjauhkan dari kalangan publik.  Sehingga ajaran Islam yang sampai pada publik semakin tak orisinil dan jauh dari kemurnian. Sangat wajar jika Nabi pernah bersabda: "Islam dimulai dalam keadaan asing dan akan kembali asing".


Kebun "BINASIA" Surabaya

Pada hari Sabtu, 16 Mei 2015, Sarikhuluk beserta sahabat-sahabat mudanya pergi ke Kebun Binatang Surabaya. Mereka mau melakukan kegiatan yang  ora usum(tidak digemari orang pada umumnya), yaitu: mengkaji alam. “Hewan-hewan yang kalian lihat, sejatinya adalah cermin dari diri kalian sendiri.” Begitulah Sarikhuluk memulai kajiannya, menelisik hati sahabat-sahabatnya. Ia melanjutkan, “Lihatlah pada karcis yang diikat pada tangan kalian! Itu sebagai tanda awal bahwa kita seperti hewan yang terikat. Di sisi lain, kalau pemahaman kita lebih jero(dalam), maka sejatinya kita hidup dalam ikatan Allah, dalam hudūdullāh(batasan-batasan Allah) menurut istilah al-Qur`an. Lha kalau kita sudah terikat, maka jangan main-main dengan batas-batas yang ditetapkan Allah. Coba kamu tanpa ikatan karcis itu, bisa ga masuk kedalamnya? Pastinya kamu akan diusir petugas. Ibarat hewan-hewan yang terikat, terkurung, jangan khawatir, pada dasarnya bukan mereka yang akan kesusahan mencari makan, tapi pemiliknyalah yang akan menjamin kebutuhannya”.
Markoden pun mulai agak kebingunan: “Cak kenapa aku diajak kesini, padahal ini adalah Cuma kebun binatang biasa. Apanya yang menarik?”. “Lho, tadi kan aku sudah bilang, bahwa kita di sini mau bercermin. Betapa banyak perilaku manusia yang mirip seperti binatang, bahkan kalau menurut Surah al-A`raf: 179, lebih parah dari binatang. Lihat para bedes-bedes(monyet-monyet) itu! Apa bedanya dengan manusia? Mereka adalah makhluk yang paling mirip dengan manusia tingkah-laku dan rupanya. Bahkan secara khusus, bani Israil ada yang dikutuk menjadi monyet gara-gara ngakali perintah Tuhan pada hari Sabtu(Lihat: Qs. Al-Baqarah, 65) . Lha kalau sudah demikian, apa pantas ini disebut, ‘Kebun Binatang Surabaya’? Pantasnya menurutku, ialah: “Kebun Binasia(Singkatan: Binatangmanusia) Surabaya”. Orang-orang yang datang ke sini ga sadar kalau dia sedang mengunjungi diri sendiri. Hehehe” Seringai Sarikhuluk yang semakin membuat bingung Margono dkk.
Di saat melihat sekawanan para monyet, tiba-tiba Markoden didatangi laba-laba. Ia pun bertanya: “Ini tanda apa Cak? Apa kiranya yang perlu dikaji?”. Dengan senyuman khasnya, Sarikuluk menjawab: “Ini sangat mirip dengan kondisimu saat ini Mar. Buka Qur`an Surah Al-Ankabut: 41! Sebuah gambaran jelas mengenai orang yang menjadikan selain Allah sebagai wali, atau pelindung. Lha kamu jelas-jelas sudah taubat, dan rajin mengaji, tapi ternyata masih bercengkrama dengan jimat dan jin. Ya gambaranmu ini persis seperti laba-laba yang membikin rumah. Padahal, selemah-lemahnya rumah adalah rumah laba-laba.”. Setelah melihat beberapa hewan dan mengkaji dunia hewan, Sarikhuluk dan para sahabat akhirnya memutuskan untuk pergi ke menara. Ia pun berkata: “Kalau kalian berada di atas menara, kalian akan bisa melihat dengan bebas orang di bawah kalian. Sudah tidak mengenal arah. Kalau kalian menjadi orang tinggi(terhormat) ibarat pohon, semakin tinggi semakin besar terpaan anginnya. Tapi kalau kalian berbuat dosa, semakin ke atas, maka semakin sakit jatuhnya.”.
“Di atas menara itu, Sarikhuluk mencoba memberikan pencerahan tentang hakikat manusia. Manusia sekarang sudah mulai luntur hakikatnya. Banyak yang berbadan manusia, tapi berwatak hewan. Menjadi pemangsa bagi yang lain, rakus, sombong, semaunya sendiri, menuhankan hawa nafsu, tidak memiliki tujuan hidup, tenggelam dalam hedonisme akut, mendewakan dunia dan lain sebagainya. “Untungnya, hewan adalah makhluk yang tidak memiliki kemungkinan kecuali, taat(baca: Al-Isra, 44). Karena mereka selalu bertasbih pada-Nya. Kalau Allah memberi tamsil manusia dengan mereka, sejatinya mereka bukan mankluk yang hina, karena mereka diciptakan untuk tugas seperti itu. Mereka hanya dijadikan sebagai cermin, terhadap kebuasan manusia. Manusialah sebenarnya yang buruk ketika, akalnya dikalahkan oleh nafsu. Kalau akal –sebagai ciri khas manusia- sudah tanggal, maka yang tersisa adalah manusia dangkal. Lebih dangkal dari hewan” sambung Sarikhuluk. Pada pertemuan itu juga disinggung angka tujuh yang fenomenal. Al-Fatihah, berjumlah tujuh ayat, yang ikut diskusi berjumlah tujuh, yang mendapat naungan di akhirat berjumlah tujuh, bahkan surah al-A`raf pun adalah surah ke tujuh, yang berarti benteng tinggi. Ketujuh orang itu pun sedang berada di atas menara. Sebuah keanehan yang tidak bisa dijelaskan oleh orang-orang sekolahan. Sebuah kebetulan yang berulang-ulang.
Tanpa dinyana, Markoden kembali didatangi laba-laba. “Aduh apes benar nasibku” celetuk Markoden dalam hatinya. Margono pun sempat ternganga ketika semua yang ingin ia sampaikan pada Sarikhuluk ternyata disampaikan terlebih dahulu oleh Sarikhuluk. Ia mendapat pelajaran berharga mengenai sujud dan syukur. Selama ini, manusia sukanya hanya menuntut dan menuntut tapi, ternyata kewajibannya bersyukur pada Tuhan sering kali ditinggal bahkan sampai parah, akut. Lain halnya dengan Iblis, makhluk antagonis yang ‘bertugas’ menyesatkan manusia, ternyata sebenarnya adalah ‘pakar sujud’ pada Allah. Ia tidak akan, bangkit dari sujud sebelum permintaannya dikabulkan. “Gon, selama ini kamu kuat sujud berapa lama?” Tanya Sarikhuluk pada Margono. “Ya, paling tidak sampai dua menit” jawabnya. “Lha gimana kamu akan dikabulkan permintaannya, kalau kamu sendiri sama Allah saja tidak krasan. Bukankah nabo pernah bilang, ‘tolonglah aku dengan memperbanyak sujud’. Jika manusia pada umumnya suka menuntut hak asasi manusia, pernahkah kamu menuntut hak asasi Tuhan pada dirimu? Kewajiban saja banyak ditinggal, eh malah menuntut Tuhan” pungkas Sarikhuluk.

Dari pertemuan ini, paling tidak ada beberapa catatan penting yang sempat ditulis Markoden: Pertama,  pentingnya membaca ayat-ayat kauniah. Kedua, hewan bisa menjadi cermin bagi watak-watak dasar manusia. Ketiga, apa yang terjadi pada manusia, pada dasarnya terkait dengan kondisi rill yang sedang dialami. Keempat, kalau ayat al-Qur`an adalah sebagai petunjuk (kompas kehidupan di dunia menuju akhirat), maka ayat-ayat Allah yang terhampar di alam adalah bagian penting yang harus dikaji agar pemahaman al-Qur`an semakin mantap. Kelima, mengkaji alam memang sangat tidak gampang bahkan ora usum(tidak wajar bagi kebanyakan orang), orang yang tidak benar-benar menggunakan akalnya, tidak akan mungkin mampu menguak pelajaran darinya. Bayangkan! Penemuan-penuman ilmuan modern yang mencengangkan, ternyata berasal dari kebiasan membaca, meneliti alam. Di al-Qur`an sudah dijelaskan, tapi umat Islam sendiri yang malas. Maka kajilah alam, maka pemahamanmu terhadap al-Qur`an akan semakin dalam. Itulah beberap catatan penting yang sempat ditulis Markoden. Walaupun dia tidak paham sepenuhnya, dalam hati kecilnya, ia ingin melakukan kajian alam lagi agar ia tidak menjadi manusia yang berwatak binatang.

"7M" Kiat Sukses Ala Al-Fatihah

Ada "7M" kunci sukses yang diilhami dari surat Al-Fatihah, yaitu:

1. Menata niat dan menyadari kekurangan diri. Karena itulah harus memulai sesuatu dengan nama Allah ta`ala. Niat yang jelas dan terarah akan mempengaruhi kinerja. Menyadari kekurangan membuat orang fokus untuk memperbaiki diri dan tidak sibuk terhadap kekurangan orang lain.
2. Mensyukuri potensi diri. Setiap orang diberi potensi oleh Tuhan. Sebaik-baik orang yang diberi potensi ialah yang pandai mensyukurinya. Salah satu bentuk konkrit mensyukuri potensi ialah dengan selalu mengembangkan potensi yang dimiliki.
3. Memiliki cinta Kasih. Tanpa bekal cinta kasih, orang akan susah untuk mendapat kesuksesan. Ada dua cinta kasih yang perlu ada dan harus harmoni: Pertama : Cinta Mencalam(Cinta Vertikal) yang menggambarkan keintensivan hubungan individu dengan Tuhan. Kedua: Cinta Meluas(Cinta Horisontal) yang menggambarkan hubungan individu dengan makhluk Tuhan yang lainnya.
4. Menguasai Visi. Orang sukses selalu mempunyai Visi. Visinya melampaui zamannya. Menguasai Visi adalah syarat kesuksesan. Visi menjadi syarat kesuksesan jika tidak dijadikan sekadar rencana yang teoritis, tapi diupayakan dan diaplikasikan.
5. Menfokuskan diri pada tujuan. Jalan yang dihadapi orang sukses tidaklah mudah. Dengan memfokuskan diri pada tujuan, perjalanannya menuju kesuksesan akan lebih terarah dan menghemat energi.
6. Membiasakan doa dan istiqomah.  Sejauh yang manusia bisa ialah usaha, adapun faktor penentu tetap kembali pada Tuhan. Maka orang yang ingin sukses harus menyertakan doa. Doa dalam pengertian yang lebih intens berupa berusaha menyapa Allah setiap saat sehingga langkah dan gerik berada pada kehendak-Nya. Kemudian sebagai syarat lain yang tak kalah pentingnya ialah istiqamah, orang yang tak mampu istiqamah maka ia akan dijauhi kesuksesan.
7. Mengikuti jejak-jejak orang sukses dan menjauhi jejak-jejak orang gagal. Di dunia ini terlalu banyak contoh yang dapat diambil dari orang-orang sukses dan gagal. Menapaktilasi jejak orang-orang sukses merupakan kunci meraih kesuksesan.


Semoga dengan inspirasi ini kita tergugah untuk meraih kesuksesan DUNIA-AKHIRAT.

Timbang Nilai

Written By Amoe Hirata on Senin, 25 Mei 2015 | 23.55

Tidak seperti biasanya, cuaca pagi ini dipenuhi kabut tebal. Hawa begitu dingin. Burung-burung camar yang biasa kompak berkicau, suaranya terdengar pelan dan sumbang seakan sedang merintih kedinginan. Embun pagi terlihat menyelimuti pepohonan dan taman-taman sekitar. Halimun yang begitu tebal menghalangi sorot indah mentari pagi yang biasa dinikmati. Suasana begitu hening. Hanya semilir angin dan gemericik air kran otomatis yang dipakai menyiram taman  menemani keheningan. Panorama indah yang biasa dilihat pun seakan tersipu malu menampakkan aura wajahnya.

Demikianlah suasana yang aku alami pagi ini. Jujur aku kurang suka dengan cuaca demikian. Namun, rasa ketidaksukaanku itu selalu lebur oleh kesadaran bahwa pada dasarnya ia sedang berdzikir menaati titah Tuhannya. Makanya, dalam suasana apapun aku selalu berusaha untuk bisa mensiasati diri untuk selalu bergembira dan tidak mengeluh. Bahkan, diam-diam suasana yang beranekaragam itu selalu menyajikan gagasan-gagasan brilian yang biasanya aku abadikan dalam bentuk puisi.

Dengan riang dan gembira aku segera memasuki kamar asramahku. Ketika aku memasukinya, rupanya di depan mataku telah tersaji sebuah fenomena yang tidak kalah dengan suasana pagi ini. Kamarku terlihat acak-acakan. Terbeber putung rokok dan asbak yang berserakan. Gelas-gelas bekas bikin kopi terjejer kotor. Lantai begitu kotor, bekas-bekas  bungkusan makanan berceceran di mana-mana. Terlihat dua sosok yang lagi asyik tidur mendengkur. Tergeletak dengan sungging senyuman yang merekah seolah sedang mimpi didatangi bidadari surga.

Sebenarnya kalau aku mau menuruti kata hati, aku akan marah-marah dan memaki-maki ke dua temanku ini. Tapi, lagi-lagi aku tak bisa meluapkannya karena dalam jiwaku ada sebuah timbangan nilai yang selalu aku pegang setiap kali aku melonjak marah. Timbangan itu ialah tentang kadar keburukan dan kebaikan seseorang. Bila kebaikan seseorang itu lebih berat maka aku berusaha memaklumi dan toleran. Bila keburukan yang lebih banyak maka dengan cara yang sangat halus dan bijak aku akan menasehati orang itu.

Pelajaran Timbangan Nilai ini aku dapat dari seorang tua yang tidak sengaja aku temui di trotoar jalan raya. Waktu itu ia sedang duduk termangu seorang diri. Aku tergerak untuk mendekati dan bertanya padanya. "Kek, maaf mungkin ada yang bisa saya bantu?" Kakek itu hanya tersenyum riang menampakkan persahabatan. Aku juga membalas senyumanya sembari memohon: “ Kek, boleh saya duduk bersama anda?”. Kakek itu lagi-lagi tidak bersuara dia hanya menganggukkan kepala dan menjulurkan tangan sebagai tanda mempersilahkan. 

Ketika aku duduk, dengan segera kakek itu memberiku buku tebal yang berisi cerita-cerita tentang kebaikan dan keburukan teman-temannya. Dalam hati aku bertanya-tanya:” Untuk apa kakek ini menulis kebaikan dan keburukan temanya dengan begitu rinci?”. Langsung saja aku tanyakan itu kepada kakek tua itu. Nah, baru kali itu dia mau menjawab pertanyanku. Ia menjawab:” Data-data dalam buku itu sengaja aku tulis untuk membantuku dalam bergaul dengan teman-temanku, buku itu ialah Timbangan Nilai untuk meluruskan sikapku agar selalu bijaksana. Namun amat disayangkan nak! Buku itu baru tertulis ketika usiaku sudah mulai lanjut. Kesadaran itu timbul ketika aku sudah menua. Ketika aku jatuh miskin. Ketika aku sedang bangkrut. Ketika teman-temanku menjauhiku. Ini karena aku pemarah dan tidak gampang memaafkan teman. Sebenarnya buku ini dari tadi sudah mau aku buang.Tetapi melihat kamu datang harapan-harapan untuk berubah lebih baik itu ada meskipun hanya sebentar. Paling tidak aku bisa memberikan nasehat berharga kepadamu agar tidak jatuh sepertiku. Itulah barang kali harapan kebaikan yang tersisa.

Akan ku nasehatkan padamu nak! Setiap kali kamu melihat kesalahan yang dilakukan oleh teman-temanmu jangan sekali-kali dijadikan alasan untuk membenci dan tidak memaafkanya. Kamu harus memiliki 'Timbangan Nilai' agar kamu dapat bersikap bijak. Jika tidak maka sikapmu malah akan menghancurkan hubungan pertemanan yang sudah terjalin”. Setelah ngomong demikian kakek itu tiba-tiba pamit dan berjalan membawa tas rangsel dengan wajah penuh senyum dan penuh harapan. Akhir perjuampaan ia berkata:”Semoga nasehatku ini bermanfaat bagimu nak, mudah-mudahan kamu sukses”.

Mengingat hal itu, aku dapat meredam amarahku. Dengan tenang aku menaruh tas di atas meja belajar kemudian segera merapikan kamar dan membersihkannya. Aku sadar bahwa kedua temanku itu kebaikannya lebih banyak dibanding keburukannya. Makanya aku tidak boleh gegabah dan memarah-marahinya, mungkin nanti kalau ada waktu yang tepat aku akan memberikan nasehat yang baik kepadanya.

Dalam waktu yang bersamaan aku juga ingat nasehat ibuku :“Nak, dimanapun engkau berada selalu berbuat baiklah pada siapa dan apa saja meski itu pada orang yang kau benci. Karena, kebaikan yang kau tebar dengan ketulusan pasti akan membuahkan kebaikan. Dengan demikian engkau turut membantu menciptakan kedamaian yang selama ini terenggut oleh ambisi manusia. Bila kebaikan yang  kau lakukan tidak membuahkan hasil maka bersabarlah dan segera memperbaikinya, jangan-jangan engkau tidak ikhlas”.

Nasehat ibu dan kakek tua itu sangat ampuh untuk mendinginkan amarahku yang sempat bergejolak. Selepas bersih-bersih, aku pergi ke masjid untuk menunaikan shalat Dhuha. Ba`da shalat aku menulis puisi pada secarik kertas yang sengaja aku bawa sejak aku berangkat tadi. Puisi itu berbunyi demikian:

Panorama pagi terlihat sayu tak bersahabat…..
Memancing dengus jiwa yang bergejolak….
Meluap amarah yang menyelinap….
Pada relung hati yang gulana merasa suasana…

Namun, jiwa ini tersadar bahwa….
Mereka hanya menjalan titah Tuhanya…
Berdzikir dengan khusyuk mematuhi-Nya….
Mengapa aku mesti marah….


Fenomena kamar pagi membuat diri tersakiti….
Terasa pedih hingga serasa darah meninggi..
Dalam hening ku tersadar….
Akan petuah kakek misterius yang pernah ku jumpa…. 

Timbangan Nilai katanya….
Sebagai bekal baik bergaul….
Mengingat itu….
Mengapa aku mesti marah…..

Ibuku juga selalu mewejangkan….
Agar berbuat baik pada apa dan siapa…
Dengan penuh ikhlas tanpa pamrih….
Mengapa aku mesti marah…. 

Setelah menulis puisi itu aku membaca al-Qur`an dan siap-siap pergi kuliah. Aku hanya berharap pada Allah semoga Dia menganugrahkan keberkahan kepada setiap kebaikan yang ku lakukan.

“tuhan” Telah Pergi

            Sudah seminggu ini-atau hampir dua mingguan- Kerajaan Jasad Manusia(yang kemudian disingkat menjadi KJM) sedang ditimpa isu yang tidak menyenangkan. Para pejabat istana sampai mengadakan rapat eksklusif. Bahkan raja KJM(Paduka Raden Sultan Hati Nan Tentram) sampai tidak bisa tidur mendengar isu yang tak sedap itu.
Mungkin para pembaca bertanya-tanya, kira-kira isu apa sih yang membuat Raja Hati tak bisa tidur? Bahkan rakyat jelatapun turut serta meramaikan desas-desus itu, hingga terjadi gonjang-ganjing dalam kerajaan KJM (yang biasanya terdengar aman sentausa). Terakhir baru diketahui bahwa -setelah diadakan investigasi dan penelusuran mendalam- isu tersebut ialah statemen yang menyatakan “tuhan Telah Pergi” dan pernyataan  ini berasal dari Kadipaten Kaki Kanan Manusia(yang kemudian disingkat menjadi KKM).
            Setelah diadakan rapat dua jam penuh, akhirnya dikeluarkan keputusan penting yang disampaikan oleh Prabu Mulut sebagai Jubir(juru bicara) Raja Hati, beliau mengataka: “ Menimbang dan memperhatikan kondisi kerajaan yang lagi gonjang-ganjing, atas nama Raja dan pejabat kerajaan kami memutuskan untuk mengklarifikasi lebih lanjut kebenaran berita itu, kalau ternyata isu itu benar dari kadipaten KKM, dan diucapkan secara sadar dan bermakana dzahiriyah(tekstual) yang berarti menciderai urusan teologi, maka mereka akan dikenai sangsi berat berupa dideportasi dari kerajaan KJM”.
            Diadakanlah penyelidikan super intens yang dikomandoi oleh Prabu TKM(tangan kanan manusia). Setelah tim meninjau dan menyelidiki T.K.P(tempat kejadian peristiwa) ternyata tidak didapati pernyataan demikian dari Prabu KKM, beliau sendiri bahkan baru tahu kalau ada isu tersebut.
Mendengar pernyataan tersebut, tim investigasi merasa lega ternyata isu yang selama ini berkembang sangatlah tidak benar. Akhirnya, komandan TKM memutuskan untuk kembali ke istana KJM. Ketika sudah berpamitan, tiba-tiba datang prajurit yang bernama JKK(Jari Kelingking Kanan) mengabarkan kebenaran isu tersebut bahwa itu bukan sekedar isu, yang menyatakannya ialah sebagian penduduk KKM.

            Disidanglah sebagian penduduk yang menyetakan statemen tersebut. Kebanyakan tersangka berasal dari perkampungan Rujata Kalimana. Kepala desa Rujata Kalimana di sela-sela persidangan menyatakan, “ maksud kami menyatakan ‘tuhan telah pergi’ bukanya untuk mengusik masalah teologi yang sudah mapan. Kami bukannya tak percaya Tuhan dan mengejek Tuhan, karena Tuhan yang kami maksud bukan diawali dengan “T”besar tapi “t” kecil. Dan ungkapan itu juga tak separah statemen Nietze yang menyatakan”Tuhan Telah Mati”. Statemen tersebut dinyatakan sebagai luapan kegembiraan atas kepergian Prabu KKM setiap kali beliau pergi dari kadipaten KKM, mengapa kami juluki dia sebagai tuhan(dengan “t” kecil) karena selama dia memimpin warga Rujata Kalimana bukan malah membuat warga segan tapi ketakutan. Kadipaten dipimpin dengan aturan yang sedemikian ketat hingga membuat kami tak bisa enjoy sedikitpun malah selalu merasa takut, makanya kami merasa seolah-olah dia itu seperti tuhan aja, padahal Tuhan tidak sesangar dia, kami lebih merasa menjadi robot-robot Prabu KKM daripada menjadi manusia. Karena itulah, karena kami tak memiliki kekuatan, kami hanya bisa melakukan kritik yang dikemas dengan budaya, yang kata orang Kulon dikenal dengan istilah”Culture Critic”. Setiap statemen ini dinyatakan warga merasa gembira sebagai tanda kepergian sang Prabu. Memang selama ini Prabu tak tahu menahu tentang istilah itu, yang tahu hanya warga Rujata Kalimana saja, karena itu kami juga sangat heran kenapa statemen ini bisa sampai ke istana KJM, kami atas nama warga KKM minta maaf dan sudah siap menerima sanksi kalau memang kebijakan hakim menghendaki demikian. Terakhir kami mengusulkan supaya kadipaten kami dipimpin dengan cara yang sebijaksana mungkin supaya kami bisa menjalaninya dengan legowo”.      Mendengar pernyataan Kepala Desa Rujata Kalimana, Bapak Hakim merasa bingung dan belum bisa memberi keputusan. Setelah berembuk dengan hakim yang lain maka sidang akan ditunda pekan depan tempatnya di istana KJM dan akan dipimpin langsung oleh Raja Hati.

Garuda Panca 'SELET'

Written By Amoe Hirata on Jumat, 22 Mei 2015 | 04.06


          SENJA HARI, Sarikhuluk berdiam diri di kaki bukit. Ia perhatikan dengan saksama, setiap gejala yang ada di sekitarnya. Dalam pada itu, ia teringat nyanyian masa kecil yang merupakan plesetan dari lagu: Garuda Pancasila. Redaksi lagunya, seperti berikut:

Garuda Panca Selet
Garuda panca selet
Duwek ku ilang sak rengget
Ketemu arek ngaret
Tak kejar sampek keceret

          Batin Sarikhuluk penasaran, ‘Siapa yang pertama kali membuat lagu plesetan ini? Apakah ada relevansinya dengan semangat zaman dan kondisi yang sedang terjadi di lingkungan masyarakat, bahkan bangsanya sendiri?’. Sejenak, ia tepekur. Berusaha menggali dan mengikat makna dengan kondisi nyata, yang ia rasa sangat beraroma: satire.
            ‘Plesetan lagu “Garuda Pancasila” tersebut, dipikir-pikir memang sangat pas dengan kondisi saat ini. Ada beberapa analisis Sarikhuluk yang bisa dijelaskan secara riil dan logis. Pertama, “Garuda panca selet”(Garuda yang memiliki lima dubur. Red: Java). Ini adalah sebuah kondisi di mana hakikat garuda sudah direduksi sedemikian rupa. Bayangkan, dalam cakrawala keilmuan selama ini –baik mikro maupun makro kosmos- mana ada garuda berdubur lima. Ini sebagai tanda nyata ketika orang sudah tidak mengenal hakikat garuda. Dubur empat, juga menggambarkan garuda telah kehilangan jati dirinya. Semestinya dia mempunyai ciri khas terbang, tetapi dia hanya berdiam makan. Kalau duburnya empat(lantas perutnya berapa?), berarti urusan perut sangat intensif sehingga membutuhkan alat pembuangan (selet) yang banyak. Ini persis seperti yang terjadi sekarang ini. Idealisme garuda sudah menjadi sekadar teori. Meskipun sampai berbusa-busa ‘seakan memperjuangkan’ nasib rakyat(sebagaimana prinsip panca sila), eh ternyata hanya untuk perut.  Kalau dubur yang banyak, maka kualitasnya sekarang sudah seperti –maaf sebelumnya-: TAI.
            Kedua, “duwekku ilang sak rengget”(duitku hilang satu ringgit. Red: Java). Bait ini semakin menguatkan asumsi pertama. Bahwa masalah yang terjadi diakibatkan oleh kepentingan: duit(uang), yang kalau dirunut nanti juga berujung ke perut. Tidak ada kesadaran nilai hakiki. Yang ada hanya nilai egoisme, atau kepentingan pribadi. Duit satu ringgit sebenarnya bernilai sedikit. Dan sebenarnya, uangnya masih banyak. Namun karena “ke-AKU-an” dan “kekikiran” yang dinomorsatukan, maka nilai seringgit setara dengan satu bukit. Coba kita lihat orang-orang masa kini. Mereka lebih memenangkan ego dibandingkan dengan rasio dan roso ruh spiritual. Egoisme melanda, kikir meraja lela. Ketika melihat orang yang tak punya, maka selalu dilihat dengan ‘kaca mata kecurigaan’. Padahal, sifat anāniyah(egois), loba dan kikir ini merupakan ‘racun sosial’. Jika dalam suatu komunitas, sifat-sifat tersbut berkembang pesat, maka komunikasi tidak akan sehat. Hidup resah. Energi jiwa habis karena mempertahankan kepentingan pribadi. Masyarakat yang seharusnya memiliki watak “madaniun bi al-ob`i”(berjiwa sosial), dengan adanya sifat negatif tersebut, maka hubungan sosial akan keruh. Tidak akan bisa lagi diharapkan pergaulan yang sungguh-sungguh.

Ketiga, “ketemu arek ngaret”(ditemukan oleh orang yang sedang menyabit rumput). Duit (uang) yang bergitu disayang, meski bernilai kecil (lantaran egois dan kikir), kemudian ditemukan oleh orang yang sedang menyabit rumput. Yang namanya orang menemukan barang berharga-meski kecil-, biasanya pasti diambil. Kebetulan waktu itu, orang yang nyabit rumput secara ekonomi sangat memprihatinkan, jadi wajar kalau menemukan uang, langsung diambil. Tapi yang menjadi pertanyaan besar ialah: “Apakah dia mengambil untuk dimiliki sendiri atau mau dikembalikan kepada yang berhak?”. Namun sungguh malang, ‘orang kecil’(seperti tukang sabit sumput. Bisa juga orang-orang yang termarginalkan[musta`afīn] dalam sikond saat ini) memang selalu dicurigai. Mereka selalu dijadikan ‘obyek penderita’, tidak pernah ‘subyek pelaku’. Mereka selalu disalahkan dan dikecilkan.
Perhatikan lanjutan lagu! Keempat, “tak kejar sampek keceret”(aku kejar (saking takutnya) sampai keluar tai. Sungguh ironis. Belum sempat diklarifikasi, tabayyun, check and recheck, langsung di-gebyah uyah, digeneralisir. Sukanya main tuduh, Main vonis. Main kejar. Sekarang lihat di negeri tercinta ini. Orang-orang yang diamanahi rakyat, kadang-kadang (bahkan sering) main sak karep udelnya(semaunya) sendiri. Padahal hanya sebatas tuduhan. Itu pun, uang yang ditemukan tidak begitu besar, tapi karena sudah egois, tidak memiliki rasa kepercayaan pada orang lain, akhirnya ia main kejar, sampai merugikan orang yang tak bersalah. Padahal kalau mau klarifikasi, persoalan akan selesai. Begitulah isyarat zaman, yang digambarkan lagu plesetan: Garuda Panca Selet. Sebuah lagu bernada satire, yang kritiknya masih terasa sampai saat ini. Lagu ini tercipta di saat Indonesia menggunakan uang ringgit. Lalu bagaimana sekarang?Ternyata yang terjadi lebih parah dari itu. Wallahu a`lam bi al-shawab.

Setelah bermenung, bersamaan dengan tenggelamnya mata hari di ufuk barat, Sarikhuluk beranjak pergi menuju rumah, untuk persiapan shalat maghrib. Dalam hati kecilnya, ia berujar: “Semoga analisisku SALAH”.

Mengeja Cinta Rasulullah

Written By Amoe Hirata on Kamis, 21 Mei 2015 | 22.56

            Dalam relung hati manusia ada satu kekuatan dahsyat yang mampu mengubah sesuatu yang terlihat mustahil menjadi riil, yaitu: ‘cinta’. Walau hanya berupa kata yang terdiri dari lima huruf, namun energi yang dihasilkannya bisa membuat bara api angkara redup. Ia ditakdirkan tak berwujud benda, namun bisa dirasa. Ibarat api, maka cinta adalah panasnya. Ibarat angin, maka cinta adalah derunya. Ibarat sungai, cinta adalah arusnya. Ibarat samudera, cinta adalah ombaknya. Ia tak perlu definisi, karena tiada definisi yang mampu menggambarkannya, kecuali fungsi kerja dahsyatnya.
            Di dunia ina ada banyak contoh menarik untuk dijadikan suritauladan dalam masalah cinta. Di antara yang paling menarik dari yang menarik –tentu saja- Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wasallam. Cintanya menembus ruang dan waktu. Bagai samudra tanpa tepi. Ia ditakdirkan ada sebagai sumber mata air cinta, yang perlu direguk oleh setiap manusia air cintanya supaya lahir kedamaian dan ketentraman di muka bumi. Cintanya sungguh universal, tak tersekat  teritorial. Ia di garda depan sebagai Sang pecinta yang mampu mentransfer cintanya, bukan hanya pada Tuhan, tapi juga untuk seantoro alam.
Tanpa berniat membatasi, sebagai contoh kecil, simak baik-baik riwayat berikut ini: Abu Daud meriwayatkan dari Abdullah dan dari bapaknya, ia berkata: Kami bersama Rasulullah dalam sebuah perjalanan, berangkat untuk suatu keperluan, kemudian kami melihat seekor ayam bersama dua ekor anaknya, lalu kami mengambil kedua anaknya itu. Kemudian datanglah ayam betina itu (induknya) sambil mengepak-ngepakkan sayapnya. Lalu datanglah Nabi dan berkata, "Siapa yang menyakiti ayam ini dengan anaknya? Kembalikan anak-anaknya kepadanya. " Kemudian kami melihat sekelompok semut yang sangat banyak, maka kami membakarnya. Rasulullah Shallallahu `alaihi wasallam pun bertanya, "Siapa yang membakar ini?" Kami menjawab, "Kami." Beliau kemudian bersabda, "Sesungguhnya tidak boleh menyiksa dengan api kecuali Tuhan (pencipta) api."
Sungguh luar biasa. Akankah kata-kata, ‘Siapa yang menyakiti ayam ini dengan anaknya? Kembalikan anak-anaknya kepadanya.’ dan ‘Sesungguhnya tidak boleh menyiksa dengan api kecuali Tuhan (pencipta) api.’ Bisa lahir dari manusia yang hatinya kering dari mata air cinta? Rasa cinta yang mengalir deras dalam muara hari Rasullah, membuatnya tak pernah membedakan –terkait cinta- antara manusia dan hewan. Kalau manusia saja merasa sedih ketika dipisahkan dari anaknya, maka hewan pun juga mempunyai perasaan sedih, karena itu, cinta melarang segala tindakan yang bertentangan dengan cinta. Demikian juga halnya membakar semut. Semut seolah hal remeh dan tak berarti di mata manusia, namun dengan ‘kaca mata cinta’ Rasulullah mampu membahasakan dengan sangat apik bahwa, yang berhak membakarnya adalah Tuhan Pencipta api.
Jasad beliau memang sudah mati, tapi cintanya tak pernah mati. Ia menjadi semacam deru, yang memacu energi positif untuk kemaslahatan manusia. Selama cinta tidak tercerabut dari relung hati manusia, maka keseimbangan dan keasrian peradaban dunia akan tetap terjaga. Bukankah salah satu nama Allah adalah al-Wadūd(Maha Mencintai), lalu adakah bahasa terbaik untuk menyapanya, selain dengan cinta yang tulus dari dalam hati, yang diiringi dengan pengertian dan pengorbanan? Dari Rasulullah kita menemukan contoh terbaik yang memperlakukan cinta sebagaimana porsi dan posisinya, sehingga menjadi pelepas dahaga bagi makhluk yang haus akan cinta. Wallahu a`lam bi al-shawab. Darunnajah, Jaksel, 01 Maret 2015/2254.

Budaya Ngrumpi

Written By Amoe Hirata on Rabu, 20 Mei 2015 | 06.14

Me atau nge-rumpi, sebuah kata yang sudah familiar dan dinikmati oleh banyak orang, baik miskin-kaya, tua-muda, kecil-besar, pria-wanita dan lain sebagainya. Medianya sangat mudah tidak terlalu mengeluarkan banyak tenaga dan uang. Temanya pun tidak kaku, sangat fleksibel disesuaikan dengan kondisi isu yang lagi hangat.

Kebanyakan orang menggandrunginya. Ini mungkin karena disamping mudah, ia juga tidak terikat dengan aturan baku yang membuat tidak leluasa dan kaku. Hanya dengan bermodalkan mulut dan kuping, orang sudah bisa ikut serta dalam kegiatan ini.

Pada mulanya, ngrumpi lahir dari satu realitas di mana manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan. Dari realitas ini, pada gilirannya memunculkan adanya interaksi sosial. Sudah maklum bahwa dalam berinteraksi membutuhkan seperangkat media. Salah satu media interaksi yang sangat umum dan mudah ialah interaksi verbal(lisan). Orang bisa di mana saja melakukannya. Di sekolah, pasar, mall, tempat kerja dan lain sebagainya. Dikemudian hari secara sadar atau tidak lambat laun media verbal ini menjadi semacam tradisi bahkan budaya sosial yang disebut dengan "ngrumpi".

Tidak diketahui secara pasti, sejak kapan budaya ini muncul. Yang jelas, seiring dengan perkembang-biakan manusia yang dibekali dengan media lisan secara sengaja atau tidak sudah berpotensi melahirkan budaya ngrumpi.

Yang menarik untuk dicermati budaya ini ada yang menjadikanya sebagai komoditi sosial, sampai ada yang mamasukkannya pada program acara televisi, seperti "ngrumpi di Mall", Ini mengindikasikan betapa ngrumpi sangat menarik hingga dapat menghasilkan komodoti ekonomi.

Ngrumpi biasanya dikonotasikan pada omongan yang tidak begitu serius dan cendrung negatif. Sebagai budaya, ngrumpi merupakan refleksi dari keinginan seseorang yang ingin dianggap pada komunitas sosial dan biasanya untuk memuaskan kebutuhan psikologis yang disalurkan melaluinya. Ada juga yang menginginkan sebatas pengetahuan baik negatif ataupun positif untuk membantu melancarkan rencananya.

Masalahnya sekarang, apa? kapan? siapa? kenapa? Untuk apa? bagaimana? manfaat ngrumpi dalam interaksi sosial? hal ini masih perlu didiskusikan.

Ada Batu di Depan Udang

Written By Amoe Hirata on Selasa, 19 Mei 2015 | 09.05


          Dalam bahasa Indonesia, ada pribahasa yang berbunyi: “Ada udang di balik batu”. Artinya: Ada suatu maksud yang tersembunyi(baca: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Jakarta,  Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal. 1769). Entah berasal dari daerah mana pribahasa ini. Yang jelas, muatan kecurigaan, keraguan, ketidakpercayaan begitu kuat melatarinya. Apa yang dikatakan orang mengenai kebaikan; yang diperbuat terkait kabajikan, selalu dicurigai. Intinya jelas. Kata dan perbuatan hanya bentuk wadak yang mempunyai maksud tersembunyi. Bila pun di balik kata selalu ada makna; di balik perbuatan selalu terkandung maksud, namun pribahasa ini selalu dikonotasikan negatif.
            Sarikhuluk pernah mendiskusikan pribahasa ini dengan teman-teman diskusinya. Hasil penelitian sementara, pribahasa ini sangat bertalian erat dengan nuansa politik. Kalau berbicara masalah politik, berarti urusan orang-orang elit yang punya atau bergelut dalam ranah kekuasaan. Dalam hal ini konteksnya adalah perpolitikan dalam dunia kerajaan(kalau yang dimaksud adalah masa pra-kemerdekaan) atau negara NKRI(kalau yang dimaksud adalah masa pasca-kemerdekaan). Dalam dunia politik, sikap saling mencurigai satu sama lain sangat biasa. Begitu dinamisnya dunia politik, sehingga kawan bisa jadi lawan, dan lawan bisa jadi kawan dalam waktu yang singkat.
            Iklim politik yang sedemikian abu-abu, membuat orang dihinggapi rasa su`udzan (red: buruk sangka)akut. Inilah saat kebaikan hanya dianggap pencitraan; saat kebajikan disebut sebagai murni kepentingan. Akibatnya jelas. Kemurnian dan ketulusan semakin terkikis, sikap saling percaya hilang di antara masyarakat, dan secara psikis orang akan merasa tidak tenang karena selalu curiga dengan perilaku dan perkataan orang. Pribahasa tersebut tidak akan muncul pada rakyat jelata(konteksnya ialah pada masa lalu. Bukan masa sekarang yang agak sulit dibedakan antara rakyat jelata dengan kaum elit, akibat adanya globalisasi dan perkembangan dahsyat informasi) yang hidupnya apa adanya. Sikap saling membantu dan percaya begitu terbangun kuat di antara mereka.
            Parahnya, zaman sekarang pribahasa tersebut semakin menemukan eksistensinya. Di tengah kontelasi bangsa yang sedang carut-marut dan silang-sengkarut seperti sekarang ini, sangat susah mencari orang yang benar-benar tulus.  Berjuang untuk rakyat, dianggap, ‘Ber-uang mumpung sempat’. Membela negara, dikira, ‘Membuat diri jadi kaya’. Ketidakpercayaan semakin merebak. Di tambah posisi media yang sedemikian serentak, memperkeruh suasana yang tidak-tidak. Menurut Sarikhuluk, sebenarnya secara subtansial, pribahasa tersebut tidak masalah bila diposisikan pada tempatnya dan digunakan secara proporsional. Masalahnya ialah ketika pribahasa tersebut menjadi semacam ‘sikap publik’ yang berkonsekuensi pada penafian ketulusan. Kalau orang baik selalu dicurigai, maka habislah negeri ini.
            Ia mengingatkan teman-teman diskusinya: “Ingat sebelum kata ‘udang’, ada kata ‘batu’. Kalau orang pada umumnya suka mencari udang di balik batu, maka tugas kita ialah menjelaskan, bahkan meyakinkan bahwa batu adalah batu. Tidak selalu udang di balik batu. Artinya apa? Kebaikan adalah kebaikan, baik itu perkataan maupun perbuatan. Kebanyakan orang sudah apatis dengan yang namanya kebaikan karena sudah didasari dengan kecurigaan. Kalau pribahasa tersebut digunakan untuk orang yang memang layak dicurigai (karena kejahatan dan keburukannya), maka tidak menjadi masalah. Masalahnya ketika pribahasa ini menjadi kebudayaan. Nilai-nilai agama, kearifan lokal pun akan tidak begitu diperhatikan, karena selalu dicari udangnya, sedang batu dianggap tidak penting. Jadi, tugas kita adalah membuat keseimbangan bahwa: ‘Ada batu di depan udang’. Artinya: ketulusan dan keikhlasan masih ada dan bisa dibudayakan.” Pungkasnya.
 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan