‘Media Dajjal’

Written By Amoe Hirata on Sabtu, 31 Januari 2015 | 23.09

                  Malam selepas shalat Tarawih, Sarikhuluk beserta teman jagongannya menyempatkan tadarus Qur`an, tapi dengan caranya sendiri. Sarikhuluk menjelaskan: namanya tadaarus itu ya melibatkan orang lebih dari satu, karena kalau melihat timbangan ilmu Sharaf, menunjukkan musyaarakah(bersekutu antara dua pihak). Dalam sudut pandang ini kata Sarikhuluk menilai kebanyakan tadarus yang ada di desanya terhitung benar. Tapi di sisi lain yang membuat Sarikhuluk prihatin ialah penyempitan makna tadaarus. Kebanyakan masyarakat hanya memaknainya sekadar membaca Al-Qur`an dan saling menyimak. Padahal tadaarus adalah kegiatan untuk saling mencari dars(pelajaran). Bagaimana mungkin manusia bisa mengambil pelajaran, kalau hanya sekadar dibaca. Mau tak mau namanya tadaarus biar tidak menyimpang jauh dari artinya harus didekati dengan olah pikir dan akal, supaya kita bisa mengambil pelajaran dari Al-Qur`an. Sarikhuluk bertanya pada teman-temennya: “mungkinkah kita bisa mengambil pelajaran dari Al-Qur`an kalau kita hanya membacanya saja, tanpa melibatkan akal dan pikiran kita?”. Paijo menjawab: “tapi kan tetap ada manfaatnya secara spritual dan psikologis?”. “Iya memang, tapi apa kita bisa paham dan mengambil pelajaran jika cuman membacanya, pelajaran ini ranahnya akal dan pikir, tanpa itu maka mustahil akan mengambil pelajaran”(tambah Sarikhuluk). “Jadi maksudmu kita sekarang tadarus Al-Quran dengan model baru ala kamu?”(tanya Paimen). “Ya tepat sekali. Aku pikir kalau membaca perhuruf Al-Qur`an pahalanya begitu besar, apalagi mengambil pelajaran dan mengamalkannya”(lanjut Sarikhuluk).
            “Oke saiki(sekarang) tak serahkan pada kalian saja, enaknya bahas apa”(tawaran Sarikhuluk pada teman-temannya). “Anu saja kita bahas tema: Dajjal. Dari dulu aku pingin tahu, opo bener dajjal ada”(Ushul Brudin). “Gimana teman-teman setuju ga?”(tanya Sarikhuluk). “Setujuuuuuuuuuuu”(jawab mereka serentak). “Kalau setuju, tak kasih dasaran dulu, biar kita benar-benar ndarus Qur`an sebagaimana metode tadi. Dajjal nek secara tegas iku ga ada. Tapi meksi ga ada bukan berarti secara implisit ga ada. Sebab sebagaimana arti secara bahasa yaitu: banyak dusta, secara tersurat ada disebut dalam AL-Qur`an. Sebagian ulama` onok yang nyebut dajjal tersirat dalam surat Al-An`am ayat 158. Kalau di hadist sangat banyak sekali. Tapi supoyo kalian tidak sekedar membaca sejarahnya, saiki kalian tak ajak mikir lebih kontekstual. Ayo tema dajjal iki dikaitkan dengan kebanyakan media yang sekarang ini lagi berkembang”. “Maksudnya gimana Luk. Aku ndak ngerti”(timpal Paidi). “Gini lho rek, tak kasih dasaran secara global mengenai dajjal, kemudian nanti kita kaitkan dengan kondisi media di sekitar kita saat ini”. “Oke kalau gitu, mana dasaran yang kamu jelaskan”(pinta Margimen). “Dajjal iku artine secara bahasa: kakean mbujuk(banyak bohong) menipu. Pintar memutar balikkan fakta(surga bisa dibalik jadi neraka, neraka bisa dibalik jani surga di hadapan semua orang). Motone(matanya) cuman satu yang berfungsi. Di kepalanya ada tanda kaf fa ra alias kafir, dan hanya bisa dilihat oleh orang mukmin. Memiliki kecepatan yang luar biasa. Semua bumi didatanginya kecuali Makkah dan Madinah. Dajjal akan diikuti orang Yahudi dari Asbahan. Dajjal merupakan fitnah terbesar sepanjang sejarah manusia. Nabi selalu memperingatkan akan kedatangannya. Makanya saking besarnya fitnahnya, sampai-sampai dalam shalat ada doa khusus untuk meminta perlindungan darinya. Nah iki mau cuman dasaran saja. Masalah dajjal iku ono opo ga secara biologis, itu jangan terlalu diperdebatkan. Pokoke kalau iman ya harus yakin kalau dajjal benar-benar ada”(papar Sarikhuluk).
            “Terus sekarang kalau dibandingkan dengan kebanyakan media sekarang ini gimana Luk?(tanya Paidi)”. “Coba renungkan bareng-bareng, kebanyakan media kita saat ini sangat mirip dengan sifat-sifat dajjal yang tak gambarkan tadi. Kebanyakan media, baik elektronik maupun cetak itu berisi kebohongan-kebohongan. Ironisnya kebanyakan orang seolah tersihir menikmati kebohongan-kebohongan itu. Iklan-iklan media di TV kebanyakan mengajak orang kepada yang bukan dirinya. TV menjadi tuntunan, agama menjadi tontonan. Orientasi media kebanyakan hanya satu: dunia oriented. Yang menang ialah yang punya modal besar. Peran media sangat besar dalam membalikkan fakta. Yang benar jadi salah, yang salah jadi benar. Sekarang ini kan abad informasi, siapa saja yang menguasai media, maka berpeluang besar menggiring opini masyarakat. Dibanding dengan dajjal tadi, media sama memiliki kecepatan yang luar biasa. Kalau dulu komunikasi jarak jauh dibutuhkan waktu sekian lama, sekarang hanya beberapa detik sudah bisa komunikasi. Ada tanda kaf fa ra juga di kebanyakan media, dan itu hanya bisa dilihat oleh orang yang beriman. Kafir asala artinya menutupi, kamu lihat media kebanyakan menutup-nutupi sesuatu yang seharusnya tak boleh ditutupi. Dajjal akan mendatangi semua dunia, demikian juga media, hampir ditiap wilayah media pasti masuk walau masih sangat sederhana. Dan agen-agen besar media di dunia ini kebanyakan melayani misi Yahudi. Nek kalian pingin selamat dari fitnahnya yo pertebal iman, ojo gumunan lan gampang melok(jangan gampang kaget dan ikut-ikutan), tetap kritis, terus gunakan media sebatas keperluan. Kalau tidak kalian pasti ikut mereka. Soale memang menggiurkan godaane. Lha kajian-kajian semacam ini salah satu upaya agar kita tidak ikut-ikutan pada kebanyakan ‘media dajjal’. Yang penting sekarang bukan mempermasalahkan kapan datang dajjal. Sejauh mana yang lebih penting  persiapan kita menghadapinya di tengah-tengak lingkungan yang kebanyakan dipenuhi dengan kebanyakan ‘media dajjal’(Sarikhuluk menjelaskan dengan sangat serius dan semangat. Tapi tanpa dinyana teman-temannya ada yang tidur dan ada yang mengalihkan perhatiannya ke TV, hand pone dan lain sebagainya) Jangkrek arek-arek iki belum sampai setengah jam sudah terkena ‘media dajjal’(tegur Sarikhuluk dengan sangat kesal).

Watek Pacol, Pedang Lan Keres

Written By Amoe Hirata on Rabu, 28 Januari 2015 | 22.11

          Wulan iki, Sarikhuluk  oleh wejangan luar bioso soko Kiai Mbeling. Wong orep iku, isok  didelok  teko telong watek.  Nomer siji, watek pacol. Nomer loro, watek pedang, lan nomer telu, watek keres.

1.    Watek Pacol:

Yoiku wateke wong seng orep intine cumak ndulek duwek utowo ekonomi. Klakoane kabe diarahno nang pacol. Sekolah kerono pacol, dadi yai kerono pacol, dadi guru lan liane kerono pacol. Wong ngene iki wong kedunyan. Uripe cumak gawe awak dewe lan cumak ndulek keuntungan pribadi.
2.    Watek Pedang

Yoiku wateke wong seng seneng perkoro politik utowo kuoso. Uripe diarahno gawe ndulek kuoso. Pendekatane ugo, pendekatak politik lan militer.

3.    Watek Keres

Iki watek seng paling dukur. Keres lambang pusoko, harga diri, lan martabat. Wong orep, nek tujuane ndulek keres, moko uripe ndulek kamulyan utowo kamukten.


Uwong nduwe pacol, gorong tentu nduwe pedang. Wong nduwe pedang, duwe pacol tapi gorong tentu nduwe keres. Wong nduwe keres, pasti duwe pedang lan pacol. Wong nduwe keres ibarat rojo, pedang ibarat prajurite, sedang pacol ibarat rakyate. Intine, wong iku kudu ndulek kamulyan lan kamukten. Nek kamulyan seng dadi pusoko isok dijupuk mongko uripe bakal bermartabat dan mulio.





Presiden Gun Paggun

Written By Amoe Hirata on Selasa, 27 Januari 2015 | 23.00

Di sore hari menjelang cahaya mentari bertengger di ufuk barat, Sarikhuluk mencoba mengisi waktu dengan menulis beberapa bait sajak. Mungkin ini bisa dibilang sebagai refleksi, atau hanya sekadar basa-basi. Isinya kurang lebih demikian:


Siapa pun kamu
Bagiku
Presiden gun paggun
Kalau sistem tak berubah turun temurun

Siapa pun kamu
Bagiku
Presiden harfun mabni
Kelihatan ada tapi tak berfungsi

Semilir angin harapan
Berubah menjadi topan
Jika janji hanya sekadar janji
Mulut berbusa tak pernah ditepati

Mulanya hanya percikan api
Didukung angin menjadi berkobar tak teratasi
Harapan pu  menjadi basi
Yang tertinggal hanya mimpi

Antara Ngembek & Ngambek

Written By Amoe Hirata on Minggu, 25 Januari 2015 | 06.56

Banyak bicara
Suka mengkritik
Sekaligus, sensitif
Berarti suka ngembek

Ketika kritik diterima
Amarah naik
Orang baik dianggap naif
Ujungnya pasti ngambek



Negara Wudhu & Tayammum

Written By Amoe Hirata on Sabtu, 17 Januari 2015 | 09.48

            Ketika mengikuti Forum Kenduri Cinta -via streaming- tadi malam, Sarikhuluk mendapatkan idiom menarik dari Kiai Mbeling. “Negara sebrang -barang kali Indonesia- kalau kita menggunakan idiom wudhu dan tayammum dalam khazanah fiqih Islam, kira-kira masuk yang mana? Negara tayammum atau negara wudhu?” Tanya Kiai Mbeling pada audiens. Suasana pun hening sesaat, kemudian ia memberi dasar pijak pemahaman: “Pada asalnya `kan yang namanya shalat itu syaratnya harus wudhu, jika ada air. Kalau tidak ada air baru tayammum. Bila dianalogikan pada skala negara, lebih pas mana analogi untuk ‘negara sebrang’? wudhu apa tayammum?”. Para audiens pun serentak menjawab: “Tayamuuuuuuuuuuuuum”. “Lho kenapa?” tanyanya. “Karena negara sebrang adalah negara darurat, negara rukhsah. Sebenarnya gak layak, tapi daripada ga ada apa boleh buat. Negara tayammun ga apa-apa timbang nanti hancur” jawab mereka.
            Menurut Sarikhuluk, idiom yang ia dapat tadi malam itu merupakan kritikan mendasar terhadap problem yang dihadapi negara sebrang saat ini. Bagaimana tidak, negara yang seharusnya berfungsi sebagai media untuk mensejahterakan rakyat, dan menciptakan setabilitas keamanan, justru –aparaturnya-  sibuk dengan teatrika drama adu kebijakan, kontroversi, ketidakonsistenan dan berbagai macam tindakan absurd lainnya. Kondisi ini digambarkan seperti orang yang sedang tayammumm. Sebuah gambaran yang sebenarnya cocok dalam kondisi terpaksa tidak ada air. Sebenarnya untuk ukuran normal, tadak ada kepantasan apapun yang dimiliki oleh aparatur negara, namun apa boleh buat, ibarat wudhu, air –keamanahan- tidak ada lagi. Akhirnya ya tayammum saja. Daripada tidak ada negara sama sekali, malah nanti tambah bahaya. `Kan ada kaidah fiqih: “yang tak bisa didapat semua, tidak ditinggalkan semuanya”.
            Yang lebih menggelitik pada forum tersebut, Sarikhuluk mendapat idiom lain yang lebih menohok: “Batu dan permata jelas berbeda. Pada negara bersistem demokrasi tidak memungkinkan untuk mengetahui perbedaan itu. Semua dianggap sama. Bukan berarti ini mengunggul-unggulkan permata atas batu, sama sekali bukan karena masing-masing mempunyai maqom dan fungsi yang berbeda dan tidak bisa dikontradiksikan. Yang menjadi masalah kemudian ialah, dalam sistem demokrasi sangat memungkinkan batu diposisikan sebagai permata atau permata diposisikan sebagai batu. Kira-kira Kepala Negara Sebrang –barangkali Indonesia- itu yang saat ini menjabat, masuk sebagai batu yang diposisikan permata, atau permata yang diposisikan batu?” tanya Kiai Mbeling.

“Batuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu.” Jawab audiens serrempak. “Waduh,” keluh Sarikhuluk. Dipikir-pikir jawaban audiens tadi ada benarnya. Dalam era yang sekarang dikuasai media, sangat memungkinkan untuk memanipulasi fakta. Roti jadi tai, tai jadi roti itu adalah pekerjaan yang mudah. Sarikhuluk pun tereingat dengan Media Dajjal(baca: http://amoehirata.blogspot.com/2014/04/media-dajjal.html). Ia sekarang hanya bisa mendoakan, semoga perkiraannya salah.

Cinta Shalih Menjadi Salah Pilih

            Di  malam yang sunyi, beriring terang cahaya purnama, Salma Hourin `Ien melamun di kamar sendiri, disertai teman santriwati yang sudah tidur pulas berkelana di alam mimpi. Jiwa dan raganya seolah tak meyakini, terhadap apa yang baru saja Ia alami. Raut wajah begitu sumringah, jiwanya begitu senang membuncah. Rasa suka dan senang menyelimuti hati yang lagi riang. Amboi, rupanya Ia sedang jatuh cinta. Dara yang belum pernah merasakan cinta, baru saja hatinya ditaut -ditembak- oleh teman seangkatannya sendiri sesama santri, namanya Shalih Azka Rijâl. Siapa yang menyangka kalau bakal menjadi seperti ini. Lamunannya menjelajah kemana-mana. Kepalanya dipenuhi tanda tanya. Baru saja, Shalih mengucapkan sesuatu di hadapannya: “Bolehkah aku berharap lebih padamu?”. Antara kaget, tercengang, dan gugup Salma pun mengiyakan permintaan Shalih. Jadilah kedua insan yang lagi dirundung asmara ini sebagai ‘sepasang kekasih’, meskipun kalau ditelisik lebih dalam sebenarnya dalam dunia kesantrian yang notabene memegang nila-nilai islami tidak ada istilah kekasih-kekasihan atau pacaran yang bukan mahram, tetapi keduanya seakan larut oleh cinta yang sama-sama sedang dirasakan.
Salma pun tak kuat untuk menyimpan kebahagiaan yang sedang Ia rasakan. Ia pun bercerita panjang-lebar kepada teman sesama santriwatinya yang sedang ada di rumahnya, namanya Syafa Zaskia. “Syafa...Syafa...bangun dong aku mau curhat(curah hati) nih”. “Ada apa Salma? Kamu kok senyam-senyum gitu? Lagi ulang tahun ya?” tanya Syafa keheranan. Akhirnya, diceritakanlah semua apa yang sedang terjadi. Ketika mendengar cerita Salma, Syafa pun juga merasa kaget sekaligus senang, rupanya temannya sedang jatuh cinta. Tapi tetap saja Syafa mengingatkan agar jangan sampai melampaui batas kewajaran, kalau memang serius ya harus benar-benar dijaga nilai-nilai agama, sebab bagaimanapun juga keduanya adalah pernah menjadi santri. Santri yang baik adalah santri yang benar-benar menjaga kesantrian bukan saja ketika menjadi santri, tapi juga ketika sudah berada di luar harus tetap menjaga nilai-nilai yang diajarkan selama ini. “Wow, surprise banget ya Salma, aku ga nyangka lho kalau Shalih berani menembak kamu langsung. Di rumah kamu sendiri lagi. Wuih hebat. Aku salut dengan keberanian Shalih, hehehe. Menurutku sih kamu sudah tepat menerimanya. Ia orangnya baik, cerdas, pintar dan insyaallah calon imam yang shalih seperti namanya” komentar Syafa. “Ah kamu Syafa, bisa aja kamu menghibur aku, pokoknya tak aminin deh semoga Ia akan menjadi imam shalihku, âmîn ya Rabb” sahut Salma dengan mantap.
Syafa wajar kalau kaget mendengar penuturan Salma mengenai Shalih. Pasalnya, Shalih, Aditiya, dan Syafa pergi ke Jakarta sebenarnya untuk mengikuti tes ujian kelulusan ke Universitas Islam Madinah. Nah sesudah tes, ketiganya ditawarin main kerumah Salma yang kebetulan rumahnya dekat dengan lokasi tes. Ketiganya pun mau menginap di rumah Salma. Nah ketika di rumah Salma itu lah, Shalih mengungkapkan perasaannya di depan Salma, tanpa sepengetahuan orang tuanya. Teman cowok Shalih pun kaget ketika mendengar bahwa Shalih ‘menembak’ Salma, sebab selama ini yang Aditiya tahu berkaitan dengan temannya ini, biasanya sukanya diskusi dan sangat minim membicarakan cewek, rupanya selama ini benih-benih kekaguman Shalih terhadap Salma, sudah tumbuh berkembang semenjak menjadi santri di ma`had Al-Barakah. Sebagai teman, Aditiya pun tetap memberi support atau dukungan kepada Shalih. “Insyaallah kamu tak salah pilih Leh, Salma adalah anak yang baik, dewasa dan pintar. Semoga Ia menjadi istri terbaikmu” komentar Aditiya kepada Shalih ketika Ia tahu tentang hubungan yang baru saja terjalin.
Beberapa bulan kemudian, hubungan tetap terjalin mulus. Bahkan, kedua orang tua dari Shalih dan Salma pun sudah sama-sama tahu mengenai hubungan kedua anak mereka. Hanya saja karena Shalih masih mau melanjutkan studinya ke Universitas Islam Madinah, maka untuk sementara keduabelahpihak tidak merasa perlu untuk lebih serius membicarakan pernikahan. Keduanya bermodalkan rasa saling percaya saja. Akhirnya keduanya sama-sama kuliah. Menjalin hubungan cinta jarak jauh atau istilah gaulnya love distance. Hari berganti hari, minggu berganti minggu, tahun berganti tahun, keduanya masih tetap menjalin komunikasi yang baik melalui chatting via Yahoo Massenger, facebook, atau telefon. Setelah lima tahun kemudian, akhirnya Shalih pulang ke Indonesia. Ia berusaha melanjutkan progam S-2nya. Di sisi lain, Ia juga berusaha untuk segera menemui keluarga Salma, untuk segera membicarakan secara serius mengenai pernikahan keduanya.
Karena ada beberapa kendala yang dihadapi oleh Shalih berkaitan dengan pertemuan antara kedua keluarga, sampai pada akhirnya Shalih mengajak ketemuan di daerah yang lebih dekat dengan rumahnya atau di rumah yang dekat dengan saudaranya tapi juga tak terlalu jauh dari rumah Salma. Hal ini dilakukan Shalih mengingat kedua orang tuanya yang sudah tua, sehingga Ia merasa kasihan kalau harus menempuh perjalanan jauh, dari Jawa Timur ke Jawa Barat(keluarga Shalih ingin tahu langsung tentang Salma). Namun sangat disayangkan, keputusan pun buntu. Keduanya sama-sama bersikeras pada keinginan dan caranya masing-masing. Salma beserta keluarga menolak kalau pihak perempuan yang harus datang ke laki-laki. Mestinya, menurut mereka: cowoklah yang harus datang ke pihak cewek. Karena tidak ada upaya untuk saling mengalah maka hubungan antara keduanya kandas di tengah jalan. Si Shalih terlihat seolah tak begitu memperjuangkan cinta, karena pertimbangan keluarga, Si Salma pun merasa sudah tidak bisa diteruskan karena merasa dipermainkan. Dengan sangat berat hubungan yang terjalin antara keduanya bertahun-tahun akhirnya sirna.
Mimpi-mimpi yang selama ini dibangun Salma di hati dan pikirannya sudah buyar. Ia sedih, kecewa, mangkel, marah, kesal dan jengkel. Betapa tidak, demi cinta, Ia rela bertahun-tahun untuk menunggu calon Imamnya, bahkan dia berusaha diam dan tak menerima laki-laki lain hanya untuk menunggu Shalih, tapi rupanya Si Shalih tak mau memperjuangkan cinta - hanya karena masalah yang seharusnya bisa diselesaikan tanpa harus memutuskan hubungan - lenyaplah impian Salma. Ternyata –baginya-, calon suami yang Ia anggap Shalih selama ini, ternyata salah pilih. Pada buku diary-nya ia menulis sesuatu:
Kukira daun yang hijau
Membuat kalbu
Selalu sejuk memandang
Ternyata kering melayu
Membuatku
Sedih tak terbayang

Kukira cinta Shalih
Mengantarku
Pada cinta sejati
Ternyata aku salah pilih
Membuatku
Terjerembab pada cinta ilusi
Berhari-hari Ia menangis sejadi-jadinya. Ia merenung, mengevaluasi, melihat kembali ke belakang mengenai hubungan yang selama ini dijalin bersama Shalih. Akhirnya dalam perenungannya yang panjang, Ia menemukan beberapa pelajaran yang berharga di dalam hidupnya. Di antara pelajaran-pelajaran itu ialah sebagai berikut:

  1. Cinta yang dibangun berdasarkan maksiat, hasilnya akan membuat cinta tersesat.
  2. Cinta itu bukan banyak janji, tapi segera komitmen menjadi suami-istri.
  3. Kalau benar cinta, jangan menunggu lama, semakin lama menunggu, maka akan semakin berliku.
  4. Cinta bukan untuk diumbar dengan kata-kata, tapi perlu dibuktikan dengan komitmen pada orang tua.
  5. Jangan gampang percaya dengan penampilan dan kelebihan, tanpa komitmen yang jelas maka keduanya hanyalah bualan.
  6. Bagi para cewek, perhatikan benar-benar sajak berikut ini:

Kalau aku diam
Bukan berarti
Cinta ini padam
Aku hanya berbagi
Ketika kau halal jadi imam
Itulah cinta sejati

Jadi jangan gampang terbujuk oleh rayuan cowok. Kalau pun si cowok serius, jangan gampang mengumbar sesuatu yang belum halal padanya, tunggulah sampai halal, dan nanti itu akan menjadi lebih indah insyallah.
  1. Kalau kamu jatuh pada cinta yang salah, bersyukurlah pada Allah subhânahu wata`âla yang telah menyelamatkanmu dari cinta yang salah, yakinlah bahwa Allah akan membibingmu pada cinta yang sejati yang tak kan membuatmu susah.
  2. Untuk para cowok, kalau memang cinta dan gentleman jangan pernah menyuruh cewek datang ke cowok, seharusnya cowoklah yang datang ke cewek.
  3. Jangan sampai larut dalam kesedihan, apalagi sedih hanya karena cinta yang salah pilih, cepatlah bangkit karena Allah subhânahu wata`âla menyiapkan jodoh yang lebih baik untuk kita.
  4. Untuk menuju ‘cinta sejati’, terkadang Allah menguji kita dengan ‘cinta imitasi’, kalau kita tidak terpengaruh dengan ‘cinta imitasi’, maka Allah akan menganugerahkan pada kita ‘cinta sejati’.
Itulah beberapa pelajaran yang sempat ditulis oleh Salma. Sekarang Ia merasa lebih tenang, bahkan bersyukur karena tidak jadi dengan Shalih. Sewaktu Ia mendengar kalau Shalih sudah menikah dengan perempuan lain, Ia membatin: “Semoga perempuan itu tidak salah pilih”. Baginya, cinta Shalih adalah masa lalu, Ia yakin ada yang lebih baik darinya. Apa yang dialaminya memberi banyak pelajaran berharga yang Ia rangkum pada kalimat berikut:
KETIKA ‘CINTA SHALIH’ MENJADI ‘CINTA SALAH PILIH’, MAKA JANGAN BERSEDIH!, JIKA KITA MAU BERUPAYA DAN BERDOA DENGAN GIGIH, PASTI ALLAH SWT AKAN MEMBIMBING CINTA KITA KEPADA CINTA SEJATI DAN JERNIH.

Politisasi Karbala

Apa yang terlintas di benak anda ketika disebut kata, ‘Karbala’? Bagi yang mengerti pasti akan mengingat satu sosok bersejarah bernama Husain bin Ali bin Abi Thalib. Ia merupakan adik kandung Hasan bin Ali. Meskipun keduanya sama-sama disaksikan Rasulullah sebagai pemimpin pemuda ahli surga, namun keduanya memiliki karakter yang berbeda. Kejadian di Karbala menyiratkan akan makna penting bahwa kecendrungan perjuangan Husain ialah melalui jalur politik dan kekuasaan. Sedangkan Hasan -yang sifat dan bentuk fisiknya digambarkan dalam suatu riwayat paling mirip dengan Rasulullah- sama sekali memiliki sikap dan kecendrungan yang berbeda dengan adiknya, Ia lebih melalui jalur lain selain politik. Karakter bawaan yang lebih menyukai perdamaian, membuatnya terabadikan dalam sejarah sebagai tokoh kunci yang sudah jauh-jauh hari diramalkan oleh Rasulullah sebagai pendamai kaum muslimin yang lagi bertikai, tepatnya hari itu diabadikan dengan nama yaumul jamaa`ah(hari bersatunya kaum muslimin di bawah naungan satu penguasa pada tahun 41 Hijriah).
  Sedangkan Husain yang lebih ngotot dengan ijtihad pribadinya untuk tetap menentang kekuasaan melalui jalur politik harus rela menemui takdir kematiannya di bumi Karbala`. Ironisnya kebanyakan kaum muslim baik itu dari kalangan syiah maupun sunni lebih  menokohkan dan mengagungkan Husain. Bahkan ada acara khusus untuk memperingati gugurnya Husain pada tanggal 10 Muharram. Kisah kakak beradik ini diterangkan sedemikian rupa oleh penulis melalui rujukan-rujukan yang bisa dipertanggungjawabkan dari buku-buku sejarah yang pada intinya perjuangan melalui jalur politik dan kekuasaan hanya akan menjadi malapetaka bagi umat Islam jika itu dijadikan tumpuan utama. Padahal masih banyak ranah lain untuk memperjuangkan Islam.
Buku ini ditulis oleh  Wahidudin Khan. Beliau lahir di India pada tanggal 10 Oktober 1925. Ia merupakan Pemikir Muslim India kontemporer. Beliau memiliki pemikiran brilian yang berusaha mengharmonikan sistem salafi dengan sistem ilmiah dan filosofis. Dengan metode ini, ia berusaha berdialog dengan orang-orang atheis dan skular pada sejumlah besar dari karangannya. Karangannya memiliki keistimewaan sebagai berikut: menggabungkan antara kesederhanaan dan kedalaman sehingga (senantiasa) relevan dengan berbagai macam pembaca. Ia sangat terkesan dengan pemikiran Abu A`la Al-Al-Maududi dan Abu Hasan An-Nadawi.
Beliau memiliki karangan[1] yang banyak diantaranya yang berbahasa Inggris: Religion and Science. God Arises: Evidence of God in Nature & Science. In Search of God. Islam and Modern Challenges. The Way to Find God. The Quran, an abiding wonder. The Moral Vision : Islamic Ethics for Success in Life. Women Between Islam and Western Society. A Treasury Of The Qur'an. The Prophet Muhammad : A Simple Guide to His Life. ISLAM: THE VOICE OF HUMAN NATURE. Islam and the Modern Man. ISLAM: CREATOR OF THE MODERN AGE. Islam As It Is. A Treasury Of The Qur'an. Ada juga yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab diantaranya: al-Islam Yatahadda. Ad-Din Fi Muwaajahati al-`Ilmi. Hikmah ad-Din. Tajdid `Ulumu ad-Din. Al-Muslimun baina al-Maadhi wa al-Hadhir wa al-Mustaqbal. Khawathir wa al-`Ibar. dan buku yang sedang diresensi saat ini: Tarikhu ad-Dakwah Ila al-Islam.
               Di awal pembahasan penulis menjelaskan bahwa: Hasan dan Husain merupakan tipikal yang merepresentasikan dua orientasi bertentangan dalam sejarah Islam.  Hasan orientasinya bukan pada politik, sedangkan Husain mempunyai orientasi politik. Hasan memilih damai dengan Mu`awiyah dalam peristiwa Aamul Jamaa`ah tahun 41 H. Sedangkan Husain lebih memilih konflik secara frontal dengan Mu`awiyah. Keputusan Hasan melahirkan perdamaian di kalangan muslimin dan meredam potensi perang saudara. Sedangkan keputusan Husain mengantarkannya pada kematian tragis di Karbala`. Anehnya, yang lebih diingat dan dikenang baik di kalangan orang Syi`ah maupun Sunni ialah Husain. Bahkan secara khusus  ada tradisi perayaan 10 Muharram untuk memperingati peristiwa Karbala`. Meskipun peristiwa Karbala` sangat populer, namun sayangnya sama sekali tidak sesuai dengan ajaran-ajaran Islam dan peristiwa sejarah. Ajaran Islam dan peristiwa sejarah sama-sama menolak contoh (peristiwa) semacam ini.
          Sebelum datangnya Islam di Makkah ada dua kabilah Qurays yang sangat istimewa yaitu Klan Abdi Manaf (Klan Hasyim) dan Klan Umayyah. Kedua kabilah ini sejak sebelum Islam sudah saling bersaingan. Klan Umayyah tak mampu mengungguli klan Hasyim, bahkan masuk Islam ketika tahun 8 Hijriah. Ketika masa khulafaurasyidin Masa Khalifah Utsman dianggap sebagai yang mewakili klan Umayyah sedangkan masa Ali mewakili Klan Hasyim. Setelah Ali meninggal diganti Hasan. Tahun 41 H Hasan memilih damai dan menyerahkan kekuasaan ke Muawiyah. Praktis 20 tahun kondisi kaum muslimin aman dan bisa memperluas wilayah di bawah pimpinan Mu`awiyah(W 60 H). 
         Sepeninggal Mu`awiyah konflik kekuasaan dimulai kembali. Husain tak mau bersikap seperti saudaranya, ia memilih menentang pemerintahan resmi. Dari sinilah titik tolak terjadinya tragedi 10 Muharram di Karbala` dimana Husain beserta pengikutnya yang tinggal 72 orang harus melawan pasukan bersenjata lengakap kiriman Yazid bin Muaawiyah yang berjumplah hampir 72 ribu pasukan. Sebenarnya waktu itu Husain mau berdamai dengan menyampaikan tiga opsi, namun karena Ubaidillah bin Ziyad dihasut oleh Syarmadzi Al-Jausyan, akhirnya pembunuhan Husain pun tak terelakkan.
Pengganti Muawiyah ialah Yazid bin Muawiyah, ketika diangkat menjadi pengganti ayahnya ia langsung mengirim Walid bin `Utbah bin Abi Sufyan untuk mengambil baiat di Madinah. Husain menolak. Pada hari kedua beserta keluarganya pergi ke Makkah.  Karena Makkah tak memungkinkan untuk menjadi khalifah lantaran ada khalifah Abdullah bin Zubair maka dari itu Husain pergi Kufah. Sedangkan Hasan, setelah melepas diri dari kekuasaan Ia kembali ke kampung halamannya, Madinah. Husain ke Kufah karena disurati penduduk Kufah yang ingin mendukung menjadikannya khalifah.
Surat yang sampai kepada Husain kala itu hampir mencapai 150 surat. Hasan sudah menasehati Husain sedemikian rupa untuk tak pergi, namun Husain bersi keras: karena menurut Hasan tak mungkin kabilah kita memegang kenabian dan khilafa sekaligus. Muslim bin `Aqil bin Abu Thalib dikirim ke Kufah untuk mengambil baiat dan disana didukung 18 ribu pendukung. Ketika Yazid mendengar pergerakan Muslim bin `Aqil, ia mengirim Ubaidillah bin Ziyaad untuk meredam pemberontakan, akhirnya Muslim dan penjamunya, Hani` bin `Urwah kemudian dibunuh di atap rumah hingga kepalanya tanggal di hadapan semua orang yang mendukungnya.
Abdullah bin Muthi` mengingatkan Husain : “Aku ingatkan padamu agar kembali ke Makkah, jika kamu tetap bersi keras untuk mendapat kekuasaan klan Umayyah, mereka akan membunuhmu, dan jika mereka membunuhmu, maka mereka tidak akan takut pada siapapun setelahmu selamanya. Kehormatan Islam dan Arab akan terenggut”. Husain tetap ngotot pergi. Bahkan tak mempedulikan anjuran sahabat besar seperti Abdullah bin Umar bin Khathab, Abdullah bin Abbas, Amru bin Sa`ad bin Ash, Abdurrahman bin Harits. Bahkan Abdullah bin Zubair sempat menawarkan, jika Husain tak jadi ke Kufah maka Ia siap untuk membaiatnya di Makkah. Abdullah bin Ja`far bin Abi Thalib juga mendesak Husain agar tak pergi ke Kufah tapi tak membuahkan hasil. Dalam perjalanannya Husain ketemu dengan penyair Farzadiq, lalu menanyakan kondisi Kufah. Farzadiq mengingatkan Husain: hati orang Kufah bersamamu tapi pedangnya bersama klan bani Umayyah. Pada akhirnya usaha Husain malah mengantarkan pada kegagalan yang sangat mengharukan dalam lembaran sejarah. Cucu Nabi ini mati di Karbala dalam kondisi terpancung.
Setelah memaparkan secara singkat kilas balik sejarah tragedi Karbala, penulis menyatakan: “seandainya kita mau mencalonkan dua pahlawan Islam antara Hasan dan Husain maka Hasan lebih pantas(karena sikapnya berbuah perdamaian)”. Di sisi lain anjuran Nabi ketika terjadi fitnah supaya kaum muslimin menjauhi konflik politik kekuasaan dan bergerak di ranah lain yang bermanfaat. Selama tak dilarang untuk shalat maka tetap sabar dengan kezaliman penguasa. Meski tetap memberi nasihat. Bukan berarti Nabi mengajarkan umatnya membisu di hadapan penguasa dzalim tetapi sebagai semacam pencerahan untuk (fokus) mengarah pada amal serius dan dalam jangkauannya.
 Ajaran beliau juga mengandung pendidikan pikiran positif pada individu umat sebagai ganti dari pikiran negatif berupa mengarahkan kerja keras umat pada amalan yang membangun dan kreatif sebagai ganti dari amalan yang membuat kerusakan dan penghancuran. Ini mengindikasikan pada hakikat yang agung berupa menekuni usaha dari medannya secara tak langsung lebih banyak suksesnya daripada menekuni usaha pada medannya secara langsung. Meski secara lahiriah kurang menarik namun di dalamnya menyimpan efektifitas dalam meredam/mencegah permusuhan dari latar belakang terjadinya peristiwa.
Pengalaman abad pertama Hijriah secara tegas memberikan pelajaran penting bahwa bentrok dengan sistem politik yang sedang berkuasa, seberapa ikhlaspun niatnya, hanya akan mengobarkan api fitnah, bahkan menciptakan masalah-masalah baru, menjadikan masalah semakin rumit dan kompleks. Gerakan reformasi politik hanya mengantar pada kekacaun, yang menimbulkan kebingungan di seluruh wilayah Islam. Apa yang terjadi sepeninggal Utsman ternyata terus berlangsung sampai hingga pada masa Mu`awiyah dan seterusnya. Perang yang terjadi untuk mendapat kekuasaan tidak berakhir pada hasil yang pasti. Memang konflik berhenti dari dua kelompok yang berselisi, namun setelah konflik berakhir, maka terjadi konflik pula di tubuh internal kelompok masing-masing.
Sudut pandang semacam ini berdasarkan arahan-arahan Nabi yang begitu jelas.  Nabi melarang sahabatnya untuk ikut berpartisipasi dalam konflik politik bersama penguasa. Nabi menyarankan untuk mencari lahan amal selain politik yang bisa dilakukan individu untuk mewujudkan harapan perbaikannya yang mendesak. Akan tetapi, sudut pandang semacam ini jarang diminati oleh kebanyakan orang. Kebanyakan lebih tertarik ke dalam politik yang malah membuat kematian orang-orang besar seperti Husain, Abdullah bin Zubair dan lain sebagainya. Seandainya umat Islam mau menempuh jalan sabar kemudian mengarangkan kegiatan perbaikanya pada wilayah potensi yang tersedia maka mereka akan melihat bagaimana Allah menjalankan rencana-Nya untuk menampakkan peristiwa itu pada jalan yang sukses, sedangkan kita berusaha –lantaran ketidaksabaran kita- mewujudkannya dengan jalan yang sama sekali tak membuat sukses.
Pada buku ini penulis secara ringkas ingin menyatakan bahwa keterlibatan kaum muslimin dalam ranah politik dan kekuasaan acapkali-kalau tak boleh dikatakan pasti- mengalami kegagalan. Sejarah telah membuktikan. Supaya tenaga dan potensi umat tak terbuang percuma, penulis menyarankan umat Islam berjuang pada ranah lain sesuai potensi masing-masing. Sebab dengan tidak terlalu fokus dengan politik, sembari tetap berjuang pada ranah lain, justru akan menghasilkan sesuatu yang lebih besar dan bermanfaat dibanding dengan terjun langsung di dunia politik. Tabiat politik ialah persaingan, sejarah membuktikan bahwa ketika kaum muslimin terlibat pada persaingan politik maka pada akhirnya akan menghadapi perpecahan saudara dan kemunduran.
Buku ini sukses dalam memaparkan betapa politik dan kekuasaan itu begitu bahaya bila ditinjau dari pengalaman sejarah umat Islam. Namun beliau tidak menjelaskan mengenai politik syar`i yang dibolehkan sehingga agak kurang berimbang. Padahal politik juga sebagai alat atau media untuk berjuang, alat atau media tidak bisa dihukumi secara langsung melainkan pada konteks apa alat itu digunakan. Dengan memaparkan solusi yang lebih riil, dan penjelasan-penjelasan secara gamblang dan realistis Insyallah jauh lebih baik dibanding dengan sekadar menyebut masalah. Terlepas dari itu semua, buku ini layak untuk dijadikan bahan bacaan.
            Buku ini cocok dibaca oleh aktivis gerakan Islam atau siapa saja yang ingin mengetahui lebih jauh tentang sekilas sejarah tentang orientasi umat Islam ke ranah politik dan apa akibat-akibat yang akan dialaminya. Dengan membaca buku ini, kita bisa lebih berhati-hati dalam perjuangan bidang politik dan kekuasaan. Kalaupun kita tetap berjuang pada ranah ini, minimal kita akan lebih berhati-hati.

Judul Buku                  : مَأْسَاةُ كَرْبَلاَءَ [Ma`saatu Karbalaa`].
Arti Judul                    : Tragedi Karbala`.
Kategori                      : Sejarah.
Pengarang                   : Wahidudin Khan
Penerbit                       : ar-Risaalah li al-I`laan al-Dauli
Alamat Penerbit           : Jln. Syaikh Muhammad An-Naadi, No. 7 – Madinah Nashr - Kairo
Edisi Cetakan              : Cetekan Pertama.
Tahun Terbit               : 1991 M / 1411 H.
Tebal Buku                 : 59 Halaman.
Harga Buku                 : -

Politisasi Agama

Written By Amoe Hirata on Jumat, 16 Januari 2015 | 09.00

            Sebagai harapan sosial keagamaan, maraknya aktivis Islam yang memperjuangkan spirit Islam sebagai sistem kehidupan merupakan realita yang patut didukung dan disyukuri.  Ketika pergerakan organisasi keagamaan semakin dinamis dan menyebarluas ini berarti nilai keberagamaan individu sudah mulai hidup; ini berarti nilai keberagamaan sudah bergerak lebih jauh dari sekadar formalitas. Namun yang menjadi masalah kemudian ialah ketika salah mempersepsikan dan memposisikan subtansi dari agama. Agama sebagai entitas nilai, memiliki berbagai macam aspek. Merupakan kecerobohan besar jika ada gerakan keagamaan yang salah dalam mempersepsikan spirit inti dari lahirnya agama. Contoh konkrit ialah gerakan-gerakan yang mengatas namakan agama dengan semangat perjuangan tinggi untuk memperjuangkan agama melalui jalur politik.
           Sebenarnya politik memang bagian daripada agama, namun ketika politik dijadikan sebagai tujuan sentral dari lahirnya agama, maka pada gilirannya akan merusak esensi agama. Sesuatu yang semestinya didahulukan seperti dakwah islamiyah, malah terabaikan dengan perjuangan yang fokusnya harus politik. Apa jadinya jika politik dijadikan tema sentral sebagai maksud diturunkannya agama? Pada realitanya perjuangan agama atas nama politik dan kekuasaan di sepenjang sejarah kehidupan umat Islam akan selalu mengalami kegagalan karena, agama sudah dipengaruhi oleh kepentingan kelompok dan golongan. Agama meskipun tanpa piranti politik dan kekuasaan pada realitanya masih bisa eksis berkat kontinuitas dakwah yang selalu diupayakan dan dijalankan. Di sisi lain penjuangan agama melalui fokus politik terkadang atau bahkan kebanyakan –kalau tidak boleh dibilang semua- memperburuk citra Islam di mata orang non Islam, sehingga malah menghalangi dakwah Islam masuk ke dalam hati mereka.
            Pada kesampatan yang lain ada juga gerkan yang fokusnya hanya dalam jihad perang. Meraka mempersepsikan kata kunci agama adalah jihad perang. Agama tidak akan bisa berkembang tanpa adanya jihad dalam pengertian perang. Pada titik dan porsi tertentu jihad memang sangat diperlukan dan wajib dilaksanakan. Namun menjadikan jihad sebagai unsur utama dalam agama kemudian mengabaikan unsur yang lebih penting berupa dakwah sebagaimana tugas para Nabi, maka jihad hanya akan menjadi malapetaka bagi agama dan pemeluknya. Yang menonjol dan nampak dominan dari wajah agama hanyalah kekerasan dan otoritarian.
         Konsekuensinya wajah agama yang sebelumnya sangat padhang bersinar, menjadi redup lantaran salah memperioritaskan unsur penting agama. Kebanyakan gerakan Islam ribut dan sibuk dalam hal teknis penyebaran agama, sedangkan hal inti hampir tak tersentuh. Maka jangan heran ketika reaksi dari komunikan dakwah begitu sangat bertolak belakang dengan yang diinginkan, karena salah dalam menggambarkan wajah Islam. Realitas demikian bisa dikonversikan dengan berbagaimacam gerakan yang salah dalam mempersepsikan Islam. Yang inti menjadi sampingan, yang sampingan menjadi inti. Dengan bahasa lain: yang subtansial menjadi sekadar instrumentak, sedangkan yang instrumental menjadi subtansial. Akibat dari kesalahkaprahan tafsir ini berdampak negatif bagi agama dan pemeluknya. Tapi untungnya agama Islam ini dilindungi oleh Allah ta`ala sehingga usaha apapun untuk menghancurkan agama Islam akan menuai kegagalan.
Buku ini ditulis oleh  Wahidudin Khan. Beliau lahir di India pada tanggal 10 Oktober 1925. Ia merupakan Pemikir Muslim India kontemporer. Beliau memiliki pemikiran brilian yang berusaha mengharmonikan sistem salafi dengan sistem ilmiah dan filosofis. Dengan metode ini, ia berusaha berdialog dengan orang-orang atheis dan skular pada sejumlah besar dari karangannya. Karangannya memiliki keistimewaan sebagai berikut: menggabungkan antara kesederhanaan dan kedalaman sehingga (senantiasa) relevan dengan berbagai macam pembaca. Ia sangat terkesan dengan pemikiran Abu A`la Al-Al-Maududi dan Abu Hasan An-Nadawi. Beliau memiliki karangan[1] yang banyak diantaranya yang berbahasa Inggris: Religion and Science. God Arises: Evidence of God in Nature & Science. In Search of God. Islam and Modern Challenges. The Way to Find God. The Quran, an abiding wonder. The Moral Vision : Islamic Ethics for Success in Life. Women Between Islam and Western Society. A Treasury Of The Qur'an. The Prophet Muhammad : A Simple Guide to His Life. ISLAM: THE VOICE OF HUMAN NATURE. Islam and the Modern Man. ISLAM: CREATOR OF THE MODERN AGE. Islam As It Is. A Treasury Of The Qur'an. Ada juga yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab diantaranya: al-Islam Yatahadda. Ad-Din Fi Muwaajahati al-`Ilmi. Hikmah ad-Din. Tajdid `Ulumu ad-Din. Al-Muslimun baina al-Maadhi wa al-Hadhir wa al-Mustaqbal. Khawathir wa al-`Ibar. dan buku yang sedang diresensi saat ini: Tarikhu ad-Dakwah Ila al-Islam.
Buku ini merupak ringkasan dari buku yang berjudul: al-Tafsiru al-Khathi` karya Wahidudin Khan. Buku ini lahir sebagai kritikan terhadap karya-karya ‘guru’nya yaitu Abu al-A`la al-Al-Maududi. Dalam berbagai bukunya Al-Maududi menyerukan bahwa sistem khilafah adalah sistem final dan ideal yang harus ditegakkan kalau umat Islam ingin mendapat kejayaannya kembali seperti masa silam. Ide inti dari Al-Maududi dijelaskan oleh beliau ialah, ‘menghidupkan sistem khilafah yang bercirikan: menjawab pengkritik dengan jawaban yang memuaskan, mendorongnya untuk kritis, memuji dan memuliakannya serta melenyapkan sistem kerajaan yang bercirikan: memberangus pengkritik, membungkamnya dengan ejekan dan ancaman, dan jika tidak berhenti maka dihentikan dengan cambuk atau penjara.
Wahidudin Khan dahulunya merupakan anggota dari Jama`ah Islamiyah yang dipimpin oleh Abu A`la Al-Al-Maududi. Namun perjalanan kemudian ketika Wahidudin Khan mencoba mengkritisi ide inti Al-Al-Maududi lambat laun terjadi kesenjangan yang luar biasa sehingga pada akhirnya Wahidudin Khan keluar dari Jama`ah Islamiyah. Al-Maududi dan pendukung nalar dan tradisi kritis, namun ketika hal itu benar-benar diterapkan nyatanya Ia dan pendukungnya tersinggung. Seolah-olah khusus Jama`ah Islam pasti benar dan anti kriti, adapun kritikan layak ditujukan pada selain Jama`ah Islamiyah. Bahkan ketika kritikan itu berlangsung melalui surat-menyurat selama dua tahun Wahidudin Khan bukan mendapat penghormatan lantaran kritis, tapi malah mendapat jawaban pedas sebagaimana berikut: “Kajian studimu sangat kurang sekali, ini merupakan merupakan bencana di atas bencana, sesungguhnya kamu berbicara dari tempat yang tinggi, sungguh aku tidak akan menanggapi orang yang mempunyai padndangan seperti ini, padahal ilmunya sedikit”.
“Sebagaimana Karl Marxs menafsirkan realitas kehidupan dengan dominasi tafsir materi sebagai fokus tafsir, demikian pula ustad Abu A`la al-Al-Maududi menafsirkan agama dengan dominasi politik, sebagai fokus tafsirnya”. Demikian Wahidudin Khan memulai tulisannya. Dari sini pula asal mula penulisan judul buku di atas. Bahwa unsur politik terlalu dominan untuk menafsirkan agama Islam. Ia melanjutkan bahwa untuk mempersepsi kehidupan yang terdiri dari berbagaimacam aspek, maka biasanya dilakukan dengan tiga pendekatan: Pertama: Pendekatan Qonuni(hukum) pendekatan ini memberikan gambaran bagian-bagian yang menonjol secara tepat dan tak berlebihan, masing-masing digambarkan sebagaimana adanya.
  Kedua: Pendekatan khithabi(retoris) pendekatan ini memberikan gambaran yang khusus pada satu aspek sekaligus melebih-lebihkannya di banding aspek yang lain. Ketiga: Pendekatan Tafsiri(interpretatif) pendekatan ini memberikan gambaran kesatuan aspek dengan mengambil satu aspek sebagai landasan dari berbagai aspek yang dianggap memiliki hubungan dan kesatuan. Nah, ketika berbicara mengenai agama yang memiliki berbagai macam aspek, Ustat Al-Maududi menggunakan pendekatan ketiga yaitu metode tafsiri(interpretatif). Jadi Al-Maududi menempatkan politik sebagai aspek utama yang melatari risalah Islam. Pada intinya tanpa politik agama hanya akan menjadi kosong dan tak dapat dipahami, seakan-akan (ketika politik tak ada) maka sama saja seperti membuang seperempat agama –menurut ungkapannya-.
            Yang menjadi masalah menurut penulis ketika membaca karya-karya Abu A`la Al-Al-Maududi bukanlah pada aspek politik dan perjuangannya pada ranah politik. Yang dijadikan masalah ialah bahwa Al-Maududi dalam kebanyakan karyanya memposisikan politik sebagai unsur utama dari agama. Sehingga unsur-unsur lain dari agama yang lebih penting dan inti menjadi terkesampingkan dan kurang mendapat perhatian yang proporsional. Ini sangat mirip dengan apa yang dilakukan oleh Karl Marxs yang mencopa menginterpretasikan kehidupan manusia pada aspek materi saja sehingga lahir paham Materialisme. Sungguh pun materi itu sangat penting, tetapi menjadikannya sebagai fokus utama sehingga melupakan unsur rohani manusia, hanya akan merusak manusia.Sejarah membuktikan bahwa pemahaman materialisme adalah pemahaman yang salah, dan ketika benar-benar dipraktikkan dalam kehidupan nyata, hanya menjadi bencana bagi kehidupan manusia. Bahkan dipolitisir dan dieksploitir oleh golongan tertentu. Kesalahan mendasar Al-Maududi ialah pada ranah filosofis pemikiran. Ini  jauh lebih bebahaya dibanding dengan kesalahan orang yang menambah dan mengurangi agama.
            Diantara karya Al-Maududi yang sarat akan nuansa politis dalam menafsirkan subtansi agama ialah: Dustur al-Jama`ah al-Islamiyah, al-Musslimun wa al-Sharaa` al-Siyaasi al-Raahin, Tajdidu al-Din wa Ihyaauhu, al-Tafhiimaat, al-Khuthab, al-Nadhratu al-Tahliliyah fi al-Ibaadah al-Islaamiyah, al-Ususu al-Khuluqiyah li al-harakah al-Islamiyah-Ihsaan, Syahaadatu al-Hak, Lailatu al-Mi`raaj dan lain sebagainya yang secara umum muatan politik sangan kental dalam menafsirkan agama. Dalam karya-karya Al-Maududi ini dinyatakan bahwa politik merupakan perkara inti dari agama, semua aspek agama berada dalam bingkai politik. Tujuannya jelas pada akhirnya ialah mengkudeta pemimpin yang dzalim, durhaka serta mendirikan khilafah dan memilih pemimpin yang adil. Karena pada intinya kesejahteraan kehidupan manusia terletak pada siapa yang menguasai, jika  penguasa baik maka akan tercipta kesejahteraan manusia secara otomatis.
      Pada pembahasan lain maksud inti agama menurut Al-Maududi ialah: menegakkan kepemimpinan (imaamah) yang baik dan menegakkan sistem yang hak di muka bumi. Pada kesempatan lain Al-Maududi meinterpretasikan agama yang hak ialah ketaatan absolut terhadap kekuatan Allah dalam arti kekuasaan-Nya. Ia juga menyatakan bahwa tugas Nabi Muhammad ketika diutus ialah mendirikan pemerintahan Islam. Adapun ibadah dalam pengertian politik yang dipahami oleh Al-Maududi dimaksudkan sebagai pembersih jiwa dan sebagai persiapan pendidikan umat untuk tugas yang mulia yaitu memberangus dan menumpas hegomoni kekuasaan para penguasa tiran dan otoriter di muka bumi. Intinya politik sebagai subtansi dalam menafsirkan agama.
            Pada buku karangan Wahidudin Khan ini juga dipaparkan dalil-dalil yang dijadikan pijakan oleh Al-Maududi baik Al-Qur`an(diantaranya As-Syura: 13, Al-Maududi menafsirkan agama sebagai penegakan hukum-hukum Allah) maupun As-Sunnah(diantarannya hadits yang mengisahkan sifat Nabi Muhammad dalam Taurat:

   
وَلَنْ يَقْبِضَهُ اللهُ حَتَّى يُقِيمَ بِهِ الْمِلَّةَ الْعَوْجَاءَ بِأَنْ يَقُولُوا لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَيَفْتَحُ بِهَا أَعْيُنًا عُمْيًا وَآذَانًا صُمًّا وَقُلُوبًا غُلْفً

yang artinya  Allah tak akan mematikannya hingga Beliau meluruskan agama-agama yg bengkok agar hanya mengucapkan Laa ilaaha illallah yg dengannya akan membuka mata yg buta, telinga yg tuli & hati yg tertutup. Dengan hadits ini beliau berkesimpulan bahwa tugas Nabi ialah menegakkan din(hukum) sebagaimana yg telah dijelaskan jauh sebelum kedatangannya dalam kitab Taurat) yang kemudian dikritisi sedemikian rupa oleh Wahidudin Khan, yang pada akhirnya disimpulkan bahwa dalil yang dijadikan hujjah oleh Al-Maududi sama sekali tidak tepat ketika politik dijadikan alasan sebagai tafsir inti agama.
            Di akhir pembahasan penulis menyatakan dengan tegas bahwa tujuan penulisan buku ini bukanlah menunjukkan aib atau kesalahan seseorang tapi sebagai nasihat. Kesalahan yang fatal ialah penyimpangan makana agama (memfokuskan agama pada politik). Penulis juga sempat memberikan dua usulan pada Al-Maududi dan Jama`ah Islamiyah agar menarik pernyataan bahwa yang inti dari agama ialah masalah politik dan agar pengikut Jamaah Islamiyah tidak menjadikan buku-buku Al-Maududi sebagai tafsiran mutlak atas agama(namun kedua usulan ini samasekali ditolak mereka). Meski berbeda pendapat dengan Al-Maududi, penulis secara obyektif juga menghormati dan mengakui kelebihan keunggulan dan jasa Al-Maududi dalam perjuangan Islam.
            Secara umum dengan sangat ilmiah, penulis mengkritisi kesalahan-kesalah yang dilakukan oleh ustadz Al-Maududi. Namun yang disayangkan ialah tulisan hanya berkisar pada menunjukkan kesalahan, adapun solusi secara konkrit belum bisa diwujudkan. Seharusnya semangat untuk menunjukkan, mengingatkan kesalahan orang harus diimbangi dengan kemampuan untuk memberikan solusi sehingga akan menimbulkan kesan yang baik. Tapi secara umum penulis dengan sangat santun dan pada batas kapabilatasnya telah mampu mengurai dan menjelaskan maksud yang dituliskannya.
            Buku ini pas dibaca oleh aktifis gerakan Islam. Manfaatnya ialah sebagai semacam evaluasi internal apakah selama ini gerakan yang diatasnamakan Islam benar-benar berjalan sesuai dengan ril Islam atau jangan-jangan sudah terlalu jauh dari tujuan inti Islam.


Judul Buku                  : التَّفْسِيْرُ السِّيَاسِيُّ لِلدِّيْنِ [al-Tafsiru al-Siyaasiyu li al-Diini].
Arti Judul                    : Tafsir Politik atas Agama.
Kategori                      : Pemikiran / Ideologi.
Pengarang                   : Wahidudin Khan
Penerbit                       : Daru al-Risalah al-Rabbaniyah .
Alamat Penerbit           : Mishru Jadidah, Kairo, Mesir.
Edisi Cetakan              : Cetekan Pertama.
Tahun Terbit               : 1991 M / 1411 H.
Tebal Buku                 : 76 Halaman.


Harga Buku                 : -

Terlanjur Cinta

             Siang hari,  Salwa sedang dirundung bingung tak terbendung. Wajahnya sayu tak bersemangat, meratapi cinta yang tak `kan pernah teraih; mengeluhkan cinta yang tak `kan pernah tergapai meski hati terbuai. Bagaimana mungkin Ia bisa mendapat cinta Manna, kalau ternyata Manna sudah mempunyai kekasih. Ia terlanjur cinta, karena harapan dari Manna. Ketika akhirnya dia tahu bahwa keinginannya semu, Ia hanya membisu. Hanya bahasa tangis yang mampu menggambarkan kesedihanya. Semakin lama prahara cinta ini tertahan, semakin lama pula ia hanyut dalam arus derita. Ia tak lagi kuat menyangga. Ia mencoba mengurangi derita dengan mencurahkan pada bait-bait puisi:

TERLANJUR CINTA

Sebelum ku mengenalmu
Hati ini
Laksana sahara
Yang berliput panas
Terik mentari
Aku selalu merasa dahaga
Akan air kasih dan cinta

Sebelum ku mengenalmu
Jiwa ini
Laksana tanah
Yang beriring kering
Tandus tak terurus
Aku selalu merasa haus
Akan hujan kasih dan cinta

Sampai akhirnya
Kau datang ba` oase
Di tengah padang sahara
Yang mengobati
Dahaga jiwa
Yang lama tak bersemi

Sampai akhirnya
Kau datang ba` hujan
Di tengah tanah tandus
Yang menyejukkan
Haus hati
Yang lama tak terpenuhi

Harapan cinta dan kasih
Bertumbuh subur
Menyelimuti hati

Harapan cinta dan kasih
Berkembang pesat
Mendekap jiwa

Namun,
Betapa merana
Jiwaku
Ketika ku tahu
Bahwa kamu hanyalah
Fatamorgana
Yang mampu kulihat
Tapi tak kan tergapai

Namun,
Betapa sengsara
Hatiku
Ketika ku mengerti
Bahwa kamu
Hanyalah comberan
Yang mampu ku rasakan
Tapi tak kan menyuburkan

Ingin ku membencimu
Tapi hati ini
Terlanjur cinta

Ingin ku menghapusmu
Tapi jiwa ini
Terlanjur cinta

Politisasi Sejarah Dakwah

Written By Amoe Hirata on Kamis, 15 Januari 2015 | 08.31

Pada setiap perkumpulan manusia (pasti) ada dua sistem. Pertama sistem yang berkaitan dengan akidah (teologi). Kedua: Sistem yang berkaitan dengan kekuasaan. Umat Islam saat ini tertinggal dari umat-umat yang lain dalam hal sistem kekuasaan, akan tetapi umat Islam masih tetap unggul atas umat-umat yang lain dari hal sistem akidah (teologi). Hanya saja pemimpin-pemimpin kalangan islamis pada segenap penjuru dunia, tenggelam dalam konflik bersama bangsa lain pada sektor yang berkaitan dengan sistem kekuasaan di mana tidak dan tak akan kembali pada mereka sesuatu apapun melainkan kekalahan, kemunduran dan (pertumpahan) darah. Andai saja mereka menyingkir dari konflik yang tak produktif ini, kemudian (mengerahkan segenap tenaganya untuk) berdakwah pada bangsa-bangsa lain dalam bidang akidah (teologi) maka mereka tak akan menyaksikan sejarah mereka saat ini yang dipenuhi dengan kemunduran dan kekalahan, (kemudian) benar-benar berubah menuju sejarah kemenangan”. 
Demikian salah satu kalimat kunci buku yang ditulis oleh Wahidudin Khan yang merupakan ulama muslim dan pemikir dari India. Wahidudin Khan lahir di India pada tanggal 10 Oktober 1925. Ia merupakan Pemikir Muslim India kontemporer. Beliau memiliki pemikiran brilian yang berusaha mengharmonikan sistem salafi dengan sistem ilmiah dan filosofis. Dengan metode ini, ia berusaha berdialog dengan orang-orang atheis dan skular pada sejumlah besar dari karangannya. Karangannya memiliki keistimewaan sebagai berikut: menggabungkan antara kesederhanaan dan kedalaman sehingga (senantiasa) relevan dengan berbagai macam pembaca. Ia sangat terkesan dengan pemikiran Abu A`la Al-Maududi dan Abu Hasan An-Nadawi. 
Beliau memiliki karangan[1] yang banyak diantaranya yang berbahasa Inggris: Religion and Science. God Arises: Evidence of God in Nature & Science. In Search of God. Islam and Modern Challenges. The Way to Find God. The Quran, an abiding wonder. The Moral Vision : Islamic Ethics for Success in Life. Women Between Islam and Western Society. A Treasury Of The Qur'an. The Prophet Muhammad : A Simple Guide to His Life. ISLAM: THE VOICE OF HUMAN NATURE. Islam and the Modern Man. ISLAM: CREATOR OF THE MODERN AGE. Islam As It Is. A Treasury Of The Qur'an. Ada juga yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab diantaranya: al-Islam Yatahadda. Ad-Din Fi Muwaajahati al-`Ilmi. Hikmah ad-Din. Tajdid `Ulumu ad-Din. Al-Muslimun baina al-Maadhi wa al-Hadhir wa al-Mustaqbal. Khawathir wa al-`Ibar. dan buku yang sedang diresensi saat ini: Tarikhu ad-Dakwah Ila al-Islam.
            Buku ini membahas tentang: Sejarah dakwah Islam. Perlindungan melalui cara dakwah. Kesaksian sejarah. Pengakuan. Rencana kemanusiaan dan pengaturan ketuhanan. Kata yang menundukkan. Hijrah ke Habasyah. Islamnya Umar bin Khathab. Islamnya kabilah Yatsrib. Tersebarnya Islam di Madinah. Hijrah ke Madinah. Luasnya penyebaran Islam pasca perdamaian Hudaibiyah. Dakwah adalah kekuatan yang tak kan sirna dan terkalahkan. Perkembangan Islam di luar jazirah Arab. Islamnya penduduk Turki dan Saljuk. Islamnya Mongol dan Tartar. Dakwah merupakan kekuatan ba` mata air yang tak pernah kering. Islam di kepulauan Melayu. Dakwah Islam pada abad 20. Epilog.
Di awal pembahasan penulis menuturkan: “umat Islam yang menisbahkan diri pada Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wasallam maka konsekuensinya harus mengemban tugas Muhammad sebagai Nabi yaitu: Menjalankan tugas dakwah kepada Allah. Dakwah adalah tugas terpenting para Nabi dan Rasul. Nabi memang telah terputus, namun tugasnya akan senantiasa bersambung dan berjalan selama umat masih ada. Karena itulah tidak akan mungkin eksistensinya sebagai umat terwujud dengan tugas-tugas lain melainkan tugas Nabi. 
Tugas Nabi ialah mengantarkan risalah (pesan) Allah pada hamba-hamba-Nya. Inti dakwah Nabi ialah: Menyampaikan ilmu rabbani yang terpelihara dalam bentuk Al-Qur`an dan As-Sunnah kepada seluruh manusia supaya tidak ada kesempatan bagi satupun manusia ketika di akhirat untuk membuat alasan bahwa dakwah belum sampai padanya. Dengan demikian dakwah merupakan kewajiban inti umat. Akan tetapi dewasa ini kewajiban inti ini lebih banya dikesampingkan. Orang muslim pada umumnya sibuk dengan isu nasionalisme dan kesukuannya sehingga tugas dakwah termarjinalkan bahkan terdinding”.
Jarang sekali –kalau tidak boleh dikatakan tidak ada- buku secara khusus yang membahas tema sejarah dakwah Islam. Pasca masa khulafairasyidin orientasi kepenulisan cendrung pada hal-hal yang bersifat perang dan jihad. Bab jihad mesti bisa dijumpai pada setiap karangan Fiqih, namun tema khusus tentang sejarah dakwah tidak ada padahal dakwah adalah tugas inti umat Islam. Ini terasa sangat aneh memang. Malah yang menulis tema khusus mengenai hal ini adalah orientalis yang bernama Arnold dalam bukunya yang berjudul: Sejarah Dakwah Islam.
Kewajiban hakiki yang dibebankan pada pundak umat Islam ialah bangkit menyampaikan risalah Islam kepada umat yang bukan Islam. Kebanyakan umat Islam sibuk pada urusan membela diri (mengurusi masalah keamanan internal) sehingga tugas dakwah tak tersentuh bahkan terabaikan.  Hilangnya pemahaman tugas dakwah yang benar mengantar mereka pada kekeliruan anggapan berupa: usaha pembalaan internal dikategorikan sebagai dakwah Islam. Pemikiran semacam ini sama sekali tak ada hubungannya dengan Islam. Dari sudut pandang Al-Qur`an misalnya: perlindungan umat itu bergantung pada sejauh mana umat menjalankan dakwah, bukan sebaliknya. Perbedaan yang mencolok antara sejarah umat Islam masa lalu dan sekarang ialah terletak pada: Pada sejarah umat Islam masa awal tugas dakwah dijadika faktor dan acuan sebagai terjaminnya perlindungan umat. Sedangkan pada masa sejara modern sebaliknya perlindungan (keamananan internal dulu) diprioritaskan baru kemudian dakwah.
Dengan menjalankan dakwah Islamiah secara benar maka Allah pasti akan melindungu umat Islam/ Salah satu bentuk perlindungan Allah bermacam-macam:
I. Adakalanya komunikan dakwah menerima dengan baik, adakalanya justru menentang dan ingkar, dalam kondisi terakhir dakwah pasti dimenangkan(sebagaimana yang terjadi pada Nabi Hud dan Luth).
II. Dakwah Islam laksana gema fitrah manusia. Ketika dakwah disampaikan, sama halnya kita mengetuk pintu hati manusia. Biasanya ketika fitrah disentuh secara otomatis akan menyambut dengan baik. Kalaupun tak menerima secara formal, paling tidak ia akan menyarankan pada orang lain bahwa dakwah fitrah ini layak untuk dibantu dan ditolong. Seperti yang terjadi pada kisah Yusuf `alaihissalaam.
Secara normatif, Al-Qur`an membicarakan masalah ini: perlindungan akan didapat ketika tugas dakwah benar-benar dilaksanakan(Al-Maidah: 67). Jadi manusia akan dilindungi Allah ketika benar-benar menjalankan dakwah. Ketika yang terjadi sekarang pada umat Islam justru sebaliknya maka berarti mereka belum benar-benar menjalankan dakwah Islam secara benar atau bahkan sama sekali mengabaikannya. Jadi yang dijadikan fokis ialah dakwah pada Allah, adapun mengenai bahaya dan tantangan maka disikapi dengan menunggu dan sabar.
Supaya tidak rancu dalam memahami pengertian dakwah maka perlu ditekankan di sini bahwa yang dimaksud dengan kata ‘dakwah’ ialah menyebarkan Islam di kalangan non Islam. Dengan kata lain: menyampaikan risalah (pesan) Allah pada orang yang sama sekali belum menerima Islam. Kata ‘dakwah’, ‘tabligh’ maknanya hanya demikian. Adapun kata yang digunakan untuk sesama muslim ialah: tadzkir(peringatan), ishlah(pendamaian, perbaikan), tawaashi bi al-haq wa bi as-shabri(saling berwashiat pada kebenaran dan kesabaran), al-amru bi al-ma`ruf wa an-nahyu `ani al-munkar(menyuruh pada yang ma`ruf dan melarang pada yang mungkar), dan lain sebagainya. Bisa saja kata ‘dakwah` dan ‘tabligh’ dipakai untuk kalangan muslim tapi itupun hanya sebagai majaz(kiasan), tapi pada intinya makna dakwah ialah untuk non muslim.
Contoh sejarah dari Al-Qur`an: Kisah orang mukmin yang menyembunyikan keimanannya. Ketika sudah terpepet akhirnya ia menyampaikan kebenaran agama Musa hingga pada akhirnya ia dilindungi oleh Allah dari makar Fir`aun(Q.s. Ghafir: 38-45). Jaminan perlindungan dari Allah bagi orang yang berdakwah itu pasti. Cuman terlaksana tidaknya bergantung pada sejauh mana kita menjalankan dakwah dengan sebenar-benarnya. Jika berdakwah diiringi dengan hal-hal lain selain dakwak meski dinamakan dakwah ilallah maka jangan harap akan mendapat perlindungan dari Allah.
Dalam sejarah kita ketahui bahwa orang kafir dengan sekuat tenaga menghalangi dakwah Nabi. Diantara cara yang digunakan ialah: menawan, membunuh dan mengusir. Tapi rencana mereka sama sekali gagal. Karena takdir dan rencana Allah berkata lain. Dengan sangat halus melalui para dai, Islam bisa memikat hati orang-orang sekitar hingga menyebar luas. Di sini kita bisa menilai bahwa sejatinya dakwah Islam memiliki kekuatan/potensi taskhiri(daya pikat, pesona yang bisa meluluhkan dan menaklukkan hati).
Dalam perjalanan sirah nabawiyah daya pikat (tarik) ini bisa kita jumpai diantaranya pada kisah: Thufail bin ` `Amru Ad-Dausi. Kisah Ja`far bin Abi Thalib yang mewakili kaum muslimin sebagai jubir di depan Najasyi, dengan dakwah secara benar dan jujur pada akhirnya ia dan para sahabat lain terselamatkan. Berkat dakwah Nabi Umar masuk Islam sehingga Umat Islam yang sebelumnya ditindas, kemudian bisa lebih aman. Umar masuk Islam karena terpesona dengan dakwah adiknya Fathimah, ketika Umar membaca surat Thaha. Suwaid bin As-Shamit terpikat dengan dakwah Rasulullah ketika haji ke Makkah. Abu Al-Hasir Anas bin Rafi`(dari suku `Aus) juga demikian. Usaid bin Khudhair dan Sa`ad bin Mu`adz terkesima dengan dakwah Mush`ab bin `Umair lalu masuk Islam. Dakwah pula yang mempermudah jalan Rasul hijrah ke Madinah. Setelah Shulhu Hudaibiyah dakwah Islam semakin tersebar luas.
Yang membuat perkembangan Islam sedemikian pesat ialah kekuatannya dalam bidang dakwah, bukan politik. Pada hakekatnya kekuatan politik tidak mampu sama seakali mencapai sesuatu sebagaimana capaian dakwah. Seandainya kekuatan politik mampu mengubah manusia pada agama yang tak dipeluk, maka India, Pakistan dan Bangladhes niscaya menjadi agama Kristen.
III. Komunikan dakwah menyambut baik dan mengimani dakwah, bahkan siap untuk memperjuangkannya.
            Pada intinya menurut penulis bahwa ketika umat Islam fokus untuk menjalankan dakwah pada Allah maka peluang untuk mendapat perlindungan dari Allah lebih besar daripada menyibukkan diri pada hal-hal yang bukan inti seperti politik dan gerakan lainnya. Perjuangan Islam melalui ranah politik selalu mengalami kegagalan karena politik mengandung semacam konflik kepentingan sedangkan dakwah itu harus ikhlas karena Allah sebagaimana para Nabi. Ketika dakwah berisi kepentingan pribadi dan kelompok maka kemungkinan untuk diterima oleh komunikan dakwah sangatlah kecil.
            Dengan bahasa lugas dan sederhana penulis mencoba menyampaikan betapa orientasi dakwah Islam yang benar sudah sedemikan tertutupi, terdinding atau bahkan lenyap sama sekali. Ini diakibatkan ketika umat Islam sibuk pada hal-hal yang bukan dari inti Islam, seperti politik dan kekuasaan. Sejarah membuktikan, ketika fokus umat pada kekuasaan dan politik maka malah menimbulkan konflik baik internal maupun eksternal.
Akhirnya buku ini cocok dibaca bagi para aktifis dakwah Islam, atau setiap muslim yang ingin mengetahui lebih jauh bagaimana hakikat sejarah dakwah Islam serta seberapa jauh kaum muslim mengalami penyimpangan dari tugas utama yang harus dikerjakan sebagai penerus tugas Nabi. Secara umum penulis buku ini terhitung sukses dalam menyampaikan idenya, namun di sisi lain perlu pembahasan yang lebih rinci dan mendalam mengenai epistimologi dakwah Islam dan aspek-aspeknya di samping itu butuh pembahasan-pembahasan yang lebih aplikatif untuk mengatahu aspek apa saja yang diperbolehkan pada ranah politik dan apa saja yang tak dibolehkan sehingga akan mendapat kesimpulan yang lebih arif dan obyektif.

Judul Buku                  :  تَارِيْخُ الدَّعْوَةِ إِلَى الإِسْلاَمِ [Tarikh ad-Dakwah Ila al-Islaam].
Arti Judul                    : Sejarah Dakwah Islam
Kategori                      : Sejarah
Pengarang                   : Wahidudin Khan
Penerbit                       : Ar-Risaalah li al-I`laam al-Dauli
Alamat Penerbit           : Jl. Syaikh Muhammad Nadi No. 7 Makram `Abid, Madinah Nashr, Kairo, Mesir.
Edisi Cetakan              : Cetekan Pertama
Tahun Terbit               : 1992 M / 1413 H.
Tebal Buku                 : 73 Halaman
Harga Buku                 : -



[1] . http://ar.wikipedia.org/wiki/وحيد_الدين_خان
 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan