Peran Media dalam Sirah Nabawiah

Written By Amoe Hirata on Sabtu, 12 Desember 2015 | 20.19

           Perkembangan media yang demikian pesat, pada galibnya cendrung dibuat memecah belah umat. Mereka di-bully sedemikian rupa oleh pihak yang memusuhinya; bahkan, sesama Muslim pun -lantaran beda paham-, sering memanfaatkan kecanggihannya  untuk saling mengklaim sesat.
            Bagaimana sebenarnya peran media di zaman Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wasallam, sehingga sebagai Muslim kita bisa berkontribusi positif  untuk umat? Tulisan ini akan mencoba menguraikannya berdasar sirah nabawiah.
            Pada zaman Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wasallam, salah satu media yang paling berpengaruh di masyarakat ialah: sya`ir. Bahkan, beliau memiliki pakar dalam bidang ini, seperti: Abdullah bin Rawahah, Ka`ab bin Malik dan Hassan bin Tsabit.
            Dalam sirah nabawiah, media sya`ir digunakan umat Islam untuk: Pertama, pendorong semangat umat. Ketika menggali parit –sebagai persiapan perang Ahzab(5 H)-, Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam mendendangkan sya`ir: “Ya Allah tidak ada kehidupan[sejati], melainkan kehidupan akhirat, maka ampunilah kaum Anshar dan Muhajirin.” Dalam kondisi lapar, panas seperti itu, sya`ir yang disenandungkan beliau mempu membangkitkan semangat sahabat.
Kedua, menampilkan izzah umat. Saat Fath Makkah, di saf depan Abdullah bin Rawahah menyenandungkan sya`ir di hadapan para kafir Qurays. Terbukti, izzah umat menjadi terangkat.
            Ketiga, membela agama Islam. Ketika umat Islam dijelek-jelekkan oleh penyair kafir Qurays –pada pertempuran Badar dan Uhud- seperti: Hubairah bin Abi Wahab, Abdullah bin Za`bari, dan Dhirar bin al-Khattab. Dengan sigap Abdullah bin Rawahah, Ka`ab bin Malik dan Hasan bin Tsabit berdiri di garda depan membela Islam dan meluruskan anggapan miring mereka.
            Keempat, sebagai sarana perekat umat. Ketika Islam disudutkan dengan berbagai fitnah melalui media sya`ir, para penya`ir nabi bukan saja meluruskan, tapi merekankan umat supaya tak berpecah belah akibat pengaruh mereka.
            Kelima, untuk menjawab syubhat buatan musuh. Propaganda kafir melalui syubhat-syubhat yang dibuat untuk menghancurkan citra Islam dan Muslim, mampu dijawab dengan baik dengan media sya`ir yang dikuasai.
            Jadi, media pada zaman nabi digunakan untuk hal yang positif. Ia digunakan untuk pendorong semangat, menunjukkan izzah, membela agama Islam, perekat umat, dan meluruskan syubhat.
            Sebaliknya -pada zaman itu, bahkan sepanjang zaman-, orang kafir menggunakan media untuk hiburan, memecah belah, memfitnah, menjelek-jelekkan, bahkan menghancurkan yang haq. Mereka menggunakan media untuk hal-hal negatif.
            Masalahnya sekarang, media yang ada, sudah berperan (digunakan secara) efektif untuk menebar hal-hal positif sebagaimana di zaman nabi? Masing-masing dari umat Islam, seyogyanya mengevaluasi diri di tengah godaan media yang semakin canggih, dan rawan diselewengkan.

Wallahu a`lam bi al-Shawab.

Enam Sifat Pembentuk Muslim Hebat

Written By Amoe Hirata on Kamis, 03 Desember 2015 | 04.59

            Mungkin ada yang bertanya: mengapa al-Qur`an diturunkan di jazirah Arab? Jawaban intinya: Hanya Allah yang tahu. Tapi, sejauh yang kita bisa adalah mencoba menggali hikmah di dalamnya.
Salah satu hikmah yang bisa ditulis di sini ialah: di Arab ada enam sifat hebat yang melekat pada diri mereka. Siapa saja yang memiliki sifat itu –tentunya atas izin Allah-, pasti akan menjadi Muslim hebat.
Pertama, jujur. Kejujuran adalah sikap yang melekat pada orang Arab. Menurut tradisi mereka –pada zaman jahiliah- berbohong adalah aib besar. Maka pantas Abu Sufyan(saat kafir) tatkala dimintai keterangan oleh Raja Heraclius tentang Muhammad, dia tak mampu berbohong sedikit pun. Pasca Islam, Abu Bakar adalah salah satu sahabat yang mendapatkan gelar resmi kejujuran dari Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam.
Kedua, dermawan. Kedermawanan bagian mendasar dari sifat mereka. Walau tak punya, mereka akan memberikan sesuatu sebisa mereka. Misalkan ada satu unta, mereka tak akan segan menyembelihnya untuk menghormati tamu. Jangan heran jika sahabat sekaliber Abu Bakar, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin `Auf, saat masuk Islam begitu dermawan karena memang sudah menjadi karakter.
Ketiga, berani. Lingkungan yang sangat keras, membentuk keberanian. Jangan kaget jika mereka sangat biasa berperang, lantaran keberanian yang menjadi bawaan. Ketika menjadi Pejuang Muslim, lihat bagaimana Khalid bin Walid ra ketika perang, ia maju terlebih dahulu sebelum prajurit.  Bayangkan bagaimana Barra` bin Malik yang sengaja dilemparkan oleh prajurit Muslim ke benteng musuh di perang Yamamah. Dengan keberaniannya ia dilempar masuk, dan berusaha membuka gerbang musuh. Padahal di dalamnya ada empat puluh ribu orang murtad, yang melindungi Musailamah al-kaddzab.
Keempat, izzah. Sudah tertanam dalam mereka sifat izzah(terhormat). Bagi mereka, daripada hidup enak tapi hina, lebih baik hidup miskin tapi terhormat. Lihat bagaimana izzahnya Rib`i bin Amir ketika menyampaikan pesan ke Rustum. Meski baju sangat sederhana(bahkan tak layak), ia merasa terhormat, dan tak menunduk-nunduk di hadapan Rustum. Malah dengan mantap menyampaikan pesan pembebasan umat.
Kelima, sabar. Kekuatan sabar ini didukung oleh lingkungan yang keras. Sehingga, kesabaran sudah menjadi sifat melekat. Mereka yang ikut serta berjihad menumbangkan Persia, adalah para penyabar dan bergaya hidup bersahaja. Dalam al-Qur`an orang-orang yang sabarlah yang diizinkan Allah mendapat kemenangan. Bagaimana pasukan Raja Thalut yang sedikit tapi sabar mampu mengalahkan pasukan Jalut.
Keenam, tahan banting. Maksudnya, daya tahan mereka terhadap beban sangatlah dahsyat. Beban kelaparan, kehausan dan lain sebagainya sudah biasa dialami. Bagi yang ingin mengetahui ketahanan mereka terhadap beban, lihatlah kepada kaum Muslim selama 13 tahun di Makkah. Mereka yang tak berasal dari orang terpandang, disakiti sedemikian rupa oleh orang Musyrik. Semua itu tak membuatnya murtad. Lihat juga bagaimana ketika para sahabat menggali parit di Perang Ahzab. Mereka mampu menjalaninya –setelah pertolongan Allah- karena mereka tahan banting.
Bagi setiap Muslim, yang hendak membentuk Muslim hebat, maka keenam sifat itu wajib diupayakan sebagai tujuan pembinaan. Generasi yang jujur, dermawan, berani, terhormat, sabar dan tahan banting –sebagaimana sahabat nabi- adalah generasi hebat yang mampu membuat kejutan berskala peradaban.

Dengarkan ucapan tegas dari salah satu generasi hebat, Rib`i: “Kami adalah kaum yang diutus Allah untuk membebaskan hamba dari pengabdian makhluk menuju pengabdian Khalik.” Ia tujukan kata-kata itu kepada Panglima Persia, Rustum dengan mantap, tanpa rasa takut. Padahal, Persia ketika itu berjumlah sekitar dua juta, sedang Muslim Arab hanya puluhan ribu. Tapi lihat hasilnya, dalam jangka 13 tahun pasca wafatnya Rasulullah, imperium Persia jatuh ke tangan Muslim hebat. Kapan kehebatan itu berulang?

Penggembala Tersesat

Written By Amoe Hirata on Rabu, 02 Desember 2015 | 09.41

                 “Tidaklah Allah mengutus seorang nabi, melainkan sebagai penggembala domba.”(Hr. Bukhari, Ibnu Majah, dan Baihaqi). Sebelum diutus menjadi nabi, setiap dari mereka ditempa menjadi pemimpin dengan cara menggembala domba.
            Dalam kidung Sunan Kalijaga, ada lagu yang berjudul, “Lir Ilir”. Salah satu bait lagunya demikian: Cah angon, cah angon. Sebagai gambaran serupa tentang idiom kepemimpinan.
            Nabi Muhammad sendiri, sejak usia tiga tahun di lembah Bani Sa`ad, dan ketika berusia sepuluh tahun(membantu ekonomi Abu Thalab), sudah menjadi penggembala domba penduduk Makkah.
            Yang menjadi pertanyaan kemudian, mengapa penggembala dianalogikan sebagai pemimpin. Lalu, mengapa dipilih domba secara khusus?
            Al-Hafidz Ibnu Hajar al-`Asqalani dalam Fath al-Bari menyebutkan: “Hikmah diilhaminya para nabi menggembala kambing sebelum diutus menjadi nabi karena(supaya mereka pengalaman sebelum mengurus umat), jika mereka bisa bersabar dalam menggembala, mengumpulkan setelah berpencar di tempat penggembalaan, memindahnya dari satu tempat ke tempat lain, menjaganya dari musuh seperti binatang buas dan pencuri, mengetahui perbedaan karakter dan kebiasaan berpencarnya meski lemah, dan butuhnya kambing pada penjagaan.”
“Dengan demikian mereka terbiasa sabar atas kondisi umat, mengetahui karakter dan tingkatan akalnya, lalu menindak dengan tegas yang keras kepala, bersikap lembut dengan orang lemah, dan menjaganya dengan baik. Dengan terbiasa menggembala sejak dini, maka akan memudahkan beban mereka. Karena telah terbiasa dengan bertahap menggembala kambing.”
            “Secara khusus, kambing dipilih karena (beberapa alasan): sebagai hewan yang paling lemah dibanding lainnya, lebih banyak tercerai berai daripada unta dan sapi(karena unta dan sapi mudah dikontrol dengan tali sebagaimana adat yang biasa terjadi). Meski kambing sangat mudah terpencar-pencar, namun paling cepat patuh dari pada selainnya.”(Fath al-Barai, Ibnu Hajar, 7/99).
            Sebagai catatan penting, gembalaan di sini adalah ghanam(domba, kibas), bukan kambing. Biasanya kibas digembala dengan jumlah banyak. Hanya orang-orang yang sabar, ulet, tekun, dan lebut yang mampu menggembalanya.
            Sekiranya para pemimpin dipilih berdasarkan kualifikasi pengalamannya sejak kecil dalam hal menggembala, maka tak akan sukar dalam memimpin rakyat. Sayangnya, sekarang yang menjadi acuan sebagai pemimpin adalah uang, popularalitas media, kemitraan dan hal wadak lain, meski sejatinya tak memenuhi syarat sebagai pemimpin.
            Maka jangan heran jika terjadi kekacauan di sana-sini. Yang sebenarnya penggembala ternyata butuh digembala, sedangkan yang digembala merasa sebagai penggembala. Penggembala mengembek, domba pun menyabda. Pemimpin seperti ini, tak ubahnya sebagai PENGGEMBALA TERSESAT.

Wallahu a`lam.

Selendang Bidadari

Written By Amoe Hirata on Rabu, 25 November 2015 | 14.04

             Aku bercermin pada kaca rindu. Tampak indah wajahnya, serupa bidadari surga. Hati bergetar tak karuan, menanti sungging senyuman, sang wanita idaman.
                Apa daya, laksana pepohonan dan bumi, kadang ku bisa menyatu dengan bidadari. Ada pula masa, laksana langit dan bumi, minyak dan air, bidadari tak bersamaku.
          Saat jauh, hanya selendang cinta, yang ku pegang erat. Aroma wanginya, membuat ku bertekad: Aku akan menunggu hingga kau datang mendekat.
       Bidadariku, kalau ada kata yang mampu mewakili kerinduanku, maka tak lain selendang sucimu, yang mengikat cinta kita menjadi halal menyatu. Bidadariku: “I love you.”

Benarkah Kita Pengikut Muhammad?

Written By Amoe Hirata on Rabu, 04 November 2015 | 13.25

Dalam buku kumpulan esai yang berjudul, Surat Kepada Kanjeng Nabi(hal. 32, terbitan: Mizan, 2015), ada pernyataan menarik yang ditulis Budayawan Muslim, Emha Ainun Nadjib:
“Di negeri kami ini, umatmu berjumlah terbanyak dari penduduknya. Di negeri ini, kami punya Muhammadiyah, punya NU, Persis, punya ulama-ulama dan MUI, ICMI, punya bank, punya HMI, PMII, IMM, Anshor, Pemuda Muhammadiyah, IPM, PII, pesantren-pesantren, sekolah-sekolah, kelompok-kelompok studi Islam intensif, yayasan-yayasan, mubalig-mubalig, budayawan, dan seniman, cendekiawan dan apa saja”.
Ia pun memungkasi, “Yang tak kami punya hanyalah kesediaan, keberaniaan, dan kerelaan sungguh-sungguh untuk mengikuti jejakmu.”
Pernyataan Budaayawan yang akrab dipanggil “Cak Nun” di atas, ternyata masih relevan –meski ditulis di era sembilan puluhan- dengan kondisi umat Muslim saat ini, baik di Indonesia maupun di luar negeri.
            Pada kulit permukaannya, setiap Muslim –apapun aliran, kelompok dan golongannya- pasti mengaku mengikuti jejak Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wasallam. Masalahnya –bila dilihat di lapangan- ada beragam warna kontras dalam memanivestasikannya, sehingga mengesankan ajaran yang dikotomis.
            Ironisnya,  masing-masing –yang masih dalam payung Islam- merasa paling mewakili, bahkan bangga terhadap mereka terhadap kelompoknya yang dianggap ittibā`(mengikuti) Kanjeng Nabi(Ini sesuai dengan, Al-Mu`minun: 53 dan Ar-Rum: 32).
            Sikap demikian membuat gambaran nabi menjadi tak utuh, ajarannya pun terpenggal-penggal.
Yang berjuang melalui jalur budaya, melihat sepak terjang nabi hanya pada kebijakan-kebijakan kultural, sehingga ajaran-ajaran beliau yang lain tak begitu dihiaraukan. Yang  berjuang dengan orientasi politik, menakar nabi dengan sudut pandang politik, sehingga ajaran agung lain dari beliau tidak begitu diperhatikan.
            Yang berjuang pada orientasi pemurniaan akidah dan syari`at, kadang tak peduli terhadap masalah politik dan kehidupan sosial umat. Ada juga yang berkeliling-keliling daerah, meneladani dakwah nabi, sehingga yang dipentingkan adalah dakwah ke luar daerah untuk menyampaikan ajaran-ajaran syariat nabi(seperti: Rukun Islam), di sisi lain tak peduli pada politik.
            Bahkan ada juga yang memilihnya dengan cara pandang subtantif. Misalkan, Islam itu adalah agama cinta, maka tak dibenarkan kekerasan atas nama agama. Tanpa sadar membiarkan saudara Muslim dianiaya, (bahkan membela) aliran-aliran menyimpang, di sisi lain berusaha menutup-nutupi ajaran jihad yang ada dalam Islam(karena khawatir dicap teroris).
            Di sisi lain ada juga yang mau mengikuti Muhammad, dan Islam asalkan bersumber dari kalangan Ahlul Bait sehingga menafikan yang lainnya.
            Semua mengaku mengikuti nabi, mencintainya, padahal gambaran mereka tentang nabi masih dikotomis, tidak kaffah. Gerakan-gerakan yang ada hanya menggambarkan sudut sempit di mana nabi bergerak, belum benar-benar menunjukkan nabi yang utuh. Maka jangan heran jika sampai sekarang umat Islam belum menyatu, karena masing-masing berjuang sesuai dengan tafsir dan kecendrungannya.
            Suatu saat Mutsannah bin al-Haritsah(sesepuh Bani Syaiban) memberi penawaran menarik pada Rasulullah. Ia dan sukunya mau membela, mengikutinya asal di kawasan Arab saja. Rasul pun dengan tegas dan penuh adab menolak, sembari berujar: “Sesungguhnya agama Allah ta`ala tidak akan ditolong oleh-Nya, melainkan orang yang (mau memperjuangakan) segenap sisinya,”(al-Sirah al-Nabawiyah wa akhbaru al-Khulafa, Ibnu Hibban, 1/101).
            Peristiwa itu mengajarkan pelajaran penting: jika mengaku mengikuti nabi, memperjuangkan Islam, maka harus pada segenap sisinya.
Mengambilnya sepotong-sepotong hanya akan membuat Islam jadi rancu. Akibatnya, persatuan umat sulit terwujud. Umat lain pun dengan mudah mengadu domba umat Islam.
Syaikh Mutawalli al-Sya`rawi dalam salah satu ceramahnya menyatakan, ‘Tidak mungkin sesama yang haq akan bertentangan, yang memungkinkan bertentangan adalah jika sama-sama bathil, karena jika yang hadir benar-benar haq(sesuai, Qs. Al-Isra: 81) maka kebatilan pasti lenyap.
Pertanyaannya sekarang ialah: masing-masing golongan apa sudah pada posisi yang haq? Benar-benar menggambarkan Nabi Muhammad dan Islam secara menyeluruh? Jika di lapangan masih banyak terjadi perselisihan destruktif sesama umat Islam, maka masing-masing (dengan rendah hati) harus mengevaluasi diri.
Mari mengikuti Muhammad shalallahu `alaihi wasalam dan Islam dengan segenap sisinya, supaya kita ditolong Allah, dan persatuan pun bisa terwujud.

Wallahu `alam bi al-Shawab.

Jatuh Cinta Setiap Hari

Written By Amoe Hirata on Selasa, 03 November 2015 | 04.12

            Bagi setiap pasangan yang baru menikah -pada umumnya-, malam pertama adalah malam yang sangat indah. Waktu yang panjang terasa pendek; badan capek terasa rileks; jiwa nestapa terasa bahagia. Bunga cinta indah merekah; hati dan jiwa diliputi kebahagiaan yang membuncah.
Demikian juga Pandu yang sedang asyik menikmati malam pertamanya dengan Kumala Hati Mutiara, laiknya kumbang menikmati bunga merekah.
Tapi, ada pertanyaan serius yang ditanyakan Kumala kepada Pandu: “Mas, bagaimana caranya agar bisa jatuh cinta setiap hari, sebagaimana malam pengantin kita?”.
            Pandu tak menyangka mendapatkan pertanyaan itu. Memang terdengar sederhana, namun sarat makna. Kebanyakan orang mungkin hanya berhenti pada kenikmatan cinta di bulan madu. Tapi, kalau mau dikejar lebih jauh: apakah cinta yang dibina hanya berbalut nafsu sesaat sehingga membuat cinta menjadi rentan ‘berkarat’, atau berbalut kesadaran relung hati yang membuat cinta bertumbuh setiap hari?
Maka sangat wajar jika Kumala menanyakannya. Yang ia harapkan bukan cinta sementara, dan biasa. Dara cantik itu menghendaki cinta hakiki, yang mampu bertahan menuju ridha ilahi.
            Sejenak ia berfikir, berusaha mengumpulkan bahan-bahan keilmuan yang selama ini didapat, untuk menyediakan jawaban yang tepat.
“Sayang! pertanyaanmu sungguh luar biasa. Cinta saja berabad-abad masih diperdebatkan maknanya, apalagi cara untuk mempertahankannya pasti lebih sukar. Meski begitu, aku akan mencoba –sekadar mampu- untuk menjawab pertanyaan sebagus itu.”
            “Kamu tahu Dik, bagaimana cinta Nabi Muhammad kepada Khadijah?” tanya Pandu. “Emmmm, ndak ngerti Mas. Setahuku sih nabi sangat setia dan tak pernah menduakannya selama hidup bersama.”.
“Ya, memang cinta nabi kepadanya adalah cinta setia. Namun lebih dari itu, api cinta nabi pada Khadijah senantiasa membara sampai ia tiada?.” Tanya Pandu. “Sepertinya begitu Mas,” jawabnya sekenanya.
“Dik! Suatu saat Aisyah cemburu. Gara-gara nabi sering menyebut-nyebut nama Khadijah dan amat peduli dengan kerabatnya. Ia berseloroh, Apa tidak ada wanita lain selain wanita tua yang sudah meninggal dunia itu?’. Singkat cerita nabi tersinggung, sehingga menunjukkan kelebihan-kelebihan Khadijah.”
            “Ada beberapa alasan penting –sesuai dengan riwayat hadits- yang bisa dijabarkan disini: mengapa cinta nabi terhadap Khadijah masih bersemayam di dalam hati?.” Pandu mulai menjelaskan.”
Pertama, cinta nabi pada Khadijah adalah karunia ilahi. Nabi menanggapi Aisyah, ‘Sungguh aku dikaruniai cintanya (Khadijah)’(Hr. Muslim). Ya. Cinta yang berasal dari karunia ilahi adalah cinta suci. Ia mencintai bukan karena hawa nafsu sesaat, tapi karena bimbingan dan anugerah ilahi.
Kedua, nabi dikaruniai anak dengan Khadijah(Hr. Bukhari). Cinta sejati tak berhenti pada romantisme semu. Apalah arti cinta, jika tidak ditujukan untuk melahirkan generasi. Maka ada istilah ‘buah cinta’. Maka sangat wajar cinta nabi masih menyala, karena bersama Khadijah mendapat buah cinta.”
Ketiga, cinta nabi pada Khadijah adalah cinta misi atau cinta berdasar nilai hakiki. Ketika Aisyah mengatakan bahwa nabi telah dikaruniai ganti cinta yang lebih baik, beliau menjawab, ‘Allah tidak mengganti yang lebih baik darinya. Ia beriman di saat orang-orang kafir. Membenarkanku, di saat yang lain mendustakanku. Menolongku dengan hartanya, di saat orang lain mencampakkanku.”(Hr. Ahmad).
Di sini jelas posisi cinta nabi pada Khadijah. Bagi beliau Khadijah bukan semata materi, tapi nilai hakiki. Khadijah selama hidupnya mampu menjadi mitra terbaik dalam berdakwah. Sebagai istri ia bukan saja mampu menjadi pelipur lara bagi suaminya, namun ia juga mengorbankan segenap miliknya demi perjuangan dakwah. Maka tak mengherankan jika sepanjang zaman, ia selalu berkesan.”
“Intinya apa Mas. Aku masih kurang paham,” tanya Kumala dengan manja. “Dari kisah nabi tadi, ada beberapa hal penting yang harus dilakukan agar cinta menjadi langgeng atau dengan kata lain, agar jatuh cinta setiap hari.”
“Emang apa saja Mas? Aku sudah tak sabar mendengarnya.” “Hehehe, kamu ini. Semakin manja, kamu semakin cantik dan imut.
Pertama, Dasari cinta karena, dan berdasarkan Allah ta`ala. Cinta karena Allah adalah cinta yang tulus mengharap ridhaNya. Cinta berdasarkan Allah adalah cinta berbingkai rambu-rambu yang telah ditetapkan Allah.  Cinta Rasul dengan Khadijah langgeng, karena dibangun berdasarkan cinta tulus pada Sang Maha Agung.”
Kedua, memiliki visi dan misi yang jelas. Nikah dalam Islam `kan memiliki visi dan misi yang jelas. Nikah bukan sekadar luapan hawa nafsu, tapi adalah sunnatullah yang harus dituju. Tujuannya jelas, di antaranya: untuk melestarikan keturunan, melaksana titah Tuhan. Dengan Khadijah Rasul dianugerahi keturunan, maka wajar jika cinta keduanya konstan.”
Ketiga, diuji dalam kehidupan nyata. Cinta karena Allah yang dibarengi dengan visi-misi yang baik, pada akhirnya perlu pengujian. Sebagaimana Khadijah yang mampu lulus ujian cinta, dengan pengorbanan luar biasa. Ia sebagai ibu yang baik bagi anak-anaknya; penentram jiwa suaminya; penyokong dan pendukung terbaik suami di kala suka maupun duka. Semua itu –sekali lagi- perlu diuji. Sebagaimana emas ditempa dalam bara api, untuk memperoleh kualitas tinggi.”
“Intinya sayang, jika kita ingin jatuh cinta setiap hari, maka cinta kita harus melampau materi(bukan karena: tampan/cantik, harta, keturunan meskipun ketiganya memangg penting) karena ia akan lenyap bersama waktu, tapi cinta berdasar nilai hakiki akan menjadi abadi hingga di akhirat nanti.”
“Khadijah selalu dikenang, karena ia adalah pejuang, penyayang, penyokong, tahan menghadapi ujian yang menghadang. Maka jangan heran jika cinta Rasul padanya selalu bertumbuh setiap hari. Ingat kata-kata Rasul mengenai dirinya: “Aku telah dianugerahi Allah cintanya(Khadijah)”. Rasul mampu memelihara anugerah cinta dengan sebaik-baiknya.” Pungkas Pandu.
Kumala pun menimpali, “Mas dengan jawabanmu yang begitu berkesan dan menawan, rasanya cinta ini bertambah kuat berkelindan. Ya Allah, terima kasih telah menganugerahiku suami shalih. Uhibbuka fillah(aku mencintaimu karena Allah).”
Uhibbuki aidhan fillah(aku mencintaimu juga karena Allah).” dengan mesrah Pandu membalasnya.
Dalam balutan cinta suci, Pandu dan Kumala Hati sama-sama berkomitmen tinggi: menjaga cinta bertumbuh setiap hari. Tentunya, dengan usaha prima dan pertolongan Sang Maha Pencinta.

Wallahu a`lam bi al-Shawāb.

Memaknai Tahun Baru Islam

Written By Amoe Hirata on Rabu, 14 Oktober 2015 | 04.52

Bila tahun baru Islam
Berhenti pada perayaan
Maka masa silam
Tinggallah kenangan

Nilai inti
Dari tahun hijriah
Adalah kebulatan hati
Untuk senantiasa berpindah

Dari kegelapan menuju cahaya
Dari kezaliman menuju keadilan
Dari kebencian menuju cinta
Dari kemaksiatan menuju ketaatan

Hanya dengan begitu
Kita kan menjadikan
Umat Islam maju
Sebagai mercusuar peradaban

Logika Alif Lam Mim

Written By Amoe Hirata on Selasa, 29 September 2015 | 05.03

Alif Lam Mim merupakan bagian dari huruf muqothtoah yang ada dalam ayat al-Quran. Kita akan membahas kandungan huruf muqottoah itu secara logis. Pada kesempatan kali ini hanya akan dibahas Alif Lam Mim saja karena sudah teranggap mewakili dari kesekian huruf muqatta`ah yang ada.

Alif Lam Mim merupakan nama huruf dari notasi suara Aa, La dan Ma. Perlu diketahui bahwa pengetahuan tentang bunyi huruf itu sama-sama diketahui oleh masing-masing orang, baik yang buta huruf maupun yang tidak buta huruf. 

Pertanyaanya sekarang ialah: "Selama ini nabi dikenal ummi(tidak bisa baca tulis), lalu kenapa dalam huruf-huruf muqottoah beliau membaca dengan nama-nama huruf, sedangkan pengetahuan tentang nama-nama huruf hanya diketahui oleh orang yang belajar?." 

Jadi logikanya, jika nabi seorang ummi dan mampu melakukan kemampuan orang yang bukan ummi berarti ia telah mendengar kata itu dari Allah langsung, ini juga menegaskan kemu`jizatan al-Quran.  



Penalaran matematisnya demikian:


Kenal huruf+Bisa menyebut nama huruf= Biasa
Buta huruf+Bisa menyebut nama huruf= Luar Biasa

Konklusi= Yang bisa membuat orang biasa  menjadi luar biasa hanyalah zat yang maha luar biasa(Allah). Ini mengindikasikan bahwa al-Quran yang dibawa Muhammad adalah benar-benar wahyu dari Allah ta`ala.



wallahu a`lam

QURBAN: Sebagai Stabilitas Sosial

Written By Amoe Hirata on Kamis, 24 September 2015 | 11.17

Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.(Qs:al-Haj, 37)
Sebelum Islam, ketika masyarakat Arab jahiliyah melakukan penyembelihan untuk berhala-berhala. Darah-darah yang mengalir dari sembelihan itu dilumurkan pada berhala-berhala itu. Seakan-akan mereka berkata: “Kami telah menyembelih untukmu, inilah darah sembelihan”. Perbuatan ini menunjukkan kepandiran dan kebodohan mereka. Mengapa demikian? Mereka berpendapat jika berhala-berhala itu tidak dilumuri darah maka mereka tidak akan tahu kalau sembelihan itu hanya diperuntukkan berhala.
Disini Allah memperingatkan pada permasalahan tadi:(”Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah....). Artinya Allah tidak akan mengambilnya sedikitpun karena pada dasarnya Dia sangat mampu memberikan kaum faqir --yang kau disuruh memberi kepada mereka -- dan Dia juga mampu menjadikan mereka bukan faqir sepertimu.
Allah hanya menginginkan terjadi keseimbangan pada masyarakat yang notabene berbeda dalam status kaya dan miskin. Masyarakat bukanlah alat mekanik yang berjalan hanya pada satu irama. Ia merupakan kehidupan manusia. Maka seharusnya berdiri berlandaskan keperluan dan saling menyempurnakan.
Fenomena ini mengharuskan terjadinya tingkatan dan perbedaan diantara manusia, kemudian ‘syariat langit’ ikut serta, lalu diambilah harta dari orang yang kuat untuk orang lemah, dari orang kaya untuk orang miskin,,,,Dengan demikian disaat itu juga kita telah melenyapkan perasaan dengki, penyimpangan, kebencian dan pemberontakan.
Ketika orang kuat memberi orang lemah dari kekuatanya maka orang lemah itu tidak akan dengki kepadanya, dan akan selalu didoakan tetap langgeng olehnya, karena kebaikan yang diperoleh orang kuat akan dikembalika pada orang lemah. Ketika si kaya mendermakan hartanya pada orang fakir maka hal itu akan mendamaikan hatinya dan itu dapat memberangus sifat iri dan dengki seraya berdoa:” semoga Allah melanggenglan nikmat yang diberikan pada si kaya”.
Perbedaan tingkat ini seharusnya sebagai perwujudan dari sabda rasulullah shallallhu alaihi wassalam: “Orang mukmin yang satu dengan yang lain bagaikan bangunan yang kokoh, yang satu sama lain saling menguatkan”(Muttafaqun `alaih).
Karena itulah kita melihat jika orang kaya yang biasa berderma ditimpa bencana orang-orang lain akan ikut bersedih dan merasa sakit atas bencana yang menimpa hartanya, ini karena harta dan kebaikannya terlimpah pada mereka. Penduduk desa hingga saat ini ada kebiasaan dimana seorang yang memiliki sapi atau kerbau memerah susunya untuk dibagi-bagikan kepada para tetangga dan orang yang sedang memerlukanya. Maka tak heran jika mereka mendoakan untuknya agar hartanya senantiasa diberkati Allah. Jika pemberi itu ditimpa kejelekan maka secara spontan mereka akan bersedih karenanya.
Jadi: Jika engkau mendermakan nikmat Allah yang diberikan untukmu pada orang yang tidak mampu maka hal itu akan menjaga dirimu dari banyaknya rasa iri dan dengki. Jika engkau tidak melakukan hal itu maka akan terjadi musykilah pada dirimu.
Allah berfirman:(”tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya...) Bertakwa kepada Allah berarti mengikuti manhaj-Nya. Ketaatan pada Allah itu diraih dengan mengikuti manhaj dan tidak bermaksiat, berdzikir tidak lupa, bersyukur tidak kufur.
Cara taat itu dengan jalan mengikuti manhaj:” lakukan(perintah)” dan “jangan lakukan(larangan)” kemudian ia mengingat dan tidak melupakanya; ini karena terkadang ada hamba yang taat pada Allah dan melaksanakan manhaj-Nya, tapi nikmat yang diberikan Allah malah menyibukkan dirinya dari mengingat Allah. Sedangkan manhaj mengajakmu selalu ingat bahwa setiap nikmat yang telah diberikan oleh-Nya. Jangan sekali-kali kau melupakan nikmat Sang Pemberi nikmat.

Kemudian Allah berfirman:”( Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-muhsinin(orang yang berbuat baik”.) Maksudnya ialah supaya engkau mengingat dan bersyukur atas segala taufiq yang diberikan oleh-Nya berupa menjalankan ketaatan hanya untuk-Nya. Maka berilah kabar gembira pada orang-orang muhsin. 
Muhsinin merupakan bentuk plural dari kata muhsin, sedangkan ihsaan merupakan martabat keimanan yang tertinggi. Ihsan itu ialah hendaknya engkau berbuat baik melebihi apa yang telah diwajibkan Allah padamu. Jadi intinya kebaikan yang dilakukan bukan hanya kewajiban tetapi lebih dari kewajiban dan tetap dalam bingkai manhaj Allah(Disarikan dari Tafsir Sya`rawi).

Menyongsong Hari Tasyriq

Written By Amoe Hirata on Senin, 21 September 2015 | 11.29

           Sebentar lagi Hari Raya Idul Adha akan kembali hadir. Tentunya, masyarakat Muslim pada umumnya sudah menyiapkan sedemikian rupa mengenai ritual tahunan khas Idul Adha, yaitu: penyembelihan hewan kurban.
 Penyembilihan hewan kurban, berawal dari kisah ‘Kekasih Allah’, Ibrahim yang dengan ikhlas mengurbankan puteranya demi menaati titah Tuhan. Pengurbanannya tidak sia-sia. Bapak Para Nabi itu dibalas dengan dua balasan sekaligus: Pertama. Puteranya selamat, tak jadi mati. Kedua, diberi ganti lebih baik: kambing gemuk.
            Merupakan suatu pelajaran berharga bagi setiap Muslim, bahwa ketaatan membutuhkan bukti totalitas pengurbanan.
Atas nama ketaatan, semua kepentingan harus disembelih. Justru dengan cara demikian, keselamatan dan anugerah besar akan didapatkan, selama dibangun dengan fondasi keikhlasan.
Peradaban besar apapun namanya tidak pernah lepas dengan pengurbanan. Semakin besar pengurbanan, semakin besar peluang untuk memajukannya.
Warga Jumeneng dengan diskusi bulanan di Pendopo Al-Ikhlas, kali ini mencoba mengelaborasi makna yang terkandung dari Idul Adha. Alasannya jelas: agar mereka tidak terkukung dalam pemahaman yang terlalu ideal, tapi tidak sampai mencambuk kesadaran jiwa dan mental untuk beramal.
Alangkah herannya mereka. Setelah diskusi yang dimoderatori Markoden, dan dinarasumberi Markemol, justru Sarikhuluk lebih menukik pada apa yang tidak begitu diperhatikan oleh kebanyakan orang pada momen Idul Adha.
Pria yang dikenal dengan kearifannya itu justru lebih tertarik mengangkat tema tentang Hari Tasyriq(11, 12, 13 Dzul Hijjah).
“Berkurban dalam Idul Adha sudah terasa sangat biasa. Filosofi nilainya sudah sangat mengakar pada batin umat. Sayangnya tak sampai membangkitkan ghirah mereka untuk melakukan amalan-amalan yang diilhami olehnya.” Begitulah Sarikhuluk memulai statemen dengan seringai khasnya.
“Apa yang kalian pahami tentang Hari Tasyriq?” Ia mulai menyambuk kesadaran peserta diskusi dengan pertanyaan mencerahkan. “Apa ya?” “Tidak tauuuuuuuuuu,...” “Lho itu `kan hari tenggang waktu untuk diperbolehkannya penyembelihan hewan kurban. Lha apa istimewanya? Bukankah yang utama disembelih adalah pas pada waktu 10 Dzul Hijjah.” “Tasyriq itu ya pesta makan daging Cak, hehehe” Begitulah pandangan variatif dari peserta yang berusaha menjawab pertanyaan menukik dari Sarikhuluk.
“Ingat poro dolor(para saudara)! Tidak mungkin Hari Tasyriq hanya dijadikan bagian sekunder dari Idul Adha. Justru ia adalah bagian penting darinya. Ada beberapa nilai yang terkandung di dalamnya. Tapi, sebelum aku menjelaskannya, ada beberapa makna dasar yang perlu kalian ketahui,” Sarikhuluk mencoba menggiring diskusi lebih dalam.
“Kata ‘TASYRIQ’ berasal dari kata syarraqa-yusyarriqu-tasyrīqan, artinya pencahayaan matahari dari timur. Orang Arab dulu memiliki kebiasaan membuat dendeng daging dengan cara menjemur daging melalu cahaya matahari yang terbit dari timur,” tambahnya.
“Lha terus maknanya apa Cak?” Tanya Sarijan penasaran. “Kalau berbicara masalah tasyriq, usahakan jangan hanya terpikir pada masalah wadag, artifisial(meskipun pada waktu itu kita dilarang puasa dalam arti tak makan dan tak minum sebagaimana puasa biasanya). Ojo mikir badokan(makanan) saja. Tapi lebih menelusup ke dalam filosofi nilainya!”
“Ada yang perlu diurai di sini. Pertama, kata syarqun(timur) sebagai landasan filosofi tasyriq. Matahari bangkit itu dari barat apa timur?” “Yo timur lah Cak. Kaya` pertanyaan anak TK saja,” gerutu Paiman.
“Ingat!ojo nesu dilek(jangan marah duluh). Artinya, Timur mengandung arti KEBANGKITAN. Matahari terbit menunjukkan awal pagi, manusia pada umumnya pada waktu pagi adalah waktu yang segar dan semangatnya untuk bekerja. Pagi juga mengandung makna: vitalitas, fresh, semangat, antusias, kehangatan dan kebangkitan. Jadi nilai yang bisa diambil dari sini adalah: KEBANGKITAN.”
Kedua, cahaya mentari. Orang bangkit itu butuh cahaya murni. Sebagaimana cahaya matahari yang timbul dari dirinya sendiri(bahasa fisika. Bukan bulan yang dapat cahaya dari matahari) meskipun sejatinya ya berasal dari Allah. Artinya apa?” “Yo mboh Cak. Tambah mumet aku” sahut Sukidi.
“Orang bangkit itu butuh cahaya nilai yang melatari kebangkitannya. Nilai-nilai itu dibutuhkan sebagai kompas kehidupannya. Lha gimana orang bisa sampa tujuan kalau tidak memiliki petunjuk arah? Yang paling relevan dengan Idul Adha begini: Untuk menuai kebangkitan, kita perlu CAHAYA PENGORBANAN, laiknya Ibrahim dan Ismail.”
Ketiga, transformasi materi menjadi ruhani. Daging yang disembelih, yang dijadikan dendeng atau apaun namanya, pada intinya bukan berhenti pada ranah materil(pemuasan nafsu makan, perut dll). Ia harus bisa ditransformasikan menjadi nilai ruhani, spiritual. Penyembelihan dimaksudkan untuk kepedulian sosial, semangat untuk berbagi dengan orang yang tidak mampu, sehingga, materi bisa bernilai rohani,”
“Dengan kata lain, tasyriq mengandung nilai: pendendengan materi menjadi rohani. Maka tidak heran jika Allah dawuh, “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.”(QS. Al-Haj: 37). Harta kita perlu dikurbankan untuk kepentingan yang bernilai ruhani: TAQWA. Bila tidak, kita hanya melakukan kesia-siaan dalam hidup.”
“Kalau manusia hanya berhenti pada hal wadak, apa bedanya dengan badak? Jika manusia hanya berkutat pada makan, apa bedanya dengan hewan? Manusia dikatakan manusia karena mempunyai akal yang bisa menaikkan derajatnya dari taraf materi menuju ruhani. Dalam Idul Adha –di balik makna tasyriq- terkandung filosofi seperti itu.”
“Sederhananya begini Rek, Hari Tasyriq mengandung pelajaran: Jika kamu mau bangkit pada segenap level kehidupan, hendaknya kamu berani berkurban. Wujud konkretnya ialah mengubah harta(apa saja materi yang kita punya) menjadi bernilai ruhaniah. Maksudnya ruhaniah adalah untuk mengabdi pada Sang Pencipta. Ini berarti, yang namanya orang ber-tasyriq adalah orang yang naik kelas derajat dari materi menuju rohani. Hubungannya horisontal sesama manusia dan makhluk lain oke, apalagi hubungan vertikal dengan Tuhan, jauh lebih oke. Ngunu lo Rek. Tapi jangan langsung percaya. Kalian harus menggali lagi.”
Ada yang bertanya: “Cak peristiwa tasyriq ini apa sama dengan kisah Narada yang menceburkan tubuh Tetuka(yang kemudian bernama Gatutkaca) ke dalam Kawah Candradimuka? Yang kemudian menjadi sakti mandraguna (naik derajat dengan penempaan luar biasa) sebagai jagoan para dewa?”

Ketika mau menjawab, ternyata Sarikhuluk ada tamu penting dari pemerintahan yang ingin membahas tentang ASAP dan ROKET. Sarikhuluk pun undur diri, diskusi diserahkan kembali pada Markoden.

Menyikapi Bencana Secara Proporsional

Written By Amoe Hirata on Selasa, 15 September 2015 | 04.45

Amoe Hirata
            Musibah jatuhnya crane(alat derek)  perluasan masjidil Haram beberapa waktu lalu –yang memakan korban lebih dua ratus jama`ah haji ketika melaksanakan shalat Maghrib- oleh umat Islam disikapi berbeda.
Sebagian memandangnya dengan penuh optimis bahwa itu sudah menjadi takdir Allah, dan tentu saja mereka akan mendapat pahala mati syahid karena mati dalam keadaan beribadah di tanah suci. Tak jarang juga yang sinis mencari kambing hitam. Mereka berusaha menyalahkan pihak kerajaan Saudi Arabia, karena dinilai ceroboh dalam menjaga stabilitas keamanan dan kenyamanan bagi jama`ah haji.
Terlepas dari penyikapan pro dan kontra seputar musibah duka tersebut, seyogyanya umat Islam menghadapinya secara proporsional(sesuai dengan porsi; sebanding; seimbang). Karena pada hakikatnya, semua musibah yang terjadi di bawah ketentuanNya.
Pada tulisan kali ini, akan dibahas kajian tafsir yang berjudul: “Menghadapi Musibah Secara Proporsional”. Semoga umat Islam dalam menghadapi setiap musibah yang terjadi bisa meletakkannya secara proporsiaonal, dan tidak saling menyalahkan.
I.                   Ayat Kajian                     : Qs. Al-Hadid(22-24)

مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٖ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَا فِيٓ أَنفُسِكُمۡ إِلَّا فِي كِتَٰبٖ مِّن قَبۡلِ أَن نَّبۡرَأَهَآۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٞ ٢٢ لِّكَيۡلَا تَأۡسَوۡاْ عَلَىٰ مَا فَاتَكُمۡ وَلَا تَفۡرَحُواْ بِمَآ ءَاتَىٰكُمۡۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخۡتَالٖ فَخُورٍ ٢٣ ٱلَّذِينَ يَبۡخَلُونَ وَيَأۡمُرُونَ ٱلنَّاسَ بِٱلۡبُخۡلِۗ وَمَن يَتَوَلَّ فَإِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلۡغَنِيُّ ٱلۡحَمِيدُ ٢٤

II.                Arti Mufradat                 :
مِّن قَبۡلِ أَن نَّبۡرَأَهَآۚ        : Sebelum Kami menciptakannya
يَسِيرٞ                           : Mudah
تَأۡسَوۡاْ                          : Kalian berduka cita
عَلَىٰ مَا فَاتَكُمۡ             : Apa yang telah luput atasmu
وَلَا تَفۡرَحُواْ                  : Kalian tidak bergembira
مُخۡتَالٖ فَخُورٍ                : Sombong, membanggakan diri
وَمَن يَتَوَلَّ                    Dan barangsiapa berpaling

III.             Arti Ayat                          :
Tiada suatu musibah pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah(22)
(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri(23)
(yaitu) orang-orang yang kikir dan menyuruh manusia berbuat kikir. Dan barangsiapa yang berpaling (dari perintah-perintah Allah) maka sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji(24)

IV.             Tafsir Ayat                      :
Setelah ayat sebelumnya membahas tentang anjuran bersegera menuju ampunan Allah dan surga yang seluas langit dan bumi, pada ayat  ini Allah membicarakan masalah penting yang pasti dialami bumi dan manusia, yakni: musibah(yang masuk dalam kategori qadla dan qadarNya). Allah berfirman: “Tiada suatu musibah pun yang menimpa di bumi” seperti kekeringan.  dan (tidak pula) pada dirimu sendiri” seperti sakit dll. Syaikh Abdurrahman As-Sa`adi menjelaskan bahwa kata mushibah pada ayat ini  bersifat umum(mencakup yang baik dan yang buruk).  Jadi, kurang tepat jika kata musibah selalu diidentikkan dengan sesuatu yang buruk(sebagaimana anggapan kebanyakan orang awam).
Semua yang menimpa manusia diterangkan olehNya:  melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.” Artinya musibah yang masuk dalam qadla dan qadarnya sudah tercatat dalam kitab bernama Lauhul Mahfuzh yang berisi semua apa yang terjadi, sebelum penciptaannya. Nabi bersabda:
قدَّر الله المَقَادِيْرَ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
Allah telah menentukan takdir-takdir sebelum menciptakan langit dan bumi (selama) lima puluh ribu tahun”(Hr. Ahmad)
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”. Ya, meskipun akal manusia tidak sampai, hal demikian sangat mudah bagi Allah. Bukankah jika Ia berkehendak, maka tinggal mengucapkan kun fa yakun!(Jadilah! Maka akan terjadi. Baca: Yasin:: 82). Membaca ayat ini, seyogyanya semakin bertambah keimanan Mu`min, dan semakin tenang karena pada dasarnya segala yang menimpa telah tertera. Tidak mungkin terjadi sesuatu tanpa kehendakNya.
Setelah mengetahui bahwa musibah(yang buruk maupun yang baik) semua telah tercatat di Lauhil Mahfud, mungkin di antara kita akan bertanya: Apa hikmah di balik penetapannya?
Allah ta`ala berfirman: “(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.” Semua itu dijelaskan agar manusia dapat menghadapinya secara proporsional. Ada sebuah riwayat:
مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ وَأَنَّ مَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ
Apa saja yang menimpamu bukan untuk menyalahkanmu, dan apa saja yang menyalahkanmu bukan untuk menimpamu”(Hr. Abu Daud). Maksudnya, musibah adalah takdir Allah yang patut diterima, bukan dimaksudkan untuk menyalahkan hamba.
Karena itu, seharusnya kita tidak terlalu berduka cita ketika ditimpa keburukan, serta tidak terlalu berbangga diri ketika mendapat kebaikan. Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda terkait sikap Mu`min menghadapi musibah:
           
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُصَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
Begitu mengagumkan keadaan orang beriman. Segala kondisi baik baginya –dan itu tidak dimiliki seorang pun, melainkan orang beriman- (yaitu) jika ia ditimpa kegembiraan, ia bersyukur, dan itu baik baginya. Sedangkan ketika ditimpa bahaya(hal buruk), ia bersabar, maka itu baik baginya”. Di sini, sabar dan syukur menjadi kunci yang proporsional dalam menghadapi musibah yang terjadi.
Sikap yang berlebihan dalam menghadapi musibah hanya akan mendapat kebencian Allah. Misalkan, ada orang yang diberih musibah(diuji) dengan kesenangan, lantas ia sombong tak mau bersyukur, bahkan berbangga diri, maka orang tersebut harus ingat: Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri”.
Masih segar dalam ingatan pembaca mengenai kisah Qorun(Qs. Al-Qoshos: 78). Kesombongan dan kebanggaan dirinya mengenai harta yang dimiliki(sampai menafikan pemberian Allah), pada akhirnya membuatnya tenggelam di tanah.
Bagaimana misalnya agar kita selalu bersyukur, terutama dalam masalah keduniaan? Jawabannya simpel tapi berat, yaitu: Tidak melihat pada orang yang lebih mampu darinya, tetapi melihat orang yang dibawahnya adalah salah satu cara jitu yang diajarkan nabi agar Muslim tetap bisa menjaga ritme syukur  pada Allah ta`ala sebagaimana sabda nabi: Lihatlah orang di bawah kalian, dan janganlah melihat orang yang di atas kalian. Yang demikian itu lebih pantas agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah atas kalian”(Hr. Muslim).
Siapakah orang yang masuk dalam kategori sombong dan membanggakan diri? Allah ta`ala menjelaskan: “(yaitu) orang-orang yang kikir dan menyuruh manusia berbuat kikir.
Ada dua karakter penting yang menjelaskan kategori sombong dan berbangga diri. Pertama, kekikiran. Pelit dan merasa berat tangan dalam memberi. Kedua, menyuruh orang lain berbuat kikir. Ternyata tak cukup dengan dirinya sendiri, malah memprovokasi orang lain untuk berbuat seperti yang ia lakukan.
Orang seperti ini –meminjam istilah Alquran- bukan saja sebagai orang yang fasid(rusak) tapi juga mufsid(penebar kerusakan). Lihat! Betapa besar dampak negatifnya, jika musibah kenikmatan malah hanya membuatnya sombong dan berbangga diri.
Semua itu sejatinya adalah rambu-rambu dari Allah yang perlu ditaati:  Dan barangsiapa yang berpaling (dari perintah-perintah Allah) maka sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. Pilihan ada pada diri kita. Jika berpaling, jangan pernah berfikir bahwa Allah merasa rugi, atau hina. Justru orang yang berpalinglah yang akan rugi dan hina.
Kita tentu ingat kisah-kisah orang-orang pongah di sepanjang sejara seperti Fir`aun, Namrud dll. Mereka sombong dan berpaling dari peringatan para nabi, akhirnya hidupnya berakhir dengan penderitaan abadi. Akhirnya, semoga kita bisa mengambil ibrah dari ayat-ayat di atas.

V.                Pelajaran              :
1.      Ketetapan qadla dan qadar Allah ta`ala
2.      Keimanan pada qadla dan qadar harus selalu ditanamkan
3.      Kepastian adanya Lauhil Mahfudz
4.      Penjelasan tentang hikmah qadla dan qadar: Tidak berduka dengan musibah buruk, dan tidak terlalu bergembira dengan musibah baik
5.      Anjuran menghadapi musibah secara proporsional
6.      Haramnya sifat:
a.       sombong
b.      berbangga diri
c.       bakhil
d.      menyuruh orang berbuat bakhil
7.      Tercelanya berpaling dari perintah Allah
8.      Allah Maha Kaya dan Terpuji


VI.              Referensi              :
1.      Tafsir al-Qur`an al-`Adzim, karya: Ibnu Katsir
2.      Aisar Tafāsīr, karya: Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi
3.       Taisir Karim Rahman, karya: Syaikh Abdurrahman As-Sa`adi
4.      Tafsir wa Bayan Mufradati al-Qur`an `ala mushhafi al-Tajwid, karya: Dr. Muhammad Hasan al-Himshi
5.      Shahih Muslim, karya: Imam Muslim
6.      Musnad Ahmad, karya: Imam Ahmad
7.      Sunan Abu Daud, karya: Imam Abu Daud

8.      `Aunu al-Ma`bud, karya: Syarfu al-Haq al-`Adhim Abadi
 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan