Tragedi Penundaan

Written By Amoe Hirata on Minggu, 30 November 2014 | 00.23

            Salah satu ciri yang sangat inheren pada orang-orang besar ialah kesanggupan untuk tidak menunda-nunda pekerjaan. Bagi mereka, penundaan adalah tragedi. Apa jadinya jika Rasul menunda dakwahnya hingga semua keluarganya masuk Islam, apa jadinya jika Abu Bakar menangguhkan Usamah bin Zaid ke negeri Syam, apa jadinya jika Shalahudin Al-Ayyubi menunda misi sucinya membebaskan Al-Quds, apa jadinya jika Soekarno-Hatta menunda proklamasi kemerdekaan Indonesia, apa jadinya jika para pahlawan nasional berleha-leha menunda perjuangan untuk merebut kemerdekaan? Satu detik waktu yang tersia, sangat berpengaruh terhadap kesuksesan yang didamba. Karena itulah, penundaan sekecil apapun akan berdampak buruk bagi kesuksesan.

Penundaan berdampak buruk bukan terletak pada besar kecilnya pekerjaan, tapi pada cara pandang yang salah terhadap pekerjaan. Pekerjaan yang semestinya harus diselesaikan tepat waktu, kemudian diselesaikan seperti yang dimau. Inilah mengapa dalam al-Qur`an ada ungkapan: Faidza faraghta fanshab(maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain). Ayat ini sangat jelas tidak memberi ruang untuk penundaan, meskipun tidak menafikan jeda untuk istirahat. Pada ayat lain digambarkan betapa penundaan selalu berbuah penyesalan. Sering disebutkan kata ‘ya laitani’ sebagai gambaran penyesalan yang sangat luar biasa ketika gagal di akhirat. Mereka menyesal karena sewaktu di dunia tidak melakukan amal dengan sebaik-baiknya. Orang yang masuk surga saja menyesal karena tidak maksimal beramal, apa lagi yang masuk neraka, pasti penyesalannya berkali-kali lipat. So, penundaan adalah tragedi, bagi yang tidak mau menyesal di kemudian hari, maka mulai detik ini segera melakukan sesuatu yang berarti.

Tanpa Sadar Berfikir Sekuler

Written By Amoe Hirata on Jumat, 28 November 2014 | 19.35

            Pernahkah anda mendengar ungkapan-ungkapan berikut: “Ini masjid, kalau mau pacaran di luar masjid saja. Jangan  mengotori masjid dengan perbuatan maksiat”. “Ini bulan Ramadhan, jangan sekali-kali berkata kotor”. “Ini masjid bukan pasar. Kalau mau berpolitik di luar masjid saja”. “Kalau dana pribadi sih tidak apa-apa, ini dana umat maka dhalim kalau sampai menyia-nyiakan dana umat”. Pernyataan-pernyataan tadi sekilas benar, namun setelah dicermati ada kejanggalan-kejanggalan ketika dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan berikut: “Kalau pacaran memang haram, memang apa hanya haram ketika di masjid? Perbuatan maksiat memangnya hanya dilarang ketika di masjid”. “Emang boleh berkata kotor di luar bulan Ramadhan?”. “Emang Rasul memisah-misahkan antara urusan masjid dan negara. Padahal menurut sejarahnya masjid menjadi pusat kegiatan?”. “Emang kalau dana pribadi tidak dhalim kalau disia-siakan?”. Itu hanya sekadar contoh. Karena masih banyak lagi contoh dari pernyataan berpola fikir sekuler. Maka jangan heran jika didapati orang yang ber­-casing muslim, tapi cara pandangnya sekuler. Ini sangat halus, tapi jarang yang bisa lolos.

Bila Tak Ikhlas Tak Bakal Jadi Daging

            Di depan terminal bus Ponorogo, saat menunggu bus jurusan Surabaya, ada seorang duduk di sampingku. Dilihat dari gaya pakaiannya, terlihat seperti guru. Ia tiba-tiba berbicara menyoal kenaikan tarif angkutan yang sangat melambung tinggi, padahal BBM hanya naik dua ribu rupiah. Biasanya ongkos dari Ponorogo ke Madiun hanya delapan ribu, sekarang naik jadi tiga belas ribu. Di sela-sela obrolan itulah dia berkata: “Bila orang yang bayar tak ikhlas, maka tak akan jadi daging”. Apa yang diucapkan orang ini seakan terdengar sederhana, namun ketika diresapi secara mendalam, sangat sarat makna. Dari ucapannya tergambar suatu sikap religius. Ia sangat peduli akan makna yang terkandung dalam agama, yaitu makna keberkahan. Makna yang kian hari makin tercerabut dari orang-orang Indonesia. Nilai perdagangan liberal telah menceraikan manusia dari akhlak. Keuntungan menjadi muara tujuan. Akibatnya jelas, betapapun besar keuntungan yang didapat –karena dihasilkan dengan cara mengeksploitasi orang lain-, maka hasil didapatkan tidak akan berkah. “Tidak akan jadi daging” adalah gambaran nyata dari perbuatan yang anti nilai, dan mendewakan keuntungan materi sehingga apa yang dihasilkan tidak akan berkah dan berarti.


Menyibak Pesona MII Camplong

            Para pembaca yang budiman, kita sekalian mungkin pernah mendengar bait lagu yang dinyanyikan oleh Chrisye, “masa-masa paling indah, masa-masa di sekolah”. Bila dicermati secara mendalam ada benarnya juga bait lagu tersebut. Di antara masa-masa paling indah memang pada masa di sekolah. Keindahan pada masa sekolah bisa dilihat dari proses kegiatan akademis yang membentuk karakter keilmuan para siswa; komunikasi intensif antarsiswa yang membangun kesadaran berkomunikasi-sosial; dan pengalaman-pengalaman tak terlupakan sebagai proses penemuan jati diri. Beberapa hal itulah yang menjadikan masa di sekolah adalah masa paling indah.
            Jika bait lagu itu diganti menjadi seperti ini, ‘masa-masa paling indah, masa-masa di ma`had(baca: pondok)’, maka keindahannya bukan hanya paling indah, tapi paling paling dan paling indah. Kenapa bisa demikian? Jawabannya –menurut hemat penulis- adalah sebagai berikut: Pertama, berbeda dengan sistem sekolah di luar, di pondok interaksi antar siswa(baca: santri) lebih banyak. Kalau diluar hanya enam sampai tujuh jam, maka di pondok bisa ketemu sampai dua puluh empat jam. Hal ini memungkinkan para santri mengenal lebih dalam, berinteraksi lebih intens, dan berkomunikasi secara aktif untuk berbagi pengalaman, sehingga jika ada kenangan indah, maka kenangan itu menjadi berlipat ganda dibandingkan dengan siswa di sekolah luar.
            Kedua, dari segi pendisiplinan dan pengenalan potensi siswa, maka di pondok jauh lebih besar peluangnya. Di sekolah luar mereka berdisiplin hanya sebatas ketika di sekolah, adapun ketika sudah keluar dari sekolah, maka  mereka sudah sangat bebas untuk memilih antara disiplin atau tidak disiplin. Sedangkan di pondok, aturan berlaku bukan hanya ketika masih di sekolah, tapi terus berlaku  sampai dua puluh empat jam. Ketiga, waktu untuk belajar di sekolah luar, jauh lebih sedikit dibanding dengan di pondok. Kesempatan yang begitu berharga ini, bila dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, maka akan lebih unggul yang di pondok lantaran keberlimpahan waktu yang tidak dijumpai di sekolah luar.
Bertolak dari statemen(pernyataan) di atas, ada satu pertanyaan besar yang mengusik hati penulis selama menjadi santri di MII( dari tahun 2002-2006): “Apa kira-kira kelebihan, keindahan, pesona dari MII?”.  Waktu itu, setiap teman yang ditanya penulis, kalau tidak menjawab, ‘bingung’ pasti menjawab, ‘tidak tahu’. Ternyata jawaban itu masih belum juga bisa  ditemukan selama penulis berada di MII. Sampai akhirnya, ketika kuliah -melalui beberapa perenungan-, mulai terjawablah pertanyaan tersebut  dengan beberapa jawaban yang penulis kira penting dan bisa dibagikan kepada para pembaca sekalian. Apa yang ditulis di sini bisa jadi sangat berbeda dengan apa yang dirasakan dan dialami oleh santri lain, tapi paling tidak tulisan ini bisa mengantarkan para pembaca untuk menggali lebih dalam pesona MII.

KEBEBASAN MENGEKSPLORASI POTENSI DIRI

            Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang bisa mengarahkan anak didiknya sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Ini benar-benar ada dan saya alami ketika di MII. Karena tidak diharuskan atau difokuskan kepada satu bentuk capaian-capain tertentu, maka setiap santri bisa mengeksplorasi potensi yang ada. Bagi yang suka dalam bidang olah raga, maka bisa mengembangkan potensinya dalam bidang olah raga. Bagi yang suka kegiatan akademis keilmuan, maka bisa membuat tim diskusi untuk mengasah potensi intelektualnya. Saya pikir ini adalah potensi besar yang dimiliki MII. Santri-santri yang terlihat biasa, bahkan yang tak masuk lima besar dalam prestasi akademis, ternyata ketika di luar bisa jauh lebih sukses sesuai dengan potensi yang dimiliki. Tidak mengherankan, meskipun ketika di MII jurusan ilmu-ilmu keagamaan, namun setelah keluar malah masuk jurusan yang berbeda-beda. Uniknya, mereka bisa adaptasi dengan cepat. Jadi, kata kunci pertama untuk menyibak pesona MII ialah lingkungannya yang memudahkan para santri untuk mengeksplorasi potensi diri.

KEMANDIRIAN DALAM BERKARYA

            Kemandirian adalah merupakan di antara tonggak dasar nilai yang diajarkan dalam ma`had. Di setiap pesantren, nilai kemandirian pasti selalu dijumpai dan diajarkan. Namun, yang saya rasakan ketika di MII, lebih dari sekadar kemandirian. Banyak sekali teman yang walaupun tidak secara intensif dilatih oleh ustadz, namun karena kemandirian dan ketekunannya, mereka mampu berkarya secara mandiri, bahkan kerap kali memenangkan berbagai macam perlombaan ketika yang diadakan di luar pesantren. Sebut saja misalkan lomba teater, baca kitab kuning, pidato, cerdas cermat, dan lain sebagainya. Kemandirian dalam berkarya juga bisa disebut sebagai kreativitas santri yang berbasis kemandirian.

MEMILIKI VISI YANG SANGAT BAGUS

            Yang tidak pernah terlupakan dari MII sampai sekarang di benak penulis ialah terkait dengan visi ma`had yang berbunyi, “Islami, tepercaya dan kompetitif”. Kata ‘islami’ menggambarkan bahwa apa yang diajarkan di MII sangat islami. Islam menjadi shibgah(identitas) utamanya. Kata ‘tepercaya’ membuat orang tua dan masyarakat luar akan merasa aman dan nyaman ketika memondokkan anaknya di MII. Kepercayaan adalah modal yang sangat berharga yang dimiliki MII. Meski tidak mempromosikan ma`had secara besar-besaran, namun MII tidak pernah sepi dengan yang namanya santri. Kata ‘kompetitif’ menggambarkan  bahwa MII memacu santri dan lembaga untuk fastabiqul khairāt(kompetisi dalam kebaikan). Kompetisi adalah stimulus yang memacu santri untuk mengoptimalkan segenap potensinya menujuh arah yang lebih baik.

KEPEMIMPINAN

            Di mana-mana, yang namanya pondok –dari elemen terkecilnya- pasti tidak pernah lepas dengan yang namanya latihan kepemimpinan. Di sadari atau tidak kepemimpinan sudah menjadi bagian yang integral dari diri santri. Uniknya, meskipun kepemimpinan adalah bagian yang sangat tidak terpisahkan dari santri, semua itu bersifat cair dan tidak ada unsur eksploitatif. Semua bergerak sesuai dengan irama kepemimpinan pada skup masing-masing. Dari pengalaman-pengalaman organisatorial kepemimpinan di MII, rata-rata para alumni ketika keluar sudah di luar MII biasanya menempati posisi-posisi penting dalam ranah kepemimpinan. Saya menjumpai sendiri fenomena tersebut di luar.

KOMUNIKASI YANG CAIR ANTARA SANTRI DAN ASATIDZ

            Berbeda dari pondok-pondok salaf(baca: tradisional) pada umumnya yang memperlakukan seorang yai dan asatidz dengan begitu ta`dzimnya, di MII malah sebaliknya. Bukan berarti tidak menghormati ustadz sama sekali, semua tetap menghormati ustadz, namun komunikasi antara santri dan ustadz begitu cair, sehingga membuat santri tidak canggung dalam menggali ilmu dari asatidz di luar waktu pelajaran formal. Fenomena asatidz duduk sejajar dengan para santri di serambi masjid, atau bahkan bersama-sama main sepak bola, voly dan olah raga lainnya merupakan hal yang biasa dijumpai di MII. Waktu penulis masih di MII, penulis merasa sangat beruntung karena di luar pelajaran formal, banyak sekali mendapat pelajaran-pelajaran tambahan dari asatidz, baik melalui diskusi-diskusi ringan, sampai pada kursus kecil-kecilan.

Komunikasi yang cair antara santri dan asatidz ini dampaknya sungguh besar. Melieu(lingkungan) seperti ini memungkinkan santri berkembang secara optimal karena didukung oleh para asatidz yang tidak membatasi komunikasi secara struktural. Potensi-potensi santri yang sebelumnya masih belum nampak, atau nampak tapi masih belum begitu dikembangkan, bisa dioptimalkan dengan baik dalam suasana seperti ini.

SISTEM PENDIDIKAN MODERN

            Berbeda dari pondok salaf, sistem yang dipakai di MII adalah sistem pondok modern. Para santri tidak melulu hanya diajari membaca kitab kuning(baca: kitab arab gundul), tapi porsi keilmuan yang notabene disebut ilmu Umum, juga diberikan. Sistem pendidikan yang proporsional dan tak dikotomis seperti ini memungkinkan santri mendapatkan ilmu secara integral. Karena pada dasarnya keduanya sama-sama penting. Tidak ada yang namanya pemisahan ilmu, karena baik ilmu yang dianggap sebagai ilmu agama atau dunia, jika diarahkan untuk kepentingan akhirat, maka namanya ilmu syar`i. Di MII semua ilmu itu bisa didapat.
            Itulah beberapa pesona yang dapat disibak dari Ma`had Al itihat Al Islami Camplong Sampang Madura. Apa yang telah penulis sebutkan ini hanya permulaan. Sangat tidak menutup kemungkinan dari santri-santri lain banyak yang memiliki pengalaman-pengalaman yang luar biasa ketika di MII dan bisa di-share(dibagi) di sini pada kesempatan yang lain. Semua itu bisa ditulis sebagai upaya untuk mendukung dan mendorong agar MII menjadi semakin baik.  Penulis yakin dan optimis, jika masing-masing di antara asatidz, santri dan para alumni saling berpartisipasi dan mendukung MII(dengan berbagai bentuknya) maka ke depan MII akan menjadi lebih baik. Ini tidak berlebihan karena jika dilihat dari pesona-pesona yang ada tadi, MII sangat berpotensi melahirkan generasi-generasi emas. Tinggal siapa yang mau menjemput momentum itu. Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Kalau bukan kita, siapa lagi? Hidup MII, semoga menjadi yang terbaik di antara yang baik-baik.

Wallahu a`lam bi al-Shawāb
Siman, Selasa 18 November 2014/05:00


Kesetaraan Gender Berujung Kesengsaraan Gender

Written By Amoe Hirata on Kamis, 27 November 2014 | 10.36

            Ide kesetaraan gender yang diimpor dari Barat, semakin hari mengalami perkembangan pesat, khususnya di negara Islam. Ide ini bisa sedemikian cepat berkembang karena didukung oleh media massa yang begitu canggih, kajian-kajian seputarnya yang begitu intensif, hingga pembentukan-pembentukan instansi yang secara khusus sebagai wadah gerakan.
            Gerakan ini sudah masuk pada ranah perkulian, bahkan secara politis diperjuangkan dalam undang-undang negara. Yang ironis ialah ketika sampai pada ranah studi Islam. Melalui cendekiawan Muslim yang sudah terkontaminasi dengan pemikiran kesetaraan gender, akhirnya ide ini tidak bisa dibendung lagi penyebarannya. Banyak buku bermunculan untuk menguatkan ide ini.
            Kajian-kajian keislaman mengenai hubungan pria wanita, dikaji berdasarkan basis teori kesetaraan gender. Padahal Islam telah memiliki konstruk bangunan keilmuan tersendiri. Islam tidak mengenal kesetaraan wanita dan pria dalam segala bidang, Islam mengenal konsep keserasian. Masing-masing dari pria dan wanita, memiliki peranannya tersendiri. Sehingga usaha untuk mewujudkan kesetaraan gender pada segenap sisi adalah usaha yang sangat destruktif.
            Paling tidak ada beberapa alasan yang perlu dikritisi dari ide kesetaraan gender. Pertama, secara historis, ide ini lahir dari feminis Barat yang berusaha mengatasi problem hubungan wanita-pria dan agama.  Namun sampai sekarang, masih gagal mewujudkan kesetaraan. Kedua, anehnya, sudah tahu gagal, ide ini dikembangbiakkan di negara-negara yang notabene berkembang, termasuk Islam. Ketiga, produk gagal ini jelas akan merusak tatanan sosial masyarakat terkait hubungan pria-wanita, bahkan ajaran agama.
            Coba kita buktikan dalam kehidupan nyata. Dari segi fisik, wanita dan pria sudah berbeda, jadi usaha untuk menyetarakannya adalah tindakan yang absurd dan konyol. Dalam dunia hewan saja, yang tidak memiliki akal, mereka tahu persis peran dan fungsinya, mana yang jantan dan mana yang betina. Karena mereka diciptakan memiliki peran masing-masing. Belum lagi kenyataan secara psikologis, yang menunjukkan bahwa wanita terlalu menitikberatkan perasaan daripada akal budi dalam menghadapi masalah, itu semua semakin membuktikan bahwa penyetaraan sejatinya penyengsaraan.

            Islam datang sebagai agama yang menghargai hak-hak wanita. Bukan berarti, menyamakan fungsi antara pria dan wanita. Mereka diperlakukan sama di hadapan Allah, karena yang paling mulia adalah yang paling takwa, tapi keduanya memiliki peran dan tugas masing-masing yang saling melengkapi. Nabi sendiri –dalam sejarahnya- telah memberikan contoh terbaik terkait hubungan pria-wanita. Mereka diberi hak waris, pendidikan, berpendapat, berdagang dan lain sebagainya namun mereka tidak pernah melupakan peran mulianya, yaitu sebagai seorang ibu. Jika kesetaraan gender tetap diperjuangkan, maka akan berujung pada kesengsaraan. 

Ekor Besar atau Kepala Kecil?

Written By Amoe Hirata on Rabu, 26 November 2014 | 07.59

            Bagi yang mendewa-dewakan ilmuan Barat dalam segala bidangnya, ada baiknya membaca biografi secara detail bagaimana mereka menjalani kehidupan. Apakah orang seperti Emmanuel Kant, J.S Mile, Roger Bacon, Martin Luther, Emile Durkhaim, Nietzsche, Hume, F. Engle, Karl Marx, Derida, dan lain sebagainya bisa menjalani kehidupanya dengan sukses. Ternyata kehebatan mereka hanya dalam tataran berfikir, tapi secara umum mereka gagal dalam menjalankan institusi kecil rumah tangga. Tak jarang juga yang gila dan terkena penyakit-penyakit aneh. Worldvew yang dikotomis tidak memungkinkan mereka mengharmonikan antara kebutuhan jiwa dan raga. Orang yang tidak bisa mengurusi kehidupannya dengan baik, apa pantas dijadikan panutan? Mengurusi diri sendiri saja tidak bisa, bagaimana bisa mengurisi orang lain. Dalam Islam, yang disebut ulama adalah mereka yang cerdas baik intelektual maupun spiritual. Di dalamnya tidak ada istilah dikotomi. Sehingga mereka bisa mengatasi diri sebelum mengatasi orang lain. Kehidupan mereka sangat berimbang. Adapun ilmuan Barat secara umum –kalau tidak boleh dikatakan semua- hidupnya penuh bimbang. Sekarang kita mau jadi ekor ilmuan Barat, meski besar, atau menegakkan kepala sendiri meski kecil?. 

'Membunuh dengan Cinta'

            Di suatu majlis ilmu seorang ustadz menyampaikan kata-kata menarik: “Kalau pun harus membunuh orang kafir maka bunuhlah dengan cinta”. Seisi majlis jelas merasa heran dengan kata-kata tersebut. Ada yang memahaminya secara dzahir, ada juga yang memahaminya secara majazi. Yang paham dzahir mempersoalkan kata ‘membunuh’, bagaimanapun membunuh `kan salah satu bentuk kekerasan, bukankah antara cinta dengan kekerasan bertentangan?. Yang paham majazi masih sekadar menebak tapi belum bisa menjelaskannya. Akhirnya ustadz pun menjawab:

Kalimat tersebut bisa dimaknai secara dzahir sekaligus majazi. Secara dzahir berarti ketika kita terdesak perang dengan orang kafir, maka ketika harus membunuh maka bunuhlah dengan cinta. Maksudnya bunuh dengan cepat tanpa menyiksa atau memutilasinya. Apa yang kita lakukan itu sebagai wujud rasa cinta kita padanya agar siksanya di akhirat diringankan. Antara kekerasan dan cinta terkadang tidak bertentangan. Contohnya kadang-kadang `kan perlu seorang ayah bertindak keras pada anaknya yang nakal sebagai wujud kecintaannya agar tidak terjerumus pada jalan yang salah. Adapun yang dimaksud dengan makna majazi ialah persis seperti yang dilakukan Rasulullah s.a.w. Ketika ada orang-orang kafir Qurays mau membunuh citranya dengan mengejek, menyakiti, bahkan membunuh, beliau sama sekali tak membalas dan membenci. Beliau malah memperlakukan dan membalas mereka dengan cinta. Salah satu contoh menarik ialah ketika ada orang kafir yang kerjaannya suka membuang kotoran di depan rumah Nabi. Suatu saat orang ini sakit, Nabi bukan mensyukurkannya tapi malah menjenguknya. Akhlak Nabi yang mulia diliputi cinta ini pada akhirnya membunuh kebencian orang kafir ini sehingga mengantarkannya pada Islam. Kebencian dan kekerasan hatinya luluh dengan samudera cinta Nabi”.

Oase: Asas dakwah ialah cinta. Kalaupun dalam perjalanan dakwah kita dihadapkan dalam posisi harus membunuh, maka membunuh pun –baik dalam pengertian dzahir maupun batin-tidak boleh dengan kebencian. Bunuhlah ia dengan cinta agar meringankan siksanya(jika bermakna dzahir). Bunuhlah ia dengan cinta agar kebenciannya mati dan berubah menjadi cinta(jika bermakna majazi). Intinya, keduanya tak bisa dilepaskan dari CINTA.

Nenek Penjual Rengginang

            Di saat asyik menikmati sedukan kopi bersama teman, datanglah nenek yang sedang menjual beberapa makanan termasuk di dalamnya ada rengginang. Ia menawarkan beberapa dagangannya kepada kami. Hati ini tak tega jika membiarkannya pergi. Akhirnya kami membeli satu sampai dua dari dagangannya itu. Yang tidak habis pikir ialah: nenek setua itu berjual malam-malam sendirian dengan bawaan yang lumayan berat. Di mana suaminya, di mana anak-anaknya?. Betapa teganya keluarganya yang membiarkannya berjualan di tengah malam. Beberapa saat kami sempat diliputi rasa iba dan kasihan. Tapi aku tidak mau hanya berhenti sampai di situ. Aku teringat kata-kata Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya yang berjudul ‘Bumi Manusia’ bahwa kasihan adalah tanda kelemahan. Karena itulah aku mencoba memaknainya. Barangkali ini adalah satu pelajaran dari Allah untuk diambil pelajaran. Sederhananya: “Nenek yang begitu tua itu begitu semangat dalam menjalani kehidupan, lalu bagaimana dengan kamu yang sering bermalas-malasan. Jadikanlah nenek itu sebagai cermin dalam mengarungi kehidupan. Hidup itu bukan seberapa panjang, tapi seberapa berjuang. Hidup itu bukan seberapa lama, tapi seberapa bermakna. Tidak ada lagi alasan untuk berleha-leha, karena semu akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya”.

Konsistensi Semut

Written By Amoe Hirata on Selasa, 25 November 2014 | 17.26


       Seorang anak cerdas bertanya kepada bapaknya: “Pak kalau dipikir-pikir dibanding manusia `kan semut lebih lambat. Coba diadu balap sama manusia pasti kalah meskipun manusia hanya dengan melangkah. Lalu apa gunanya Allah menciptakan semut Pak?”. Mendapat pertanyaan tersebut bapaknya agak kaget, belum pernah ia menemukan anak kecil bertanya seperti itu. Pertanyaan itu akhirnya dia jawab: “Nak, memang benar semut kalau diadu dengan manusia lebih lambat. Tapi ingat kecepatan akan kalah dengan yang namanya keistiqamahan. Meski manusia lebih cepat, tapi mereka rentan tidak istiqamah. Coba kamu perhatikan bangsa semut. Mereka bergerak siang-malam secara berkesinambungan. Kalau diadu pasti semut menang kalau ukurannya keistiqamahan. Kamu juga lihat `kan kalau semut ketemu semut selalu bertegur sapa. Kalau manusia belum tentu seperti itu. Kadang-kadang kedengkian membuat manusia bermusuhan sesama saudara. Semut juga dalam bekerja menerapkan sistem gotong royong. Lha manusia kebanyakan egois menuruti hawa nafsu masing-masing. Bukan berarti semut lebih mulia dari manusia, cuman melalui semut Allah ingin memberikan pembelajaran berharga untuk manusia di antaranya mengenai pentingnya istiqamah”. Mendengar jawaban itu anaknya hanya manggut-manggut sambil senyum. Entah mengerti atau tidak penjelasan dari ayahnya, yang jelas dari raut wajahnya tersirat kebahagiaan.

Meneropong Sejarah

A. Pengertian Sejarah:

Pengertian Secara Bahasa: Berasal dari kata: شَجَرَةُ yang artinya pohon. Maksudnya ialah asal-usul (keturunan)
silsilah. Dalam bahasa Arab ada istilah: Tarikh( Peristiwa yang ditulis berdasarkan tanggal/waktu terjadinya peristiwa),
Qissah(Peristiwa yang disajaikan terfokus pada kejadian penting dan benar-benar terjadi), Sirah( Peristiwa khusus mengenai biografi seseorang), Hikaayah(Peristiwa yang diceritakan secara verbal). 
Pengertian Sejarah Menurut Istilah: Uraian tentang peristiwa dan kejadian yang benar-benar terjadi di masa lampau atau silam.

B. Prioritas Belajar Sejarah: 1. Sirah Nabi Muhammad 2. Sejarah Para Nabi 3. Sejarah Kebudayaan Umat Islam 4. Sejarah Umum.

C. Hukum Belajar Sejarah: Fardu Kifayah.

D. Hikmah Belajar sejarah:
1. Media berfikir
2. Hiburan yang mendidik.
3. Diambil pelajaran dan diteladani.
4. Memprediksi dan mempelajari masa depan.
5. Mengenang masa silam.
6. Meraih kesuksesan.
7. Terhindar dari kegagalan.
8. Media dakwah.
9. Media Instrospeksi dan evaluasi diri.
10. Mengetahui dan mengkaji sunnah-sunnah(hukum-hukum) Allah yang tetap pada alam.

E. Cara belajar sejarah yang asik dan gampang:
1. Dimulai dari peristiwa penting.
2. Membaca secara acak.
3. Menyertakan media visual.
4. Peta bergambar.
5. Prioritas pertama kejadian nyata dan penting, baru kemudia tanggal dan nama pelaku sejarah.

F. Catatan Penting Perihal Sejarah:
1. Sepertiga Al-Qur`an berisi kisah-kisah.
2. Sejarah kembali terulang.
3. Sejarah bagaikan memori.
4. Sejarah ditulis oleh para pemenang.
5. Ada hukum-hukum Allah yang tetap dalam sejarah.

G. Tambahan:

Pelajarilah sejarah! Temukan kebijaksanaan dan kearifan yang terkandung di dalamnya. Pelajarilah Sejarah! Temukan kesuksesan.

"Belajar Sejarah" Momok kah?

         “Kenapa kalian males belajar sejarah?”, Ada yang menjawab: “Begini, di samping sangat menjemukan, selama ini pelajaran yang disampaikan hanya sebatas doktrinal formal, yang ada hanya pengungkapan peristiwa masa lalu, sejarah malah menjadi momok menakutakan, setiap kali mendengar kata “sejarah” yang terlintas pada pikiran hanya kumpulan nama-nama orang dan sederetan tanggal yang berjejer panjang”.

            Pernyataan di atas barangkali sudah tidak asing di telinga kita. Namun, benarkah sejarah itu sedemikian menakutkan sehingga tak relevan lagi untuk dipelajari; sebegitu mengerikan sehingga tak layak lagi untuk dikaji. Apa ada pihak tertentu yang sengaja mencitrakan sejarah sedemikian rupa sehingga kesan yang ada hanya negatif melulu; bahkan mungkin mengeksploitir nilai-nilai positifnya untuk kepentingan pihak/individu tertentu.
            Pernyataan di atas ada benarnya jika selama ini sejarah hanya dijadikan rekaman peristiwa masa silam; hanya di jadikan barang keramat yang tidak ada relevansinya dengan kehidupan kontemporer.  Karena itu, tidaklah mengherankan jika mendengar saja orang akan malas dan tidak tertarik sama sekali. Padahal subtansi belajar sejarah ialah mengambil pelajaran di dalamnya; memprediksi masa depan; mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan buruk dari peristiwa yang pernah terjadi di masa lampau. Lalu apa signifikansi pernyataan "sejarah kembali terulang", "kejadian semalam sama persis dengan kejadian hari ini" kalau sejarah tidak begitu penting dan sangat remeh. Jangan-jangan ada yang salah dalam metodologi pengajaranya, atau sebaliknya pihak yang diajari sudah antipati dan men-talak bain sejarah sehingga tak bisa kembali lagi.

Kedahsyatan Akidah Yang Benar

          Salah satu elemen penting yang disebutkan dalam surat al-`Ashr sebagai pengecualian terhadap orang yang rugi ialah: orang-orang beriman. Beriman berarti  orang yang memiliki iman, keyakinan dan akidah yang kuat. Kemudian amal shalih, saling berpesan pada kebenaran dan kesabaran.Nah kalau kita amati dari sisi sejarah kehidupan Rasulullah ada kenyataanpenting bahwa: Dakwah Rasulullah selama 13 tahun di Makkah terfokus pada akidah dan pembinaan akhlak. Akidah merupakan elemen inti yang darinya nanti akan lahir amal yang shalih. Akidah yang salah hanya akan melahirkan amalan yang salah pula.

                Pembinaan dalam bidang akidah terhitung lebih lama dibanding fase Madinah karena akidah laksana fondasi bangunan. Untuk membangun bangunan Islam yang kuat perlu adanya fondasi yang kuat. Bila fondasi tidak kuat maka bangunan yang dibina di atasnya rawan hancur dan rusak. Jadi secara marhaliyah(kebertahapan) danaulawiyah(prioritas)pembinaan akidah merupakan faktor penting untuk menciptakan umat Islam yangtangguh.
                Beliau membangun fondasi akidah ini dimulai dari keluarga, kerabat dekat, teman dekat, orang pilihan dan siapa saja yang mau masuk Islam. Dari segi hasil, sampai dengan waktu hijrah, secara jumlah memang tidak terlalu signifikan dibanding dengan hasil dakwah di Madinah yang sangat cepat. Jumlah orang yang ikut dakwah Rasul ketika fase Makkah hanya sekitar 300 lebih. Perjalanan fase Makkah ini kalau hanya dilihat dari jumlah pengikut memang terkesan lamban, namun dari sisi lain akan kita jumpai kenyataan-kenyataan berikut: 1. Generasi yang lahir pada fase ini, kelak kebanyakan akan menjadi mujahid-mujahid besar yang terdepan di medan tempur. 2.Kualitas kesabaran  yang dimiliki generasi ini sangat luar biasa. Mereka tak putus asa meski siksaan demi siksaan mendera. 3. Sangat loyal dan komitmen terhadap Islam. 4. Khalifah ar-Raasyidin yang empat itu lahir dari fase ini. 5. Memiliki ketangguhan mental dan spirityang luar biasa dalam perjuangan. Dan masih banyak lagi kenyataan-kenyataan sejarah yang tidak bisa disampaikan pada tulisan singkat ini.
                  Akidah yang benar akan membuahkan amal shalih dan akhlak mulia. Begitulah kira-kira yang bisa digambarkan pada dakwah Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam pada bidang akidah. Walau kesusahan menimpa; kesengsaraan menerpa tidak membuat mereka surut sedikitpun untuk berjuang. Kitabisa melihat bagaimana keteguhan ibnu Mas`ud membaca al-Qur`an di depan Ka`bah sampai babak belur dipukuli orang kafir Qurays. Bagaimana gigih dan sabarnyabilal disiksa tuanya di tengah terik matahari seraya berkata ahad ahad ahad. Betapa kuat pendirian Utsman bin Affan walau sampai dikurung di rumah karena memeluk Islam. Betapa kuat pendirian Ammaar bin Yasir dalam memegang teguh Islam walaupun pada akhirnya bapak dan ibunya meninggal dalam siksaan.  Masih banyak kenyataan sejarah yang serupa.Namun yang perlu digaris bawahi disini ialah kenyataan sejarah yang sangatdahsyat dan mengagumkan itu ternyata lahir dari akidah yang kuat dan kokoh.
               Sebagai Rasulullah, Muhammad shallallahu alaihi wasallam diutus untuk mengembalikan kembali manusia yang telah menyimpang dari akidah yang tidak benar menuju akidah yang benar. Dengan penjalesan yang jelas, gamblang dan sederhana dakwah dalam bidang akidah ini bisa diterima dengan baik oleh orang-orang yang jernih hatinya. Dengan bekalakidah yang kuat dan kokoh ini Rasulullah beserta umatnya mampu melakukan perubahan besar dan dahsyat ketika di Madinah, baik dari segi capain kuantitas pemeluk juga capaian-capaian kualitatif yang mencengangkan. Pada gilirannya,agama yang hanif ini bisa tersebar dengan massif dan luas melalui tangan-tangan dingin para pengikut Nabi yang memiliki akidah yang kuat. Akidah merupakan fondamen utama dan mendasar. Akidah yang benar akan mendatangkan rahmat dan pertolongan Allah ta`ala. Akidah yang benar akan berpengaruh positif bagi pemiliknya. Kesuksesan-kesuksesan besar dan monoumental hanya akan diraih dengan akidah yang benar.

Untuk Para Guru Tercinta

Siapa dan apa pun itu
Yang pernah menjadi guru
Dalam pemburuan makna
Kuhaturkan terimakasih dan cinta

Waktu memang telah berlalu
Namun jasamu tak pernah layu
Karena nilai kan selalu ada
Meski raga tlah tiada






Pesona Sirah Nabawiyah


            Sirah nabawiyah adalah rekaman sejarah paling agung sepanjang masa. Belum ada -sebelum dan sesudahnya- biografi anak manusia yang ditulis secara lengkap dari kelahiran sampai kematian seperti yang ditulis dalamnya.
            Siapapun yang membacanya dengan hati bersih, pikiran jernih dan akal sehat, pasti akan terpesona membacanya. Pesonanya tidak hanya terhenti dari sisi kelengkapan, ia memesona karena isinya juga bisa dijadikan pelajaran untuk mengarungi kehidupan.
            Belum ada di dunia ini orang yang paling banyak disebut namanya melebihi sosok sentral yang digambarkan di dalamnya. Coba baca biografi besar tokoh-tokoh dunia. Pasti akan lebur ketika disandingkan dengan sirah nabawiyah.
            Pesonanya yang begitu memikat hati, tidak akan bisa disibak oleh orang-orang yang mempunyai penyakit hati. Ia bagaikan cahaya yang mampu menyinari kegelapan-kegelapan jiwa yang mau merubah diri.
            Siapapun tidak akan mampu memetik hikmahnya, jika memperlakukannya hanya sebagai rekaman sejarah. Ia akan nampak jelas jika digali kandungan maknanya untuk kemudian direalisasikan dalam kehidupan nyata.
            Begitulah pesona sirah nabawiyah. Sebuah kisah nyata manusia pilihan yang diberi karunia luar biasa. Dialah Muhammad s.a.w Nabi akhir zaman yang kehadirannya diibaratkan sebagai sirājan munīra(pelita yang menyinari).
            Kalau al-Qur`an dan Hadits adalah merupakan sumber nilai yang diamanahkan Allah padanya, maka sirah nabawiyah adalah perwujudan nyata dari kumpulan nilai-nilai yang ada dalam keduanya.
            Ketika anda bahagia, di dalamnya akan menemukan apa sejatinya kebahagiaan dan bagaimana menyikapi kebahagiaan. Bukan kebahagian semu yang membuat orang semaki kalut dan ragu. Kebahagiaan yang hakiki menuju Sang Maha Penyayang.
            Ketika anda sedih, di dalamnya akan ditemukan bagaimana menyikapi kesedihan. Kesedihan yang tidak sampai membuat manusia bunuh diri, tapi semakin meneguhkannya menuju kesuksesan ujian ilahi.
            Karena sirah nabawiyah multi pesona, maka merupakan keniscayaan bagi orang yang ingin menyibaknya, mempelajari jenak-jenak kisah yang ada di dalamnya. Suatu jenis pembelajaran yang bukan dengan cara biasa.
            Kalau anda membaca sirah nabawiyah hanya sekadar cari hiburan, maka ia tidak akan memantulkan pesona yang begitu dalam. Bagaimana mungkin anda akan menyusuri luasnya samudra, jika hanya memandangnya di tepian pantai.
            Dengan demikian, perlu adanya upaya serius untuk menggali lebih dalam maknanya. Dengan sebuah cara yang diilhami al-Qur`an ketika menyajikan kisah-kisahnya. Kata kuncinya ialah untuk dicari pelajaran dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
            Tulisan ini hanya sebagai pengantar menuju pembacaan sirah nabawiyah yang lebih dalam dan bermakna. Sebuah pembacaan yang tidak sekadar mengenal angka-angka dan nama-nama, tapi suatu sudut pandang baru yang membuat pesonanya terkuak.
            Kita tentu pernah mendengar ayat ini: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”(Qs. Al-Ahzab: 21).
            Ayat itu begitu jelas menyatakan bahwa pada diri Rasulullah  ada suri tauladan yang baik bagi pengharap rahmat, akhirat dan tak hentinya mengingat Allah. Melalui sirah nabawiyah mutiara tauladan akan ditemukan.
            Tiba saatnya bagi setiap pecinta Nabi Muhammad s.a.w untuk mengenal lebih jauh melalui sirah nabawiyah. Bersama kita menggali makna di dalamnya, untuk mewujudkan kehidupan yang terbaik menuju keridhaan-Nya.

Menilai Sesuatu dengan ‘Kaca Mata Pribadi’


            Suatu saat di negeri ‘perdamaian antar-hewan’ diadakan sebuah pertemuan besar-besaran. Pertemuan ini diinisiasi oleh KSH(Kelompok Singa dan Harimau). Tujuannya ialah untuk memperingati hari jadi perdamaian hewan. Diselenggarakanlah lomba adu kekuatan ala KSH, dari lomba lari, panjat pohon, memburu buruan dan lain sebagainya. Para anggota KSH terlihat sangat antusias dan begitu semangat. Namun, setelah lomba dimulai beberapa menit terjadi beberapa kendala dan keanehan. Banyak peserta yang tiba-tiba mandek saat pertandingan dimulai. Anggota KSH pun keheranan, bahkan ada yang salah paham bahwa mereka melakukan itu sebagai bentuk penghinaan terhadap KSH. Konflik hampir saja terjadi.

Untung saja waktu itu ada ketua gajah yang menjelaskan kepada anggota KSH: “Sebelumnya minta maaf dan jangan tersinggung. Mereka berhenti bukan karena menghina kalian, tapi masalahnya lomba yang kalian buat ini tidak cocok dengan mereka. Lomba yang kalian adakan ini lebih cocok untuk anggota KSH. Bayangkan, masak semut, siput, ular, burung, dan hewan lainnya harus mengikuti gaya kalian, `kan mereka pasti kesusahan. Aku akui niat dan ajakanmu baik, tapi harus melihat kondisi juga. Jangan sampai melihat orang dengan ‘kaca mata pribadi’ saja. Apa yang menerut kalian gampang, belum tentu menurut yang lain gampang. So kalian harus pandai-pandai melihat sesuatu secara proporsional” pungkas gajah. “Mathor suwon(terimakasih) lho Mr. G, untung sampean ingatkan, kalau tidak pasti tadi salah paham”. “Ya sama-sama. Habis ini kalau mau mengadakan sesuatu apapun tolong dikomunikasikan terlebih dahulu, biar kebersamaan ini bisa tetap terjaga”.

Mencari Jati Diri

       Matahari dengan gagah bangkit dari ufuk timur. Pancaran sinarnya menyeber luas ke segala penjuru. Dedaunan dan tetumbuhan selalu kangen akan cahayanya. Udara begitu sejuk. Awan begitu cerah. Dengan sepoi angin yang lembut, rerumputan menari-nari dengan sangat lenturnya bagai penari balet. Deretan hijau persawahan terhampar luas sejauh mata memandang. Burung-burung Emprit berkicau kompak sambil mencari makanan untuk anak-anaknya. Deru suara aliran sungai begitu khas menampakkan sungai yang masih jernih tak terkontaminasi. “Ternyata desa ini masih seperti dulu. Tidak ada perubahan berarti. Kondisi alam masih murni. Tidak seperti desa-desa lain yang sudah mulai tercemari limbah-limbah industri.” Demikian gumam Muhammad Ulin Nuha dalam nuansa rekreasi bersama teman-temannya yang sedang merayakan kelulusan sekolah SMA di desa Rembelu yang merupakan desa yang masih asri, bersih dan indah.
            Selagi teman-temannya asyik menikmati suasana desa Rembelu, Nuha termangu seorang diri di pinggiran sungai. Hatinya diliputi kejemuan yang luar biasa. Apakah hidup hanya untuk foya-foya. Terlahir dari keluarga yang kaya-raya, segala fasilitas mewah sudah biasa ia rasakan, tapi dalam ruang hatinya selalu ada kesunyian dan kesepian yang membuatnya selalu ingin mencari jawabannya. “Apakah aku akan terus seperti ini?” batinnya memberontak. Ia selalu bertanya seperti itu ketika dalam kesendirian, namun dia belum juga menemukan jawabannya. Ia memang terlahir dalam keluarga kaya, namun kekayaan tak menghilangkan kesunyian dalam hatinya. Ia mencoba mengisi ruang hatinya dengan cinta, namun berkali-kali berganti pacar tak jua membuat hatinya yang sepi menjadi ramai. Inilah saat dimana kepala  dirundung bingung, hati gelisah tertimpa masalah. Ia mau mengadu pada Tuhan, namun ia malu sendiri dengan kondisi dirinya. Seingatnya, terakhir shalat ketika usianya masih tujuh tahun.
            Di sebrang sungai secara tak sengaja ia melihat bapak paruh baya bersama anaknya yang sedang mancing. Sudah setengah jam ia memperhatikan mereka berdua. Sungguh ia merasa iri dengan raut kebahagiaan mereka berdua. Meski terlihat tak begitu kaya, namun aura kebahagiaan di wajah mereka berdua tak bisa dipungkiri. Hanya dengan mancing saja seolah mereka berdua tidak dihinggapi kesepian. Lain halnya dengan dirinya yang amat kesepian. Orang tuanya memang masih lengkap dan kaya-raya, tapi ia jarang bertemu mereka. Ia jarang bercengkrama dengan kedua orang tuanya. Di sekolah, meski temannya sangat banyak, tetap saja ia merasa sepi. Ia memang siswa cerdas, tapi kecerdasannya tak mampu menemani kesunyiannya. Ia merasakan dalam batinnya seolah ada suara yang menghardik dengan keras dirinya: “Apa untuk ini kamu diciptakan?”. Namun sekali lagi ia tetap tak menemukan jawabannya.
            Bertahun-tahun ia hidup dalam kefoya-foyaan. Segenap potensi yang dimiliki terbuang begitu saja. Sebagai siwa yang cerdas, potensi itu tak digunakan untuk menjadi siswa berprestasi. Selama ini ia tidak peduli dengan kecerdasan. Hari-harinya diliputi dengan kesia-siaan. Yang penting hatinya bahagia dan senang, maka segala sesuatu pasti akan diusahakan. Kalau sejak SD dia langganan menjadi ‘bintang kelas’, namun sejak SMP hingga SMA ia selalu menjadi masalah di kelas. Berbagai pelanggaran sudah ia lakukan. Bahkan berkali-kali ia terancam dikeluarkan dari sekolah, namun tak jua membuatnya sadar. Ia selalu bersenang-senang dan berfoya-foya. Ia menjadi seperti ini bukan tanpa alasan. Kedua orang tuanya memang super sibuk sehingga hampir tak bisa bertemu kecuali waktu pagi dan malam. Hari-harinya di rumah hanya ditemani oleh bibiknya yang bernama Sanipah, yang diminta ibunya untuk membantu mendidik Nuha di rumah. Kalau di rumah, ia mungkin selalu dikontrol dengan baik oleh Bu Sanipah, namun ketika sekolah ia lepas kontrol, dan bergaul bebas dengan teman-temannya.
            Hampir saja ia tidak lulus dari SMA. Guru-guru yang sudah muak dengan pelanggaran yang rajin dilakukannya secara terpaksa meluluskannya juga daripada terus membuat masalah. Meski begitu ia sangat disayang oleh teman-temannya. Sebagai orang kaya ia tidak pelit dan sering mentraktir teman-temannya. Pergaulannya luas dan tak berbatas. Semua orang yang ada di sekolah pasti dikenalnya. Dan tak ada seorang pun di sekolah yang tidak mengenalnya. Ia kerap menjadi rebutan cewek-cewek di sekolahnya. Kondisi demikian sering dijadikan olehnya sebagai momen untuk mengisi kesunyian dan kesepian hatinya dengan foya-foya. Namun setiap malam ia tetap dirundung kesepian yang luar biasa. Pada momen rekreasi kelulusan inilah, di pinggir sungai ia sejenak mencoba membuat jarak dengan teman-temannya dan kebiasaan buruknya untuk evaluasi sejenak, kenapa selama ini ia tak juga menemukan kebahagian di tengah keserbacukupan materi yang melimpah ruah. Di sela-sela evaluasi diri di pinggir sungai inilah, ia merasa iri dengan kemesraan antara bapak dan anak yang sedang mancing di sebrang sungai di hadapannya.
            

Filosofi Pohon Pisang


            Sembilan tahun lalu, ketika aku mengikuti tour dakwah di kota Blitar, ada perkataan menarik yang sampai sekarang masih aku ingat dari perkataan tuan rumah, Bapak Sukardi. Waktu itu beliau berkata: “Belajarlah pada pohon pisang!.”  Karena belum mengerti maksudnya, aku pun bertanya: “Lho, belajar tentang masalah apa pak?”. “Pohon pisang walaupun kamu potong berkali-kali, dia akan tetap tumbuh lagi sebelum dia menghasilkan buah. Ketika ia sudah berbuah, maka ia akan mati. Filosofi pohon pisang sebenarnya sederhana tapi dalam maknanya. Pohon pisang mengajarkan sebuah nilai bahwa manusia sejati adalah manusia yang mampu memberikan manfaat pada sekelilingnya sebelum ia meninggalkan dunia. Bisa jadi banyak sekali tantangan dan halangan yang menghalangi jalannya, namun bermanfaat adalah keniscayaan bagi dirinya ketika ia mengaku sebagai manusia. Atau bisa dimaknai: apapun ujian dan rintangan yang dihadapi manusia di dunia ini tidak membuatnya berputus asa, ia merasa tidak bernilai sebelum menghasilkan karya yang memberi manfaat secara sosial”.
            

Ketika Mahar Dianggap 'Eksploitasi Saudagar'

Written By Amoe Hirata on Senin, 24 November 2014 | 19.35


Ada yang berkata
Mahar dalam pernikahan
Sebagi suatu fakta
Eksploitasi laki-laki atas perempuan

Premisnya sederhana
Uang diberikan
Barang diterima
Begitu mahar disangka

Padahal sejatinya
Mahar sebagai kesungguhan
Hubungan keluarga
Yang disebut pernikahan

Mahar sebagai nilai agama
Islam yang memuliakan
Wanita sepanjang masa
Demi mencapai kemuliaan

Mana yang lebih mulia
Perempuan dipermainkan
atas nama cinta
Tanpa ikatan hubungan?

Atau dengan istimewa
Islam melanggengkan
Hubungan wanita dan pria
Melalui mahar yang ditentukan?




Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim


            Masalah mengucapkan salam kepada non-muslim sebenarnya sudah sangat jelas hukumnya haram. Tapi pada kenyataannya ada segolongan orang yang mengaku dirinya muslim(baca buku: Fiqih Lintas Agama) menganggap bahwa hukumnya tidak haram. Adapun hadits-hadits yang menjelaskan keharamannya, dianggap sebagai hadits yang bermasalah baik secara sanad maupun matan. Hadits-hadits yang dijadikan sasaran biasanya seperti berikut ini:
صحيح مسلم (7/ 5)
5789 – حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ – يَعْنِى الدَّرَاوَرْدِىَّ – عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلاَ النَّصَارَى بِالسَّلاَمِ فَإِذَا لَقِيتُمْ أَحَدَهُمْ فِى طَرِيقٍ فَاضْطَرُّوهُ إِلَى أَضْيَقِهِ ».
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa`id, telah menceritakan kepada kamu Abdul Aziz-yaitu Al-Darawardi- bersumber dari Suhail dari bapaknya dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda: “jangan memulai salam pada orang yahudi dan nashrani. Jika salah seorang dari kalian bertemu mereka di jalan, maka desaklah ke pinggir”(Hr. Muslim)
سنن الترمذي –طبعة بشار –ومعها حواشي (4/ 357)
12- بَابُ مَا جَاءَ فِي التَّسْلِيمِ عَلَى أَهْلِ الذِّمَّةِ
2700- حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ ، قَالَ : حَدَّثَنَا عَبْدُ العَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ ، عَنْ سُهَيْلِ بْنِ أَبِي صَالِحٍ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لاَ تَبْدَأُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى بِالسَّلاَمِ ، وَإِذَا لَقِيتُمْ أَحَدَهُمْ فِي طَرِيقٍ فَاضْطَرُّوهُ إِلَى أَضْيَقِهِ.
هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ.
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Abdul `Aziz bin Muhammad, dari Suhail bin Abi Shalih, dari bapaknya, dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah shallallahu `alaihi wassallam bersabda: “Jangan memulai salam pada orang yahudi dan nashrani. Sedangkan jika kalian menjumpai salah seorang dari antara mereka di jalan, maka paksalah mereka ke pinggir”(Hr. Tirmidzi).
صحيح البخاري (الطبعة الهندية) (ص: 3042)
6024 - حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللهِ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ صَالِحٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ دَخَلَ رَهْطٌ مِنَ الْيَهُودِ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا السَّامُ عَلَيْكُمْ قَالَتْ عَائِشَةُ فَفَهِمْتُهَا فَقُلْتُ وَعَلَيْكُمُ السَّامُ وَاللَّعْنَةُ قَالَتْ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَهْلًا يَا عَائِشَةُ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الْأَمْرِ كُلِّهِ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ أَوَلَمْ تَسْمَعْ مَا قَالُوا قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ قُلْتُ وَعَلَيْكُمْ
Sesungguhnya A’isyah RA istri nabi SAW berkata, “Sekelompok kaum dari Yahudi memasuki ruangan Rasulillah SAW untuk berkata ‘assaamu alaikum’. A’isyah berkata, “Saya memahami kalimat itu. Sontak saya menjawab ‘wa alaikumussaamu wallanah’,” artinya: Semoga kalian juga dilanda kematian dan laknat.Sontak Rasulillah SAW bersabda, “ (Menjawabnya) yang lembut ya A’isyah, sungguh Allah cinta kelembutan dalam perkara semuanya.” A’isyah berkata, “Saya sontak menjawab ‘ya Rasulallah, apa baginda tidak mendengar yang mereka katakan?’.  Rasulillah SAW bersabda, “Sungguh saya tadi telah mengucapkan ‘wa alaikum’ kok.”(Hr. Bukhari).

Beberapa catatan penghujat hadits:

Pertama, salam yang diucapkan oleh orang-orang Yahudi adalah salam penghinaan, yaitu “assāmu `alaikum” bukan salam perdamaian “assalamu`alaikum”. Kedua, yang memulai mengucapkan salam penghinaan adalah orang-orang Yahudi, bukan Nabi. Ketiga, sikap para tamu Yahudi kepada Nabi adalah sikap kebencian. Keempat, Nabi menegur Aisyah agar tidak bertindak kasar pada tamu Yahudi. Karena Allah mencintai keramahan dan kelembuta. Kelima, karena itu, cukup bagi Nabi untuk menjawab salam orang-orang Yahudi itu dengan “wa`alaikum”.

Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah sering dipersoalkan karena beberapa alasan. Pertama,  ia terlalu sering meriwayatkan apa yang sebenarnya tidak pasti diucapkan oleh Rasulullah s.a.w. Kedua, diduga keras ia adalah orang yang pelupa dan dia mengakui sifat pelupa ini. Ketiga,  hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah terlalu banyak dalam waktu yang singkat. Ia meriwayatkan 5300 hadits hanya dalam waktu tiga tahun. Keempat, ia adalah orang pemalas yang tidak punya pekerjaan tetap selain mengikuti Rasulullah kemanapun pergi. Ia pernah menolak pekerjaan yang ditawarkan oleh Umar. Kelima, banyak hadits-hadit yang diriwayatkan Abu Hurairah bertentangan dengan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat lain yang terpercaya, seperti Aisyah.

Hadits-hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah tersebut bertentangan dengan watak dasar Islam yang menekankan kedamaian, keramahan dan kelembutan. Riwayatnya juga bertentangan dengan riwayat lain yang menerangkan bahwa beliau mengucapkan (memulai) mengucapkan salam pada Najasyi, Raja Ethiopia, melalui suratnya.

Intinya: Secara sanad hadits di atas bermasalah karena dalam sanadnya terdapat sahabat yang bernama Abu Hurairah. Secara matan, hadit tersebut bertentangan dengan watak dasar Islam yang mengajarkan kedamaian.

Benarkah tuduhan tersebut? Berikut ini akan disajikan beberapa jawaban:

Pertama: Kita harus mengetahui terlebih dahulu makna hadits tersebut melalui syarah hadits Muslim dan Tirmidzi:
Penjelasan Imam Nawawi tentang hadits riwayat Muslim:


Menurut imam Nawawi mengenai pengharaman memulia salam pada Yahudi –meskipun ada beberapa pendapat, hukumnya menurut madzhab Syafi`i ialah haram, karena argumentasi orang yang membolehkan sangat lemah.  Sebagai penjelasan berikut:
شرح النووي على مسلم (14/ 145)
واختلف العلماء فى رد السلام على الكفار وابتدائهم به فمذهبنا تحريم ابتدائهم به ووجوب رده عليهم بأن يقول وعليكم أو عليكم فقط ودليلنا فى الابتداء قوله صلى الله عليه و سلم لاتبدأوا اليهود ولاالنصارى بالسلام وفى الرد قوله صلى الله عليه و سلم فقولوا وعليكم وبهذا الذى ذكرناه عن مذهبنا قال أكثر العلماء وعامة السلف وذهبت طائفة إلى جواز ابتدائنا لهم بالسلام روى ذلك عن بن عباس وأبي أمامة وبن أبى محيريز وهو وجه لبعض أصحابنا حكاه الماوردى لكنه قال يقول السلام عليك ولايقول عليكم بالجمع واحتج هؤلاء بعموم الأحاديث وبافشاء السلام وهى حجة باطلة لأنه عام مخصوص بحديث لاتبدأو اليهود ولاالنصارى بالسلام وقال بعض أصحابنا يكره ابتداؤهم بالسلام ولايحرم وهذا ضعيف أيضا لأن النهى للتحريم فالصواب تحريم ابتدائهم وحكى القاضي عن جماعة أنه يجوز ابتداؤهم به للضرورة والحاجة أو سبب وهو قول علقمة والنخعى وعن الأوزاعى أنه قال ان سلمت فقد سلم الصالحون وان تركت فقد ترك الصالحون وقالت طائفة من العلماء لايرد عليهم السلام ورواه بن وهب وأشهب عن مالك وقال بعض أصحابنا يجوز أن يقول فى الرد عليهم وعليكم السلام ولكن لايقول ورحمة الله حكاه الماوردى وهو ضعيف مخالف للأحاديث والله أعلم ويجوز الابتداء بالسلام على جمع فيهم مسلمون وكفار أو مسلم وكفار ويقصد المسلمين للحديث السابق أنه صلى الله عليه و سلم سلم على مجلس فيه اخلاط من المسلمين والمشركين قوله صلى الله عليه و سلم ياعائشة ان الله يحب الرفق فى الأمر كله هذا من عظيم خلقه صلى الله عليه و سلم وكمال حلمه وفيه حث على الرفق والصبر والحلم وملاطفة الناس ما لم تدع حاجة إلى المخاشنة قولها عليكم السام والذام هو بالذال المعجمة وتخفيف الميم وهو الذم ويقال بالهمزة أيضا والأشهر ترك الهمز وألفه منقلبة عن واو والذام والذيم والذم بمعنى العيب وروى الدام بالدال المهملة ومعناه الدائم وممن ذكر أنه روى بالمهملة بن الأثير ونقل القاضي الاتفاق على أنه بالمعجمة قال ولو روى بالمهملة لكان له وجه والله أعلم
Penjelasan tentang desaklah mereka (orang kafir dzimmi) ke pinggir berarti ketika ada sekumpulan orang muslim sedang berjalan kemudian ada orang kafir berjalan, maka disuruh minggir, kalau sampai membuat jalan padat dan sesak maka tidak masalah. Kalaupun disuruh mendesak kepinggir maka tidak sampai membuat mereka jatuh ke got atau dibenturkan ke tembok. Sebagaimana penjelasan berikut:

شرح النووي على مسلم (14/ 147)
قوله صلى الله عليه و سلم واذا لقيتم أحدهم فى طريق فاضطروه إلى أضيقة قال أصحابنا لايترك للذمى صدر الطريق بل يضطر إلى أضيقه اذا كان المسلمون يطرقون فان خلت الطريق عن الزحمة فلاحرج قالوا وليكن التضييق بحيث لايقع فى وهدة ولايصدمه جدار ونحوه والله أعلم

Penjelasan ustadz Mubarakfuri terhadap hadits tersebut sebagaimana imam Nawawi. hanya saja beliau menerangkan yang dimaksud dengan desaklah ialah jika ada tembok maka suruh bersandar di tembok, adapun jika tidak ada, maka mereka disuruh berpaling dari tengah jalan menuju pinggir jalan. Penjelasannya sebagaimana berikut:

تحفة الأحوذي (5/ 188)
( فاضطروه ) أي ألجئوه ( إلى أضيقه ) أي أضيق الطريق بحيث لو كان في الطريق جدار يلتصق بالجدار وإلا فيأمره ليعدل عن وسط الطريق إلى أحد طرفيه
الإصابة في تمييز الصحابة (7/ 512)

Dari penjelasan kedua pensyarah hadits tersebut, sama sekali tidak menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan desaklah pada hadits tersebut bukanlah menyakiti. Karena kalau menyakiti, akan bertentangan dengan hadits yang berbunyi:
سنن أبى داود-ن (3/ 136)
3054 - حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الْمَهْرِىُّ أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ حَدَّثَنِى أَبُو صَخْرٍ الْمَدِينِىُّ أَنَّ صَفْوَانَ بْنَ سُلَيْمٍ أَخْبَرَهُ عَنْ عِدَّةٍ مِنْ أَبْنَاءِ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ آبَائِهِمْ دِنْيَةً عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَلاَ مَنْ ظَلَمَ مُعَاهِدًا أَوِ انْتَقَصَهُ أَوْ كَلَّفَهُ فَوْقَ طَاقَتِهِ أَوْ أَخَذَ مِنْهُ شَيْئًا بِغَيْرِ طِيبِ نَفْسٍ فَأَنَا حَجِيجُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ».
Hadits ini secara tegas menunjukkan bahwa kita dilarang mendzalimi orang kafir dzimmi.

Kedua: Beberapa tuduhan mengenai Abu Hurairah bisa dijawab sebagai berikut:
Pertama,  tidak benar jika dikatakan ia terlalu sering meriwayatkan apa yang sebenarnya tidak pasti diucapkan oleh Rasulullah s.a.w. karena si penghujat tidak menunjukkan bukti. Kedua, tidak benar jika Abu Hurairah diduga keras sebagai orang yang pelupa dan dia mengakui sifat pelupa ini. Memang awalnya dia lupa tapi setelah Rasulullah mendoakannya, hafalannya jadi kuat sebagaimana hadits tersebut:
صحيح البخاري (الطبعة الهندية) (ص: 77)
119 - حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ أَبِي بَكْرٍ أَبُو مُصْعَبٍ قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ دِينَارٍ عَنِ ابْنِ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي أَسْمَعُ مِنْكَ حَدِيثًا كَثِيرًا أَنْسَاهُ قَالَ ابْسُطْ رِدَاءَكَ فَبَسَطْتُهُ قَالَ فَغَرَفَ بِيَدَيْهِ ثُمَّ قَالَ ضُمَّهُ فَضَمَمْتُهُ فَمَا نَسِيتُ شَيْئًا بَعْدَهُ
 Ketiga,  hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah terlalu banyak dalam waktu yang singkat. Ia meriwayatkan 5300 hadits hanya dalam waktu tiga tahun. Waktu tiga tahun menghafal Cuma 5300 hadit adalah hal yang sangat mudah. Apalagi sanad yang dihafal langsung ke Rasulullah, tidak serumit sanad hadits belakangan. Kemudian Abu Hurairah juga bermulazamah dengan Rasulullah, maka sekali lagi menghafal hadits dengan jumlah tersebut tidaklah mustahil. Al-Qur`an saja yang jumlahnya enam ribu lebih ayatnya bisa dihafal selama setahun(bahkan kerang dari setahun) apaligi hadits yang Cuma 5300. Keempat, sangat tidak benar dan cendrung emosional jika dikatakan bahwa Abu Hurairah adalah orang pemalas yang tidak punya pekerjaan tetap selain mengikuti Rasulullah kemanapun pergi. Karena beliau memang potensinya dalam bidang tersebut. Ada banyak sahabat yang seperti Abu Hurairah yang disebut Ahli Shuffah, yang kebiasaannya adalah mengikuti pengajian yang diadakan Nabi. Adapun tuduhan yang menyatakan bahwa ia pernah menolak pekerjaan yang ditawarkan oleh Umar, barangkali bersandarkan hadits yang disebut oleh Ibnu Hajar dalam kitab al-Ishōbah yang berbunyi demikian:
الإصابة في تمييز الصحابة (7/ 512)
 عن محمد بن سيرين عن أبي هريرة أن عمر بن الخطاب دعاه ليستعمله فأبى أن يعمل له فقال أتكره العمل وقد طلبه من كان خيرا منك قال من قال يوسف بن يعقوب عليهما السلام فقال أبو هريرة يوسف نبي بن نبي وأنا أبو هريرة بن أميمة أخشى ثلاثا واثنين فقال عمر ألا قلت خمسا قال أخشى أن أقول بغير علم أو أقضى بغير حق وأن يضرب ظهري ويشتم عرضي وينزع مالي قلت سنده ضعيف جدا
Hadits ini jelas-jelas dikomentari oleh Imam Ibnu Hajar sebagai hadits yang sangat lemah. Kemudian yang kelima, dikatakan bahwa hadits-hadit yang diriwayatkan Abu Hurairah bertentangan dengan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat lain yang terpercaya, seperti Aisyah. Tuduhan ini tidak berdasar, karena kebanyakan hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah itu disalah pahami oleh penghujat.

Dari beberapa jawaban di atas jelaslah bahwa alasan yang dipakai oleh penghujat hadits ini sangat lemah. Kelemahan yang paling nampak dari penghujat ialah ketika memahami hadits selalu berangkat dari pemahaman yang sudah ada. Hadits hanya sebagai justifikasi dari pendapat yang diyakini, tanpa mengindahkan dan memperhatikan hadits-hadits lain. Kemudian, ketika mengutip hadits biasanya hanya dimaknai sepotong-sepotong sesuai dengan keinginannya.

Kesimpulan: Hadits tersebut shahih baik secara sanad maupun matan. Beberapa tuduhan yang disematkan pada Abu Hurairah sangat lemah dan tak berdasar kuat. Hukum memulai(mengucapkan) salam adalah haram. Adapun yang dimaksud dengan mendesak orang kafir ke pinggir jalan bukan berarti mencelakai, dan hanya pada kondisi tertentu. Mempertentangkan potongan hadits tersebut dengan watak Islam yang menekankan kedamaian adalah kesembronoan.

Wallahu a`lam bi al-shawāb
 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan